“Wah, sekarang sudah ramai ya! Sepeda motor dan mobil kini berseliweran di desa ini,” kata seseorang yang sudah lama tidak pulang ke kampung halamannya kepada teman lamanya di kampung itu. Temannya lalu mengiyakan, dan bersyukur bahwa kampungnya kini sudah maju. Bahkan, kadang-kadang jalanan macet.
Di mana-mana di Indonesia, kepadatan lalu lintas juga meningkat. Kata orang, ini pertanda kemajuan perekonomian. Di kota besar seperti Jakarta, kemacetan menjadi bahasa setiap saat. Kita pun sering mengeluhkan kemacetan ini. Padahal, menurut “ilmu” tadi, kemacetan ini pertanda makin banyaknya kendaraan bermotor di Indonesia. Kemudian, makin banyaknya kendaraan bermotor adalah pertanda makin majunya perekonomian. Maka, kalau suatu ketika kita terjebak dalam kemacetan yang parah di Jakarta, daripada marah-marah menghabiskan tenaga, kita ucapkan syukur saja bahwa ekonomi Jakarta ternyata telah tumbuh dengan pesat.
Saya memang bergurau. Macet kok pertanda kemajuan ekonomi! Tetapi, nanti dulu. Ternyata ada beberapa teman yang memang berpikiran demikian, walau pun tidak terang terangan mengatakan “Macet itu Pertanda Perbaikan Ekonomi”.
Untuk mengukur kegiatan ekonomi saat ini, mereka menggunakan statistik yang disebut Coincident Economic Index. Indeks ini diukur dengan lima variabel: impor, penjualan mobil, konsumsi semen, suplai uang, dan penjualan eceran. Kalau indeks ini menaik, artinya kegiatan perekonomian menaik. Kalau indeks ini turun tiga kali berturut-turut maka perekonomian perlu diwaspadai. Kalau turun terus dengan tajam, artinya perekonomian masuk ke resesi. Sejak Februari 2009, indeks ini telah meningkat, setelah mengalami penurunan sejak Juli 2008. Artinya, menurut mereka, perekonomian Indonesian sudah menggeliat. (Informasi ini saya peroleh dari TEMPO edisi 31 Agustus 2009, halaman 54.)
Jadi, salah satu implikasinya adalah, menurut indeks ini, makin banyaknya mobil yang terjual pertanda makin baiknya perekonomian. Dalam laporan Tempo tersebut disebutkan bahwa penjualan mobil terus meningkat dalam tiga bulan pertama tahun 2009. Oleh sebab itu, karena salah satu ukuran kemajuan perekonomian adalah penjualan mobil, maka kita tidak perlu heran bahwa Jakarta makin macet!
Variabel lain yang juga menarik untuk dibahas adalah penjualan semen. Penjualan semen yang meningkat pertanda kemajuan ekonomi. Oleh sebab itu, menurut ilmu ini, perubahan tanah pertanian menjadi daerah industri dan pertokoan merupakan pertanda kemajuan ekonomi. Daerah yang masih terbuka harus perlu disemen, agar perekonomian meningkat (maka, saya sekarang paham mengapa daerah pertanian makin berkurang, dan ruang-ruang terbuka juga makin habis.)
Variabel lain yang juga tak kalah menariknya adalah variabel impor. Berarti perekonomian kita dinilai makin maju kalau kita lebih banyak mengimpor. Jadi, kalau lebih banyak pendapatan yang kita belanjakan ke luar negeri, artinya perekonomian kita lebih maju. Ini berbeda dengan teori lain yang melihat impor sebagai kebocoran (leakage) perekonomian—bahwa impor justru mengurangi aggregate demand dalam negeri, dan cenderung mengurangi produksi dalam negeri. Di kala kita mendorong perekonomian dalam negeri, mengapa kemajuan perekonomian justru diukur dengan meningkatkan impor?
Dua variabel lainnya, suplai uang dan penjualan eceran, tidak saya bahas di sini, karena tidak terlalu “aneh” di mata saya. Saat ini saya sedang mencari pemahaman mengapa sebagian orang mengukur kemajuan perekonomian dengan variabel seperti penjualan mobil, penjualan semen, dan peningkatan impor. Terjadi kebingungan di benak saya. Kalau transportasi umum diperbaiki, sehingga sebagian besar orang menggunakan transportasi umum, perekonomian kita akan menurun? Kalau tanah untuk pertanian diperluas, kalau tanah yang “terbuka” dipertahankan, perekonomian akan menurun? Kalau kita lebih suka membelanjakan uang kita di dalam negeri, perekonomian kita akan turun?
Kebingungan saya pada statistik ekonomi bertambah ketika saya melanjutkan membaca laporan di Tempo tadi. Dalam laporan itu juga disebutkan statistik lain, yang disebut Leading Economic Index. Indeks ini menggambarkan apa yang kira-kira akan terjadi dalam waktu enam bulan ke depan. Ada tujuh variabel yang dipakai: ijin mendirikan bangunan, jumlah turis asing, persetujuan investasi asing, nilai tukar efektif, indeks harga saham gabungan, ekspor, harga konsumen di sektor jasa.
Dari tujuh variabel ini tiga berkaitan dengan dunia internasional, yaitu turis asing (peningkatan turis dalam negeri tidak dianggap penting mungkin karena diasumsikan mereka umumnya miskin), investasi asing (mungkin diasumsikan bahwa orang Indonesia tidak dapat berbisnis, dan kalau pun berbisnis, bisnisnya jelek), dan nilai tukar (kalau rupiah kita makin kuat, harga barang impor akan makin murah, maka kita akan cenderung meningkatkan impor kita; kalau rupiah menguat, harga barang kita menguat, dan orang luar akan mengurangi pembelian barang kita). Dengan kata lain, menurut ilmu ini, kegiatan perekonomian kita sangat dipengaruhi oleh ekonomi luar Indonesia, sangat tergantung pada investor asing dan konsumen asing.
Kita lupa bahwa perekonomian kita bertahan dengan relatif baik dalam krisis global ini terutama karena ketergantungan kita pada perekonomian dunia relatif amat kecil dibanding negara lain. Kalau kita mengukur kemajuan perekonomian kita dengan ketergantungan kita pada ekonomi internasional, siapkah kita mengalami kemerosotan ekonomi yang parah kalau terjadi resesi dunia lagi, seperti yang kini dialami oleh negara-negara yang sangat menggantungkan pada perekonomian internasional?
Hal yang menarik lagi adalah penggunaan indeks harga saham gabungan. Ini indeks di sektor finansial. Bukankah sektor finansial bertugas melayani sektor real/sektor produksi, dan bukan sebaliknya? Bukankah mestinya kita mengukur sektor produksi? Apakah kita lupa bahwa krisis global ini dipacu oleh melejitnya sektor finansial yang terlalu cepat, sehingga menciptakan gelembung-gelembung yang segera meletus ketika waktunya tiba? Apakah kita lupa bahwa spekulasi di sektor finansial adalah salah satu sebab utama terjadinya krisis global dan krisis finansial lainnya?
Banyak hal lain yang tidak diperhatikan dalam mengukur kemajuan perekonomian. Misalnya, masalah kemiskinan dan mereka yang berpendapatan rendah tidak menjadi perhatian mereka sama sekali. Dalam laporan Tempo yang sama, halaman 52, dibahas statistik yang lain, yaitu Indeks Kepercayaan Konsumen. Dilaporkan bahwa indeks ini naik terus. Kepercayaan konsumen telah pulih. Konsumen optimis pada perekonomian Indonesia. Namun, dalam laporan itu juga disebutkan bahwa indeks di kalangan mereka yang tinggal di pedesaan atau mereka yang berpendapatan kurang dari Rp. 500 ribu per bulan justru menurun. Menariknya, masalah penurunan indeks untuk dua kelompok ini hanya mendapat ulasan yang singkat. Sebagian besar ulasan berpusat pada peningkatan indeks kepercayaan konsumen.
Semoga, pada laporan berikutnya, indeks untuk dua kelompok ini mendapat ulasan yang lebih mendalam. Apalagi, kalau perekonomian kita menuju perekonomian pro-orang miskin (pro poor). Lebih lanjut, statistik Coincident Economic Index dan Leading Economic Index memang mengasumsikan bahwa kegiatan orang miskin bukan bagian kegiatan perekonomian Indonesia.
Aris Ananta, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Kini bekerja sebagai peneliti pada Institute of Southeast Asian Studies. Tulisan ini diterbitkan ulang dari blog “Mletiko” dengan beberapa suntingan seperlunya.