Relevansi dan Konteksnya di Indonesia Dewasa Ini
INDONESIA menghadapi jalan buntu. Dalam horison yang lebih luas, negeri ini tampaknya sedang menangguk nubuat buruk para futuris, yakni “the end of ideology” (Daniel Bell), “the end of history” (Francis Fukuyama), dan “the end of politics” (Eduard Bernstein).
Kita sebenarnya memiliki beberapa kekuatan politik strategis yang dulu ingin disatukan oleh Bung Karno, tetapi kini semuanya sedang mengalami kelumpuhan. Kekuatan-kekuatan nasionalis yang semakin kehilangan imaginiasi kreatifnya di tengah-tengah keterpurukan Indonesia, tampaknya hanya mampu menjajakan atavisme masa lalu. Kaum liberal telah semakin bersukutu dengan para imperialis dan berpuas diri pada suatu tahap demokrasi yang berbahaya ketika kebebasan sipil dan politik tidak membawa perubahan apapun untuk pertumbuhan dan pemajuan hak-hak sosial dan ekonomi orang kebanyakan. Kelompok-kelompok Islam begitu tercerai-berai dan mengalami divergensi akut – sebagian bahkan terjebak ke jalan bunuh diri melalui gerakan kekerasan dan fundamentalisme, sebagian terjatuh ke dalam konservatisme dan ritualisme, serta sebagian lagi mengembangkan pengingkaran atas cita-cita citizenry. Di ujung lain, gerakan-gerakan kiri semakin kehilangan basis popularnya, sekadar menghimpun lapisan-lapisan sosial yang sudah kehilangan segalanya kecuali radikalisme dan keputusasaan.
Kini kita ingin menawarkan sesuatu yang sudah banyak dilupakan, yaitu pemikiran dan gerakan sosial demokrasi. Peran historis yang telah terbukti di banyak negara membuktikan bahwa sosial demokrasi berhasil menggalang kekuatan popular untuk merebut dan menggunakan kekuasaan yang diperoleh secara demokratis dalam rangka mengarahkan kekuatan pasar demi kepentingan dan kebaikan bersama. Ketika peranan seperti itu hampir-hampir absen dikerjakan oleh semua kekuatan strategis di Indonesia – di tengah-tengah kapasitas maksimal kapitalisme memproduksi kekayaan dan kemakmuran tetapi sekaligus dislokasi sosial dan kesenjangan ekonomi yang amat tajam, serta negara yang dilemahkan karena instabilitas demokrasi – tentu eksperimen sosdem adalah sesuatu yang masuk akal.
Apa itu Sosial Demokrasi?
Dalam centang-perenang perkembangan historisnya, pengertian “sosial demokrasi” memang seringkali menimbulkan kerancuan dengan gagasan-gagasan tentang “sosialisme-demokratik,” “sosialisme kerakyatan,” atau jenis-jenis sosialisme kanan seperti “neo-sosialisme” hingga “sosialisme nasional” dan “nasionalisme sosialis.”
Dipahami dalam latar sejarahnya yang khusus di Eropa (Barat & Utara), pemikiran dan tradisi gerakan sosial demokrasi sesungguhnya muncul dari percekcokan internal para pemikir Marxis, mengenai bagaimana menjalankan proyek transformasi dari kapitalisme menuju sosialisme. Dalam pandangan Marxisme ortodoks, transformasi menuju sosialisme akan terjadi begitu kapitalisme bangkrut akibat kontradiksi-kontradiksi internalnya sendiri. Tugas kaum Marxis karena itu adalah mengintensifkan krisis internal kapitalisme melalui pertentangan kelas dan revolusi sosial. Mereka tidak tertarik pada perjuangan demokratik, apalagi melalui demokrasi parlementer. Tokoh-tokoh seperti Karl Kautsky, Rosa Luxemberg, dan Leon Trotsky, adalah beberapa di antara pemikir utama sosialisme revolusioner.
Berbeda dengan pandangan para Marxis ortodoks itu, Eduard Bernstein menganggap bahwa perjuangan demokratik melalui mekanisme parlementer untuk merebut negara, merupakan suatu cara yang diperlukan untuk mentransformasikan kapitalisme menuju sosialisme. Pandangan Bernstein inilah yang membuat Adam Przeworski (1988) melihat gerakan sosial demokrasi sebagai “jalan parlementer menuju sosialisme.” Penekanan Bernstein adalah pada revisionisme demokratik dan sosialisme yang lebih evolusioner ketimbang revolusioner. Tapi doktrin revisionismenya itu dianggap sebagai kontra-ideologi terhadap Marxisme mainstream, bahkan Bernstein sendiri akhirnya dicap sebagai ahlul bid’ah, pembelot yang berusaha memurtadkan kaum Marxis dari Marxisme.
Sejak sosial demokrasi secara resmi dikeluarkan dari gerakan kiri internasional pasca Perang Dunia Kedua, gerakan ini memulai karirnya melalui pembentukan negara kesejahteraan, dengan model utamanya di negara-negara Skandinavia. Elemen-elemen doktrinal ajaran revisionisme demokratik Bernstein – yakni the primacy of politics, class alliance, dan relative autonomy of state – tetap masih dipertahankan dengan berbagai variasi, baik yang dikerjakan oleh partai-partai politik sosdem maupun berbagai organisasi gerakan sosialnya.
Kini kita mewarisi sebuah pandangan umum mengenai sosial demokrasi sebagai “jalan ketiga,” di luar sosialisme dan kapitalisme. Jika sosialisme dianggap sebagai kritik terhadap kapitalisme, maka sosial demokrasi merupakan kritik terhadap sosialisme sekaligus kapitalisme. Dengan cara pandang ini, kita cenderung menyetujui apa yang disimpulkan Berman (2007: 114), bahwa sosial demokrasi adalah penolakan terhadap kekerasan revolusioner kiri tapi sekaligus penerimaan sebagian atas demokrasi borjuis. Ini yang memunculkan pandangan miring dari kalangan kiri bahwa sosdem tak lain hanyalah sebuah varian kapitalisme yang memberi peran sosial besar pada negara. Meskipun demikian, masih merupakan kenyataan tak terbantahkan bahwa posisi ideologisnya tetaplah berada di tengah-tengah antara Marxisme dan liberalisme.
Jika gerakan-gerakan kiri memang benar menghadapi jalan buntu, apakah “jalan ketiga” sosdem sungguh-sungguh merupakan alternatif terhadap kemenangan kapitalisme yang destruktif? Atau, jika kapitalisme betul sedang menghadapi kebangkrutannya sendiri, benarkah sosdem sungguh-sungguh akan memberikan katup pengaman yang bisa menyelamatkan krisis global yang ditimbulkannya? Apa dan bagaimana sesungguhnya relevansi bagi kebutuhan untuk reaktualisasi pemikiran dan gerakan sosial demokrasi di Indonesia masa kini?
Sosialisme Demokratik atau Demokrasi Sosial?
Dalam bahasa Indonesia konsep social democracy dipertahankan menurut struktur gramatikal Inggrisnya yakni “sosial demokrasi,” dan bukannya demokrasi sosial. Saya tidak menemukan jawaban mengapa para penganjur sosdem Indonesia memilih menggunakan konsep itu, kecuali dugaan bahwa mereka sebenarnya ingin memasukkan gagasan-gagasan sosialisme demokratik dalam terma sosial demokrasi. Jika benar demikian, sosialisme demokratik seperti apakah kiranya di belakang gagasan-gagasan sosdem Indonesia? Jawabannya adalah: kekaburan ideologis.
Benar, penekanan pada sosialisme yang demokratik ingin mengesankan bahwa mereka merujuk pada semua bentuk gerakan sosialis yang mengambil jalan elektoral, reformis, dan evolusioner menuju sosialisme. Pada titik ini mereka ingin membedakan diri dengan jalan revolusioner kaum komunis – baik ala Maois-Leninis, Trotskysme, apalagi Bakunin-Kropotkin. Tapi kemudian muncul pertanyaan kedua, sosialisme macam apakah yang sebenarnya hendak dicapai? Apakah mereka meniti jalan ke arah sosialisme demokratik transformatif, atau sosialisme demokratik revisionis? Ini adalah dua jenis pilihan yang berbeda di mana kaum sosdem Indonesia masih kabur menentukan pilihan.
Jika yang pertama yang dipilih, ada keharusan untuk melakukan transformasi atas sistem ekonomi secara fundamental dengan cara merombak kapitalisme menjadi sejenis sosialisme pasar – misalnya melalui penciptaan negara kesejahteraan yang kuat, kebijakan radikal redistribusi fiskal, dan nasionalisasi yang luas. Jika pilihan jatuh pada yang kedua, ini cukup dilakukan dengan memanfaatkan kemampuan kapitalisme untuk terus melakukan reformasi-diri dengan penerapan besar-besaran kebijakan pembagian pendapatan berdasarkan pro-poor policy, tanpa merombak sistem ekonomi.
Pilihan atas kedua bentuk sosialisme demokratik itupun masih akan menjadi kontroversial menyangkut bagaimana mereka melibatkan partisipasi popular. Di sini, kemungkinan yang terbuka juga sama-sama problematis, karena hanya menyediakan pilihan antara sosialisme negara yang begitu rentan pada otoritarianisme, serta sosialisme-populis-dari-bawah yang amat rentan oleh godaan komunalisme. Diskusi tentang model-model institusional gerakan sosdem pada akhirnya hanya menyeret kita kembali pada ortodoksi sejarah dan pengalaman kiri-tengah Eropa.
Arah Baru Revitalisasi Sosdem
Kajian-kajian mutakhir mengenai sosdem tampaknya mulai menghindari episentrum itu, dan sedang merambah pada tiga diskursus yang sama-sama menarik. Pertama, seperti yang dilakukan Meyer & Hinchman (2007), diarahkan pada elaborasi mengenai perlunya sebuah teori politik mengenai sosdem yang bukan sekadar menyajikan gambaran tentang model-model negara kesejahteraan sosial. Fokus baru yang mereka tekankan adalah untuk melakukan kalkulasi ulang mengenai apa kontribusi yang bisa diberikan oleh prinsip-prinsip sosdem – jaminan sosial, keadilan ekonomi, dan partisipasi politik – bisa memperbaiki kualitas demokrasi yang berlaku secara aktual di suatu tatanan politik tertentu. Dengan kata lain, gerakan sosial demokrasi lebih didasarkan pada perspektif mengenai demokrasi sosial, dalam kompetisi abadinya dengan demokrasi liberal dan demokrasi libertarian.
Kedua, kajian Sandbrook, Heller & Teichman (2007) memberikan banyak studi perbandingan yang kaya mengenai eksperimen-eksperimen baru reaktualisasi sosdem di luar dunia Barat, di kawasan pinggiran-global, seperti di Kerala, Mauritius, Costa Rica, dan Chili. Kajian mereka terutama dipusatkan pada bagaimana alternatif-alternatif aktual dikerjakan untuk keluar dari jebakan kapitalisme dan jalan buntu sosialisme revolusioner. Tapi yang lebih inspiratif dari itu adalah upaya mereka untuk menyajikan banyak konteks pinggiran dan “lokal” dari eksperimen sosdem sebagai gerakan sosial-politik. Empat negara yang menjadi kajian mereka merupakan tempat-tempat karakteristik di dunia ketiga di mana kemiskinan, kesenjangan, butahuruf, kelaparan, serta pemerintahan yang otoriter dan korup begitu meluas, dan bagaimana sosdem menjadi pilihan politik pragmatis yang paling masuk akal dibandingkan liberalisme ataupun sosialisme.
Jenis kajian ketiga untuk studi-studi mutakhir sosdem adalah seperti yang ditulis Esping-Andersen (1985), yang mengkontraskan secara tajam pilihan-pilihan sistem politik yang tersedia dalam melawan kekuatan pasar, serta bagaimana sosdem memberikan solusi yang paling komprhensif untuk memanfaatkan kebaikan-kebaikan dari keduanya. Tapi fokus utama yang ditekankan studi itu adalah dirumuskannya sebuah teori aksi sosial demokratik untuk membuka jalan menuju kekuasaan, yakni dengan melihat secara riel di bawah kondisi-kondisi seperti apakah sosdem dapat menjalankan agenda reformasi masyarakat untuk kepentingan jangka panjang.
Reaktualisasi Sosdem dalam Konteks Aktual Indonesia
Indonesia hari ini benar-benar tidak memiliki alternatif apapun untuk keluar dari takdir buruk politik pasca otoritarianisme – kekuatan pasar yang sangat destruktif, negara yang terbelenggu oleh dikte-dikte modal global, kaum elite oligarkis yang merampas semua instrumen ekonomi dan politik, borjuasi yang rakus dan egosentris, kelas menengah oportunis yang haus kekuasaan dan kemaruk kekayaan, serta massa yang lumpuh oleh kemiskinan dan ketiadaan peluang untuk pembaruan sosial.
Langkah pertama untuk memahami logika di balik signifikansi perlunya reaktualisasi sosdem di Indonesia adalah dengan mengiventarisasi masalah-masalah kronis tanpa solusi yang dihadapi oleh bangsa ini, masalah-masalah yang melibatkan kepentingan terluas masyarakat. Kedua, revitalisasi demokrasi sosial, ketimbang sekadar demokrasi politik, khususnya dengan mempertimbangkan modal telah tercapainya kemajuan kebebasan sipil dan politik, tetapi dengan memberi arah baru bagi perjuangan memajukan hak-hak ekonomi dan sosial. Ketiga, melakukan berbagai percobaan dan eksperimen untuk menjalankan pilihan-pilihan strategis memperluas partisipasi publik melalui kerjasama dan aliansi kelas, pengembangan demokrasi substansial, dan penguatan solidaritas berbasis citizenship.***
Artikel ini semula ada paper yang disampaikan pada diskusi di Reform Institute, Jakarta, 9/9/09.
AE Priyono