Tanggapan untuk Arianto Sangaji
ARTIKELl Arianto Sangaji, bertajuk Neoliberalisme (di sini dan di sini), sangat menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. Artikel ini secara utuh membahas neoliberalisme, mulai dari makna teknikalnya hingga relasi ekonomi politiknya.
Setelah membahas definisi neoliberalisme, penulis kemudian melangkah pada penjelasan bahwa neoliberalisme, sebagai proyek politik dari para pengusung pasar bebas, yang bernaung di bahwa payung “the Mont Pelerin Society,” ternyata mengandung sejumlah mitos. Arianto, misalnya, mengatakan, posisi negara yang oleh para pendukung neoliberal dikatakan semakin lemah di hadapan pasar, ternyata hanyalah mitos. Meminjam tesisnya Karl Polanyi dan David Harvey, dan kemudian diperkuat dengan studi kasus penerapan neoliberalisme di Indonesia, penulis menunjukkan tanpa peran aktif negara neoliberalisme tidak akan pernah menyebar dan menjadi ideologi dominan di seluruh dunia saat ini. “Kekuasaan negaralah yang menjadi kata kunci untuk mengartikulasikan paham ini,” demikian pungkas Arianto.
Lalu, apa yang perlu ditanggapi dari artikel yang sangat menarik dan penting ini? Tanggapan saya terhadap artikel ini, bukan pada definisi, atau pada pembuktian empiris yang dikemukakan Arianto untuk memperkuat tesis-tesisnya. Tanggapan saya, lebih pada perspektif yang digunakan Arianto dalam menulis artikel ini. Dari sana saya ingin memberikan perspektif yang berbeda dalam membaca Neoliberalisme.
Apa perspektif pemikiran Arianto Sangaji? Kalau kita periksa lebih teliti artikelnya, maka alur logikanya adalah: (1) ada sebuah proyek politik dari sekelompok intelektual pro-pasar bebas, yang merasa terancam dengan dominasi pemikiran mereka yang anti pasar bebas (Keynesianisme, developmentalisme, populisme, komunisme, dan sosial-demokrasi). Para ilmuwan ini kemudian melakukan gerilya intelektual dan politik: dari penerbitan buku, artikel, serangkaian konferensi, hingga menjadi penasehat sebuah rejim yang dianggap pro pasar bebas; (2) dalam proses itu, terjadi momentum politik ekonomi, yakni krisis ekonomi di tahun 1970an, yang memungkinkan ide-ide pro pasar ini diadopsi oleh rejim berkuasa: sebutlah rejim Tatcher di Inggris dan Ronald Reagan di Amerika: (3) ketika ide ini diadopsi oleh negara, maka penerapan dan penyebarannya menjadi lebih mudah, karena negara tampil ke depan untuk mengawal penerapan kebijakan ini.
Dari alur logika ini, maka yang tampak bahwa “ide menentukan realitas.” Tetapi, ide ini agar bisa menjadi dominan dan kemudian diimplementasikan dalam sebuah kebijakan negara, ia harus diperjuangkan. Dan para pejuang itu adalah intelektual-intelektual yang tergabung dalam “the Mont Pelerint Society,” dengan Hayek dan Friedman sebagai gurunya. Di sini, Arianto menempatkan kalangan intelektual sebagai agen perubahan sosial, dalam hal ini perubahan sosial dari sistem ekonomi yang anti pasar bebas menjadi sistem ekonomi yang pro pasar bebas.
Perjuangan Kelas
Saya tidak memiliki keberatan dengan definisi Arianto soal neoliberalisme. Tidak juga pembuktiannya bahwa propaganda mengenai posisi negara yang melemah di hadapan mekanisme pasar hanyalah mitos.
Tetapi, untuk memahami esensi neoliberalisme, kita harus melangkah lebih jauh dari sekadar mengutak-atik serangkaian kebijakan yang bersifat teknis-ekonomis. Ekonom William K. Tabb, mengatakan, neoliberalisme atau globalisasi pada dasarnya adalah sebuah hubungan kekuasaan relatif, sehingga jauh dari sekadar masalah teknikal, globalisasi lebih dalam lagi adalah sebuah proses politik. Dalam bahasa yang lebih tegas, Peter Rachleff, mengatakan, neoliberalisme harus dipahami sebagai sebuah strategi untuk merestorasi kekuasaan kelas elite baik di tingkat nasional maupun global. Ekonom Gérard Duménil dan Dominique Lévy, setelah melalui rekonstruksi data secara hati-hati, juga tiba pada kesimpulan yang sama dengan Rachleff.
Dengan kata lain, serangkaian kebijakan neoliberal yang disebutkan Arianto, harus dilihat sebagai manifestasi dari kemenangan kelas kapitalis atas kelas pekerja dalam sebuah perang kelas yang panjang dan berdarah. Maka memahami perjuangan kelas, merupakan jalan terbaik untuk mengerti esensi neoliberalisme, agar tidak semata melihat neoliberalisme sebagai murni pertarungan gagasan antara yang setuju intervensi negara dan anti-intervensi negara.
Untuk itu, saya ingin mengambil kasus hubungan buruh-kapital di Amerika. Begini ceritanya: ketika terjadi Depresi Ekonomi 1929-1939, gerakan buruh Amerika bukannya menjadi lemah, tapi sebaliknya, muncul menjadi kekuatan baru yang sangat diperhitungkan oleh pemerintahan presiden Franklin D. Roosevelt.
Selama ini kita disuguhi cerita bahwa Kebijakan “New Deal” yang sukses mengatasi depresi ekonomi, merupakan karya jenius seorang Rosevelt, lebih khusus lagi, menteri perdagangan kala itu, Herbert Hoover. Tetapi, dari studi yang dilakukan Salant menunjukkan, ternyata Roosevelt dalam periode pertama pemerintahannya sama sekali tidak berkeinginan untuk menerapkan kebijakan Keynesianisme, bahkan dalam pengertiannya yang paling sempit. Sebaliknya, ia mengumumkan kebijakan defisit anggaran, mempromosikan kebijakan anggaran berimbang, dan selanjutnya, menerapkan kebijakan pemotongan belanja pemerintah. Hal yang menyebabkan Roosevelt enggan menerapkan kebijakan Keynesianisme, karena kuatnya oposisi dari kalangan kelompok-kelompok bisnis, termasuk Chamber of Commerce dan the National Association of Manufactures – yang bergabung bersama kekuatan yang sangat kuat dari organisasi industri pertanian, seperti Farm Bureau.
Roosevelt baru menerapkan kebijakan Keynesian atau New Deal diparuh kedua masa pemerintahannya. Kompromi Rosevelt ini, dilakukakan setelah melihat kenyataan betapa gelombang pemogokan buruh melanda seluruh negeri. Goldfield mencatat, perlawanan gerakan buruh terhadap majikan dan juga negara dalam bentuk demonstrasi dan pemogokan terjadi dalam jumlah ratusan bahkan ribuan. Pada masa itu pula, kelas pekerja yang berlawan tidak hanya yang tergabung dalam serikat buruh, tapi juga jutaan buruh yang tidak termasuk dalam organisasi serikat buruh. Bersama-sama dengan gerakan sosial lainnya, mereka sukses meminggirkan politisi-politisi konservatif dan mengirim karier politisi-politisi yang menyanyikan retorika probisnis ke gerbang kekalahan.
Tetapi, setelah terbebas dari depresi ekonomi, perekonomian Amerika pasca Perang Dunia II, mengalami masa keemasannya, yang disebut “The Golden Age Capitalism.” Pertumbuhan ekonomi yang dikelola dengan manajemen Keynesianisme itu, bukan hanya mendatangkan keuntungan bagi kelas kapitalis, berkah itu juga turut dinikmati oleh kelas buruh. Ekonom Rick Wolf mengatakan, pada masa ini, kelas buruh Amerika menikmati pertumbuhan konsumsi yang tertinggi dalam waktu 150 tahun. Ukuran keberhasilan kelas buruh lantas diukur berdasarkan gaya hidup, misalnya, berapa banyak mobil yang dimiliki dan berapa sering berwisata ke luar negeri. Maka dari sisi kelas buruh, masa-masa itu disebut juga sebagai “The Golden Age of American Working Class.”
Pada masa keemasannya ini, gerakan buruh Amerika lalu memutar haluan politiknya, dari politik radikal yang mengusung tuntutan-tuntutan independen kelas pekerja di hadapan kelas borjuasi dan negara di masa Depresi Ekonomi, menjadi politik kolaborasi kelas. Argumennya, karena pertumbuhan ekonomi tinggi telah mendatangkan keuntungan bagi kelas kapitalis dan kelas pekerja sekaligus, lalu apa relevansinya bagi kelas pekerja untuk terus memajukan tuntutan-tuntutan kelasnya? Jika borjuasi terus diganggu dengan aksi-aksi demonstrasi dan pemogokan yang menuntut perbaikan tingkat kesejahteraan dan kondisi kerja, maka kinerja ekonomi akan memburuk dan konsekuensinya juga buruk bagi kehidupan kelas pekerja. Ideologi Gomperisme, “agar serikat buruh tidak ikut-ikutan berpolitik,” lalu menjadi dominan. Bahkan, lebih dari itu, serikat buruh terbesar Amerika, AFL-CIO, bukannya mengurus kepentingan anggotanya, malah bersekutu dengan borjuasi; bukannya mempromosikan solidaritas buruh internasional, AFL-CIO malah mendukung kebijakan imperialis Amerika dalam kerangka Perang Dingin dan membantu rejim-rejim militer di negara-negara berkembang dalam menundukkan serikat buruh radikal.
Dalam masa keemasannya ini, kapitalisme Amerika menjadi satu-satunya hegemon di hadapan pesaing-pesaingnya di Eropa dan Jepang. Tetapi, ketika kondisi ekonomi pasca perang di Jepang dan Jerman mulai membaik, kelas kapitalis di kedua negara ini muncul menjadi pesaing-pesaing baru kapitalis Amerika. Kompetisi di kalangan kapitalis, menyebabkan upaya-upaya untuk meraih keuntungan sebesar-besanya makin tak terelakkan: efisiensi produksi, kebutuhan akan inovasi-inovasi baru di bidang teknologi, serta keharusan untuk ekspansi kapital seluas-luasnya. Namun, kebutuhan-kebutuhan baru ini harus berhadapan dengan kebijakan Keynesianisme yang membelenggu “tangan dan kaki” borjuasi, sehingga membuatnya lamban bergerak dalam merespon tantangan dari kompetitornya.
Akibatnya, terjadi krisis keuntungan yang kemudian memicu krisis ekonomi lebih jauh di penghujung dekade 1970an. Pada momen inilah, doktrin pasar bebas, yang sebelumnya hanya dominan di beberapa kampus tertentu di Amerika, khususnya di Departemen Ekonomi Universitas Chicago, menemukan momentumnya. Setelah resmi diadopsi menjadi kebijakan negara, pertama-tama oleh pemerintahan Jimmy Carter dan lebih jauh lagi oleh Ronald Reagan, neolibralisme dengan segera menyapu bersih dominasi Keynesianisme.
Pada saat yang sama, kelas buruh Amerika yang memraktekkan kebijakan kolaborasi kelas, tidak lagi memiliki pengaruh politik yang signifikan. Terlena oleh boom ekonomi dan politik kolaborasi kelas sebelumnya, serikat buruh gagal menempatkan dirinya dalam perubahan sistem ekonomi pasca krisis. Jumlah buruh yang menjadi anggota serikat buruh pun terus menurun. Pada tahun 1962, sebagai misal, persentasi jumlah tenaga kerja terorganisir berada di bawah angka 30 persen dan pada 1984 menurun lagi menjadi 20 persen. Angka ini menempatkan gerakan buruh Amerika tidak hanya lemah dibandingkan dengan negara-negara maju lainnya, tapi juga merupakan satu-satunya negara dimana jumlah persentase tenaga kerja terorganisir terus menurun dalam 50 tahun terakhir.
Dalam kondisi gerakan kelas pekerja yang lemah ini, proyek-proyek neoliberal berjalan di jalur bebas hambatan. Dan serikat buruh mendapati dirinya lemah dalam membela kepentingan tradisional anggotanya di hadapan kapital. Ketika serikat buruh mencoba melawan kebijakan Reaganomics, sang koboi melakukan serangan balik yang sangat mematikan. Aksi pertama Reagan, yang kemudian menjadi penanda kebangkrutan gerakan buruh AS, ketika ia memecat 11.345 buruh PATCO (Professional Air Traffic Controllers Organization) yang terlibat dalam demonstrasi pada 3 Agustus 1981. Hanya 500 anggota PATCO yang diterima kembali (rehired) untuk bekerja. Pemecatan besar-besaran itu terjadi karena para buruh menolak ultimatum Reagan agar dalam 1 kali 48 jam, buruh harus membubarkan aksinya dan kembali ke tempat kerja. PATCO sendiri kemudian dibubarkan. Ironisnya, tidak ada solidaritas buruh yang kuat dalam membela dan mendukung aksi yang dilakukan PATCO.
Penutup
Berdasarkan uraian di atas, maka berbeda dengan Arianto yang melihat kemenangan neoliberalisme, sebagai refleksi dari kemenangan satu gagasan terhadap gagasan lainnya, saya justru melihat akar neoliberalisme ada para relasi produksi yang eksploitatif, yang ditandai oleh kemenangan kelas kapitalis atas kelas buruh. Ketimbang menempatkan intelektual sebagai agen perubahan sosial, justru inilah saat dimana peran historis kelas pekerja, sebagai satu-satunya kelas yang potensial menjadi revolusioner sangat relevan.
Konsekuensinya, untuk mengalahkan neoliberalisme, kelas pekerja harus membangun kembali organisasinya, mengajukan tuntutan-tuntutan independen kelasnya, dan kembali mengedepankan politik radikal berbasis kelas. Argumennya, masalah kesejahteraan dan keselamatan kerja buruh pada dasarnya adalah masalah kekuasaan. Semakin buruh memiliki kekuasaan, semakin mereka mampu meningkatkan tingkat upahnya, memperbaiki kondisi kerjanya, dan melindungi capaian-capain tersebut, demikian sebaliknya. Selama ini perjuangan kelas pekerja terperangkap pada tuntutan-tuntutan tradisionalnya dan melupakan perjuangan politik untuk merebut kekuasaan negara. Serikat buruh cukup puas jika tuntutan ekonominya telah dipenuhi oleh majikan, dan jaminan sosial mereka diundangkan oleh negara.
Selain itu, minimnya radikalisasi politik kelas pekerja melalui aksi langsung dan mobilisasi langsung menyebabkan: (1) tekanan politik terhadap kapital sangat lemah; (2) solidaritas gerakan menjadi rendah karena tidak ada lagi pengalaman bersama dalam memperjuangkan tuntutan-tuntutannya; (3) gerakan buruh lantas makin terpolarisasi pada isu-isu berbasis ras, gender, tempat kerja, dan pekerja migran.***
Coen Husain Pontoh, mahasiswa ilmu politik di City University of New York, Amerika Serikat.
Kepustkaan:
David Harvey, “A Brief History of Neoliberalism,” Oxford, 2009.
Peter J. Rachleff, “Neoliberalism: Context For a New Workers Struggle,” Working USA The Journal of Labour and Society, Volume 9 Number 4, Blackwell publishing Inc, 2006.
Michael Goldfield, “The impact of globalization and neoliberalism on the decline of organized labour in the United States,” in Debdas Banerjee and Michael Goldfield, “Labour, Globalization and the State Workers, women and migrants confront neoliberalism,” Routledge, 2007.
Walter S. Salant, “The Spread of Keynesian Doctrines and Practices In the United States,” in Peter A. Hall (ed.), “The Political Power of Economic Ideas Keynesianism across Nations,” Princeton University Press, 1989.
Rick Wolff, “The Fallout from Falling US Wages,” http://mrzine.monthlyreview.org/wolff120606.html
William K. Tabb, “The Amoral Elephant Globalization and the Struggle for Social-Justice in the Twenty-First Century,” Monthly Review Press, 2001.