PEMILU presiden (Pilpres) 2009, baru saja usai. Ada begitu banyak hal yang bisa diperbincangkan darinya. Setelah beberapa waktu lalu, media ini mendiskusikan soal bergabungnya sebagian aktivis progresif dengan partai politik elit, kini kami menghadirkan perbincangan mengenai bernaungnya sebagian pentolan Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan pentolan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), di bawah payung pasangan SBY-Boediono. Perbincangan ini berlangsung antara Coen Husain Pontoh dari IndoPROGRESS dengan A.E. Priyono, peneliti di DEMOS Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi, Jakarta. Berikut petikannya:
IndoPROGRESS (IP): Salah satu hal menarik dari Pilpres 2009, adalah bersatunya dua kelompok yang sebelumnya saling berkonflik, PKS dan beberapa aktivis terkemuka jaringan islam liberal (JIL), dalam mendukung dan memenangkan pasangan SBY-Boediono. Bagaimana anda menjelaskan hal ini?
A.E. Priyono (AEP): Saya tidak melihat bergabungnya JIL dan PKS di bawah SBY sebagai koalisi politik dua organisasi. Jadi agak kurang tepat melihat peristiwa itu sebagai sesuatu yang by design secara organisasional. Mereka mungkin bahkan tidak pernah saling ketemu mewakili organisasi masing-masing dan membicarakan kalkulasi bersama untuk mendukung SBY-Boediono. Lebih tepat melihat peristiwa ini sebagai aksiden, yakni bertemunya kepentingan sebagian gembong JIL dan sebagian gembong PKS, untuk mencari keuntungan politik masing-masing dalam mendukung SBY-Boediono. Mungkin saja dari pihak SBY-Boediono ada desain besar untuk mempertemukan dua faksi Islam, liberal dan fundamentalis; dan mereka melihat dua faksi itu terwakili oleh JIL dan PKS. Tetapi desain seperti itu ternyata tidak berlangsung sesuai efek yang diharapkan. Faksi-faksi fundamentalis terlalu fragmented dan tidak sepenuhnya diwakili PKS, sementara faksi liberal tidak terlalu signifikan sebagai kekuatan politik. Yang terjadi sesungguhnya hanyalah sebuah aksiden, sebuah kebetulan sekaligus kecelakaan. Kebetulan karena di dalam JIL dan di dalam PKS ada gembong-gembong gold-digger, yang sama-sama oportunis melihat peluang untuk mendukung SBY-Boediono sebagai kesempatan untuk masuk ke dalam powerful elite-circle. Kecelakaan, karena ternyata hanya individu-individu bermasalah seperti Rizal Malarangeng (di JIL) dan Anis Matta (di PKS) yang memanfaatkan peluang itu secara manipulatif.
IP: Apakah keberadaan dua kelompok yang saling bertentangan di bawah payung SBY-Boediono ini sekadar pragmatisme politik atau justru ada hal strategis yang diperjuangkan?
AEP: Hanya pragmatisme! Lebih pas lagi oportunisme! Inilah oprtunisme yang dipraktekkan oleh segelintir orang di dalam JIL maupun PKS. Beginilah penjelasannya. Jika benar ada kesepakatan di dalam JIL untuk mendukung SBY-Boediono, mengapa salah satu dedengkot JIL, Hamid Basyaib, malah mendukung Megawati dengan mencalonkan diri sebagai legislator untuk mewakili PDI-P dalam pemilu legislatif April lalu? Bahwa dia sekarang tidak kelihatan aktif sebagai tim sukses Megawati-Prabowo, karena dia tidak berhasil terpilih di legislatif. Mengapa pula JILers garis keras lain seperti Luthfie Assyaukanie, malah terlihat menjaga jarak dalam kompetisi pilpres; begitu juga Ulil Abshar Abdalla menjadi agak gagu? Saya lebih melihat bahwa manuver-manuver Rizal, untuk memainkan dukungan JIL tidak mendulang hasil yang diharapkan. Dia akhirnya bertindak sendirian, agak terkucil, tapi nekad. Lagipula, dia memang bukan tokoh JIL sepenuhnya. Dia selama ini hanya bertindak sebagai bohir yang membiayai kegiatan-kegiatan JIL di bawah kolaborasi Freedom Institute. JIL, di bawah perlindungan FI, toh juga telah banyak berganti majikan, mulai dari Aburizal Bakrie, Taufik Kiemas, dan sekarang Boediono. Dalam kasus PKS, kita juga melihat adanya faksionalisme internal seperti dalam JIL. Anis Matta, yang paling lantang menyuarakan dukungan kepada pasangan SBY-Boediono, termasuk di dalam faksi pro-kesejahteraan. Faksi kesejahteraan bersilang sengkarut dengan faksi keadilan. Pada kenyataannya, faksi kesejahteraan ternyata hanyalah sekolompok gerombolan aktivis di dalam PKS yang ingin mengejar kekuasaan; sementara faksi keadilan bekerja untuk melancarkan agenda balas dendam politik kepada apa yang disebut ‘musuh-musuh Islam,’ meskipun siapa yang dimaksudkan dengan itu mereka saling bersengketa sesama sendiri. Anis Matta di mata faksi keadilan dianggap sangat pragmatis, kurang ideologis, semau gue. Dialah yang dulu pernah menganjurkan PKS menjalin kerjasama dengan PKC (Partai Komunis Cina), dan mengutip kembali apa yang dikatakan Deng: ‘tak peduli kucing hitam atau kucing merah, yang penting bisa menangkap tikus.’ Seperti Rizal, dia sekarang melihat dua pasangan tikus yang harus diterkam: SBY-Boediono. Bagi mereka, pasangan SBY-Boediono adalah tikus-tikus yang lezat.
IP: Kalau ada hal strategis yang diperjuangkan, kira-kira menurut anda apa yang strategis itu?
AEP: Saya tidak melihat hal-hal stretagis yang bersifat organisasional. Tidak ada titik temu apapun yang bersifat ideologis antara Rizal Malarangeng dan Anis Matta sebagai mewakili JIL dan PKS, untuk tujuan-tujuan politik yang lebih besar. Mereka hanya dipertemukan oleh kepentingan-kepentingan jangka pendek yang pertama-pertama bersifat individual. Bahwa nanti mungkin saja ganjaran dari upaya-upaya individual itu mempunyai dampak peruntungan organisasional, JIL dan PKS pasti sudah menyiapkan segudang justifikasi. Tetapi by design, tidak ada pre-positioning untuk membangun strategi bersama di antara dua komplotan itu sebelum tim-tim sukses SBY-Boediono mendekati mereka.
IP: Kalau kita perhatikan, beberapa aktivis JIL yang mendukung SBY-Boediono ini juga pro-neoliberal, sementara PKS jelas pro-syariat Islam. Ini mirip yang terjadi di AS era pemerintahan George W. Bush, Jr. dimana selain didukung oleh kalangan neokonservatif yang pro-neoliberal, basis dukungannya juga datang dari kelompok kristen fundamentalis. Bagaimana komentar anda?
AEP: Tidaklah tepat membandingkan konfigurasi JIL-PKS-SBY-Boediono dalam konteks pilpres kali ini, dengan jaringan-jaringan fundamentalis-neokon-neolib yang ada di belakang Bush. Dalam konteks politik AS pada masa Bush, memang terlihat ambisi-ambisi dan sentimen-sentimen ideologis besar diciptakan untuk mempertahankan struktur geopolitik AS di dunia, melalui penciptaan kekacauan global demi kepentingan terus bekerjanya mesin industrial-military complex segelintir industrialis-perang. Apakah Indonesia di bawah SBY-Boediono memiliki ambisi dan kepentingan sebesar itu? Tidak lah! Mereka toh hanya boneka-boneka dalam kapasitas masing-masing.
IP: Dengan basis dukungan dari sebagian aktivis JIL yang pro-neolib dan PKS, bagaimana sesungguhnya watak dari pemerintahan SBY-Boediono?
AEP: SBY-Boediono adalah boneka dan antek ekonomi-politik yang menjalankan kepentingan global AS. Persis seperti Soeharto yang selalu melayani resep-resep IMF dan WB, pasangan ini hanya ingin menjelmakan kembali praktek Orde Baru dalam latar Indonesia yang sudah relatif berubah menjadi negara liberal. Mereka adalah neo Orde Baru.
AEP: Hehe … Pertanyaan terakhir ini adalah pertanyaan yang nggege-mongso, mendahului musim. Tidak tepat dijawab sekarang, waktunya belum tiba, masih terlalu jauh. Sangat jauh …***