SEBULAN menjelang Pemilihan Umum (Pemilu), dunia dinyatakan resmi berada dalam resesi. Pertumbuhan ekonomi global pada awal tahun 2009 yang semula diprediksi hanya tumbuh setengah persen, dalam tempo dua bulan diralat oleh Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia menjadi dibawah nol persen dan merupakan angka terburuk sejak Perang Dunia II. Hal itu berpotensi membawa dampak yang beragam, dari pengangguran, kemiskinan, kelaparan, kerusuhan, sampai peperangan. Tak salah bila IMF yang hampir bangkrut itu kemudian menyimpulkan bahwa ini adalah persoalan manusia dan masa depannya.
Di dalam negeri, berbagai analisis dan tulisan yang telah muncul di berbagai media tak kunjung mengaitkan resesi itu dengan Pemilu di Indonesia. Padahal, solusi atas krisis saat ini adalah satu-satunya sumber legitimasi yang pantas dan patut atas proses pelaksanaan Pemilu, para pemenangnya, maupun presiden yang akan terpilih tahun ini.
Situasi di Indonesia
Bila dibandingkan dengan perekonomian negara-negara tetangga saat ini, Indonesia memang masih berada dalam posisi yang relatif lebih baik. Akan tetapi, dampak yang telah dan segera kita alami sungguh berat. Perkiraan pertumbuhan ekonomi tahun ini terus diralat dan kini merosot ke kisaran 4 persen. Tahun depan pun masih akan terseok-seok untuk menggapai kisaran 5 persen. Guyuran politik uang menjelang Pemilu yang mencapai trilyunan rupiah secara teoretis seharusnya mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Sebab, hal itu niscaya menambah jumlah kas beredar di masyarakat yang dapat dipergunakan untuk konsumsi. Namun demikian, kuat dugaan bahwa sektor riil yang tiarap dan bahkan diancam kebangkrutan massal, adalah faktor yang membuat angka pertumbuhan itu tetap meluncur ke bawah.
Seiring dengan memburuknya situasi di sektor riil, kini unjuk rasa buruh terjadi hampir tiap hari, khususnya di wilayah-wilayah yang menjadi sentra industri. Hal itu tak mengherankan, sebab angka pemutusan hubungan kerja (PHK) baik permanen maupun temporer akibat krisis, terus meningkat (lihat grafik). Di samping itu, sebagaimana ditunjukkan pada tabel, sederet permasalahan lainnya masih terbentang. Diantaranya, penurunan ekspor, investasi, daya beli yang merosot, inflasi, depresiasi mata uang, neraca pembayaran yang kian tertekan, potensi kebangkrutan perbankan, serta berbagai dampak non-ekonomi lainnya seperti malnutrisi dan gizi buruk yang akut di kalangan anak-anak dan generasi muda. Karena itu, tak salah bila situasi sekarang ini dapat dikatakan telah berada dalam depresi ekonomi nasional.
Akan tetapi, tampaknya terjadi kesenjangan yang signifikan antara realitas depresi ekonomi tersebut dengan ingar-bingar Pemilu. Kesenjangan itu makin terlihat kentara bila diperhatikan program-program yang mengemuka dari berbagai peserta Pemilu yang belum menohok masuk ke jantung permasalahan dan tawaran alternatif kebijakan.
Bukan hanya itu, ada pula partai yang mengampanyekan bahwa ekonomi kita baik dan karena itu kebijakan yang telah dilakukan serta kepemimpinannya harus dilanjutkan. Bahkan, berbagai iklan kampanye justru memperlihatkan partai-partai pendukung pemerintah yang berebut nama tentang “prestasi” ekonomi, diantaranya klaim swasembada pangan. Anehnya, mereka pun justru kian populer sebagaimana ditunjukkan oleh berbagai survey, kendati depresi ekonomi telah tiba.
Depresi Ekonomi dan Perubahan
Hal di atas sungguh bertolak belakang bila dibandingkan dengan fenomena dan paradigma yang lazim terjadi di kala krisis, yaitu perubahan mendasar atas kepemimpinan nasional dengan menawarkan bentuk, sasaran dan arah kebijakan yang baru. Itulah yang kita saksikan ketika resesi di Amerika Serikat (AS) mendorong kemenangan Barack Obama dalam Pemilu yang baru lalu dan juga perubahan kepemimpinan di negara-negara Amerika Latin setelah kegagalan proyek neoliberalisasi pada periode sebelumnya.
Perubahan paradigma itulah, bukan hanya perbedaan parameter dan indikator kebijakan (misalnya target pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan), yang seharusnya tampil lantang di panggung demokrasi menjelang Pemilu. Kenyataannya, jantung permasalahan yang menyebabkan depresi, yaitu paradigma kebijakan neoliberalistis yang selama ini mendominasi dan mempreteli fungsi sosial negara, serta menghamba pada modal, tak kunjung digugat. Padahal di tingkat global, gugatan terhadap neoliberalisme telah menjadi isu utama sejak berbulan-bulan lalu. Hal itu disuarakan bukan hanya oleh kekuatan-kekuatan progresif (misalnya partai-partai sosialis dan sosial demokrasi), melainkan juga oleh kubu konservatif, antara lain Presiden Perancis Nicolas Sarkozy (Rocamora, 2009).
Dalam hari-hari kampanye terbuka Pemilu yang berlangsung saat ini, kiranya layak untuk bertanya. Akankah perubahan paradigma itu akan terjadi, ataukah proses politik ini akan berlangsung secara business as usual, yakni parade kekuatan politik yang berkampanye dan rakyat memilih berdasarkan citra palsu dan slogan yang mendaku dirinya berjuang untuk rakyat?
Para politisi, baik pimpinan partai, calon anggota badan legislatif dan bahkan calon presiden, memiliki utang pada rakyat pemilihnya, yaitu solusi implementatif dalam bentuk kebijakan-kebijakan alternatif yang kongkret atas krisis yang mulai menyengsarakan rakyat secara besar-besaran ini. Jika tidak, Pemilu hanya akan jadi pengulangan ritual-ritual kebohongan yang satu untuk digantikan dengan kebohongan yang lain.***
Martin Manurung