MENGIKUTI dari dekat pemilu presiden Amerika saat ini, saya merasa sungguh beruntung. Soalnya, inilah pemilu yang paling krusial bagi rakyat Amerika; yang akan menentukan wajah imperium ini ke depan.
Saya mencatat, ada tiga hal besar yang menghinggapi Amerika saat ini: (1) krisis ekonomi yang parah; (2) masalah perang melawan terorisme yang tidak menunjukkan tanda-tanda akan menang; dan (3) masalah imigrasi yang tak pernah bisa diselesaikan dengan tuntas.
Sejak masa kampanye presiden digelar pada Juli lalu, ketiga tema di atas menjadi ajang jualan isu dari capres Barack Obama dan John McCain. Tetapi, dua isu pertama lebih dominan ketimbang isu ketiga. Di bidang ekonomi, sepertinya tampak perbedaan dari dua kandidat. Obama jualan populisme dan peran negara yang besar dalam distribusi kekayaan; sementara McCain muncul dengan jualan isu konservartif dan negara minimalis. Jika Obama mencitrakan dirinya sebagai sosok yang peduli pada kelas menengah dan rakyat miskin Amerika, maka McCain mencitrakan dirinya sebagai sosok yang peduli pada kelas menengah dan kaum kaya-raya; jika Obama pro-perubahan, maka McCain pro-kemapanan; jika Obama membawa harapan, maka McCain menyajikan kemandekan.
Sebelum Wall Street bangkrut, politik pencitraan ini sepertinya akan berlangsung sesuai skenario. Media-media Indonesia, juga tak luput dari perangkap politik citra ini. Tapi, begitu tsunami keuangan menimpa Wall Street, segala atribut hasil konstruksi media itu luruh terseret arus tsunami finansial tersebut. Sehari-dua setelah korporasi raksasa Lehman Brothers dinyatakan bangkrut, kedua kubu masih mencoba bertahan di posisi masing-masing. Menurut Obama, ini semua karena masalah deregulasi ekonomi salah-kaprah yang dilakukan pemerintahan George W. Bush yang didukung bulat-bulat oleh John McCain. Sementara itu, McCain menilai krisis ini lebih karena soal korupsi dan salah urus Washington.
Tetapi, ketika Wall Street terus jatuh sehingga memaksa rejim Bush untuk mengucurkan dana talangan sebesar US$700B, mendadak kedua capres dari Demokrat dan Republik ini memutuskan mendukung kebijakan bailout tersebut. Padahal, kebijakan tersebut dinilai banyak kalangan sebagai tidak adil, sebagaimana dikatakan mantan kandidat presiden dan anggota Kongres dari Partai Demokrat, Dennis Kucinich:
“The double standard is stunning; their profits are their profits, but their losses are our losses.”
Standar ganda sungguh sangat tampak; keuntungan mereka adalah keuntungannya, tapi ketika mereka merugi itu adalah kerugian kita juga.
Pertanyaannya, mengapa baik Obama dan McCain mendadak satu irama dalam mendukung kebijakan bailout ini?
Menurut saya, ada empat penjelasannya. Pertama, krisis ekonomi AS kali ini berdampak bukan hanya pada kelompok kaya yang beraktivitas di Wall Street tapi, juga semakin memperburuk lapisan terbesar rakyat Amerika yang beraktivitas di Main Street. Para elite tidak ingin krisis ini memicu terjadinya konflik terbuka antara Wall Streett dan Main Street. Selain itu, dalam rangka pacuan menuju Gedung Putih, memenangkan dukungan Main Street adalah jalan satu-satunya merengkuh kemenangan.
Kedua, struktur perekonomian Amerika saat ini sangat bertumpu pada sektor finansial, sementara fundamental ekonominya (sektor produksi) sangat rapuh (baca artikel saya di sini). Itu sebabnya, ketika sektor finansial ini mengalami kebangkrutan, bisa dipastikan sektor lain ikut terjun ke lantai dasar. Tidak itu saja, sektor keuangan ini merupakan sektor yang paling tersebar ke seluruh dunia, mengikat dan menghela sektor keuangan negara-negara lain. Sehingga, tidak ada pilihan mendesak kecuali, menyuntikkan dana segar ke sektor keuangan untuk mencegah efek menular dari kebangkrutan tersebut.
Ketiga, kedua-dua capres ini sesungguhnya sama-sama merupakan murid Milton Friedman, sama-sama pendukung neoliberal. Obama, walaupun retorikanya mengesankan ingin menjadikan negara sebagai superbodi tapi, secara substansial adalah pendukung ekonomi pasar. Seperti yang dikatakannya sendiri, “Look, I am a pro-growth, free-market guy. I love the market.”
Keduanya juga dikelilingi oleh para penasehat ekonomi dengan reputasi sebagai pendukung neoliberal terpuji. Penasehat ekonomi McCain, senator Phil Gramm, adalah orang yang bertanggung-jawab dalam krisis keuangan saat ini. Ialah orang pertama yang menulis draft tentang perundangan sektor keuangan pada 1999 (yang kemudian ditandatangani oleh presiden Bill Clinton), yang dikenal dengan nama Gramm-Leach-Bliley Act, atau Gramm-Leach-Bliley Financial Services Modernization Act. Undang-undang ini membatalkan undang-undang sebelumnya, Glass-Steagall Act of 1933, yang dibuat untuk mengontrol aktivitas spekulasi keuangan. Berbekal Gramm-Leach-Bliley Act , terjadi kompetisi di antara bank dan perusahaan sekuritas dan perusahaan asuransi. Undang-undang ini juga memungkinkan terjadinya konsolidasi perusahaan, misalnya, merger antara sektor perbankan dan asuransi.
Sementara itu, penasehat ekonomi Obama adalah Robert Rubin, mantan menteri keuangan jaman Bill Clinton. Rubin adalah aktor utama di balik serangkaian kebijakan deregulasi ekonomi jaman Clinton, yang menyebabkan terjadi eskalasi besar-besaran aset finansial dekade 1990an. Mantan CEO Goldman Sach dan kemudian presiden Citigroup (hasil merger antara Citibank dan perusahaan asuransi Travelers Group), tulis Lila Rjiva, adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam memblok regulasi yang membatasi perdagangan derivatif dan proyek konsolidasi perbankan, yang akhirnya memicu krisis saat ini. Rubin jugalah yang mempengaruhi Clinton agar menandatangani Gramm-Leach-Bliley Act, yang merupakan undang-undang favoritnya Wall Street.
Keempat, baik Obama dan McCain, secara keuangan sangat bergantung pada lapisan Wall Street, dalam membiayai aktivitas kampanye mereka. Gembar-gembor selama ini bahwa dana kampanye Obama, mayoritas datang dari pendukungnya yang menyumbang berapa saja (saya menyumbang US$3, karena volunternya cantik sekali), tidak sepenuhnya benar.
20 penyumbang dana terbesar utama Obama antara lain, Goldman Sachs (#1 at $692,000), Citigroup (#3 at $449,000), JP Morgan Chase (#4 at $405,000), Lehman Bros. (#10 at $371,000), dan Morgan Stanley (#16 at $319,000). Perlu diketahui Goldman Sachs menyumbang tiga kali terhadap Obama ketimbang terhadap McCain dan Citigroup menyumbang dua kali lebih besar kepada Obama ketimbang yang diberikannya kepada McCain. Sementara bank investasi Morgan Stanley, memberikan dana $20,000 lebih besar kepada Obama ketimbang yang diterima oleh McCain dari penyumbang terbesarnya, bank investasi dan perusahaan broker Merrill Lynch.
Sementara itu, sejak Agustus lalu, 20 penyumbang terbesar McCain adalah Merrill Lynch (#1 at $298,000); Citigroup (#2 at $209,000); Morgan Stanley (3 at $233,000); Goldman Sacs (4 at $208,000); Credit Suisse Group (8 at $150,000); UBSAG (10 at $140,000); PriceWaterhouseCooper (11 at $140,000); Bank of America (13 at $129,000); Wachovia (14 at $122,000); Lehman Bros (15 at $116,000), Bear Stearns (19 at $99,000), dan Pinnacle West (20 at $98,000).***
Coen Husain Pontoh
Kepustakaan:
Paul Street, “Profiles in Cowardice and Corruption: Why McCain and Obama are United in Weakness on the Financial Crisis,” September 26, 2008, http://www.zcommunications.org/znet/viewArticle/18930
Lila Rajiva, “Putting Lipstick on an AIG,” CounterPunch (September 20,21, 2008), http://www.counterpunch.org/rajiva09202008.html.
Naomi Klein, “Obama’s Chicgao Boys,” The Nation (June 12, 2008),
http://www.thenation.com/doc/20080630/klein.