SETELAH dihantam oleh krisis keuangan, diperparah oleh krisis minyak, kini dunia menghadapi ancaman krisis pangan. Datangnya krisis secara beruntun ini, telah menguras energi pemerintah di berbagai negara. Sebabnya, krisis ini tidak bisa ditangani satu per satu tapi harus serentak.
Dalam bahasa sehari-hari bisa dikatakan, orang lapar tidak bisa diminta menunggu karena pemerintah mesti membereskan listrik yang padam. Demikian juga, listrik padam akan menyebabkan lantai bursa berhenti beroperasi sehingga pergerakan uang berhenti dan krisis menjadi makin parah.
Krisis pangan kali ini ditandai dengan meningkatnya harga berbagai komoditi di pasaran internasional. Menurut “Rising Food Prices: Policy Options and World Bank Response,” harga terigu dunia telah meningkat sebesar 181 persen dalam 36 bulan hingga
Februari 2008. Di samping itu, seluruh harga pangan dunia meningkat sebesar 83 persen. Sementara itu, harga pangan pertanian diperkirakan terus meningkat pada 2008 dan 2009, setelah itu kembali menurun tapi masih di atas level harga 2004 hingga tahun 2015.
Laporan lain dari organisasi pangan PBB (Food and Agriculture Organisation/FAO), menyatakan, index harga pangan dunia meningkat 9 persen pada 2006 dan 23 persen pada 2007. Pada bulan Maret tahun ini, harga terigu dan jagung sebesar 130, meningkat 30 persen ketimbang awal tahun. Sementara harga beras meningkat dua kali lipat sejak akhir Januari.
Di dalam negeri AS, lonjakan harga pangan juga terjadi. Para analis mengatakan, saat ini rakyat Amerika sedang bergulat dengan inflasi pangan yang sangat buruk dalam 17 tahun terkahir, sebagai hasil dari meningkatnya harga-harga terigu, jagung, kedele, dan susu. Menurut laporan departemen pertanian AS (USDA), harga telur saja meningkat 25 persen, susu 13 persen, dan ayam 7 persen pada bulan Februari. Produk lain juga menunjukkan peningkatakan: pisang yang pada tahun 1991 harganya sebesar 49 sen per pon kini menjadi 99 sen, kopi dari $2.93 per pon pada 1991, kini menjadi $6.51; apel dari 59 sen per pon pada 1991 menjadi $1.69 per pada 2008; kentang yang pada 1991 hanya seharga 86 sen per pon, kini menjadi $1.29.
Akibat kenaikan harga tersebut, diperkirakan 28 juta penduduk AS saat ini mengonsumsi makanan paketan (food stamps) untuk bisa bertahan hidup. Satu dari enam orang di Virginia Barat, dan satu dari sepuluh di Ohio dan New York, kini menggantungkan hidupnya dari makanan paketan ini. Selain itu, satu dari tiga anak-anak di Oklahoma mengonsumsi makanan paketan dalam beberap kali kesempatan tahun lalu.
Melonjaknya harga bahan-bahan pangan ini, menyebabkan terjadi protes masssa di berbagai tempat, dari Italia, Burkina Faso, Kamerun, Mesir, Meksiko, Filipina, Ivory Coast, Mauritania, Mozambique, Senegal, dan Haiti.
Di Yaman, lebih dari 1.000 orang turun ke jalan pada empat April; empat hari sebelumnya, sekitar 1.500 orang berteriak “kami lapar” di jalan-jalan di Cote d’Ivoire, salah satu negara makmur di Afrika Barat; protes ribuan orang juga terjadi di Haiti, salah satu negara termiskin di dunia, dimana penduduknya hanya hidup dengan kurang dari $2 per hari. Protes di Haiti ini berlangsung selama enam hari, menuntut agar perdana menteri negara tersebut mundur; di Kairo, Mesir, ribuan massa tak peduli lagi dengan undang-undang negara itu yang melarang orang berdemonstrasi. Ribuan buruh dan pendukungnya yang memrotes kenaikan harga bahan pangan, bentrok dengan polisi di Mahalla el-Kobra, pada tanggal 6 dan 7 April.
Penyebab Krisis
Agak sulit menerima kenyataan bahwa kini kita mengalami krisis pangan. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat fantastis, jika diterapkan di bidang pertanian, sesungguhnya sanggup memenuhi kebutuhan manusia saat ini. Kenyataannya, dari enam juta penduduk yang menempati planet ini, setengahnya mengalami kekurangan nutrisi, 854 juta orang kini tidur dalam keadaan lapar setiap hari, dan setiap tahun enam juta anak-anak di bawah umur lima tahun meninggal karena kelaparan. Laporan PBB tahun lalu menyebutkan, sejumlah 18 ribu anak mati setiap harinya karena konsekuensi langsung maupun tidak langsung dari kekurangan nutrisi.
Lantas mengapa krisis ini terjadi? Lebih khusus lagi, mengapa terjadi kenaikan harga bahan pangan? Fred Magdoff memberikan empat alasan penyebabnya: pertama, kenaikan harga bahan pangan ini langsung atau tidak langsung disebabkan oleh kenaikan harga minyak. Di negara-negara seperti AS, Eropa dan beberapa negara lainnya, untuk mengantisipasi lonjakan harga minyak adalah melalui intensifikasi penggunaan apa yang disebut biofuels atau agrofuels. Produksi jagung misalnya, digunakan untuk membuat ethanol atau kacang kedele dan minyak kelapa untuk membuat mesin diesel. Tahun lalu, misalnya, lebih dari 20 persen dari seluruh produk jagung di AS digunakan untuk memproduksi ethanol. Akibatnya, terjadi kompetisi antara produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan langsung manusia dan untuk kebutuhan energi alternatif.
Kedua, meningkatnya harga jagung, kacang kedele dan minyak goreng kedele, disebabkan oleh meningkatnya permintaan akan daging di antara kelas menengah di Amerika Latin, Asia, dan khususnya Cina. Penggunaan jagung dan kedele untuk memasak sapi, babi, dan ayam meningkat drastis untuk memenuhi permintaan tersebut. Padahal total suplai daging seluruh dunia terus meningkat dari 71 juta ton pada 1961 diperkirakan menjadi 284 juta pada 2007.
Penyebab ketiga, ketika sebagian kecil negara kini telah sanggup memenuhi kebutuhan pangannya sendiri, sehingga mereka membatasi atau tidak lagi mengimpor bahan pangan, beberapa negara dengan jumlah penduduk besar seperti India dan Cina, justru menjadi importir pangan terbesar. Ketika India dan Cina mengimpor produk pangan, maka era harga bahan pangan murah selesai sudah.
Perubahan iklim secara tiba-tiba, seperti bencana alam, menjadi penyumbang keempat bagi meningkatnya harga pangan dunia. Cyclone yang melanda Bangladesh pada 2007, menyebabkan hancurnya sekitar $600 juta produk beras, yang menyebabkan harga beras meningkat sekitar 70 persen. Penyebab kelima, dari meningkatnya harga pangan dunia, adalah spekulasi di pasar bursa. Di AS ketika krisis keuangan semakin dalam dan menyebar pada musim dingin 2008, para spekulan mulai menempatkan lebih banyak uangnya di sektor pangan dan metal untuk menangguk keuntungan dari apa yang disebut “commodity super cycle.”
Saya ingin menambahkan penyebab lain dari krisis pangan yakni, makin kurangnya perhatian terhadap pembangunan sektor pertanian yang pro-rakyat. Diadopsinya kebijakan neoliberal, yang mendorong produksi untuk ekspor, menyebabkan kebijakan pembangunan pertanian berwatak anti petani kecil. Rejim neoliberal di negara-negara berkembang, kemudian menghentikan subsidi untuk pupuk pertanian, membiarkan produksi petani kecil hancur dihantam ketidakpastian harga. Akibatnya penduduk pedesaan tidak lagi memiliki akses terhadap tanah, harga produk yang rendah, serta kekalahannya berhadapan dengan perusahaan pertanian skala besar.
Hasilnya, walaupun harga pangan meningkat, petani kecil tidak memperoleh keuntungan sedikitpun darinya. Mereka justru kian menderita, karena tercerabut dari sektor produksi. ***
Coen Husain Pontoh
Kepustakaan:
Fred Magdoff, “The World Food Crisis Sources and Solutions,” Monthly Review, Vol 60, No.1, May 2008.
Nergui Manalsuren, “Food Crisis Rippling Out, Like A “Tsunami”, 21 May, 2008, Inter Press Service, http://countercurrents.org/manalsuren210508.htm
Saeed Shabazz , “Could the Global Food Crisis Impact America?” May 02, 2008, http://news.newamericamedia.org/news/view_article.html?article_id=bde99fdda67466
9b73860ec1a4386081
Sharon Smith, “Let them eat ethanol The revolt over rising food prices,” ISR Issue 59, May–June 2008, http://www.isreview.org/issues/59/feat-food.shtml