Melihat Kemiskinan, Menakar Pemahaman Untuk Usaha Perubahan

Print Friendly, PDF & Email

SEKITAR tahun 1980-an, orang pernah berdebat sengit mempersoalkan penyebab kemiskinan. Sedikitnya, ada dua pandangan yang berdebat keras tentang itu. Satu pihak memandang kemiskinan adalah produk struktur sosial masyarakat, sementara pihak penentangnya menganggap faktor kultural sebagai biang keladinya. Perdebatan itu kemudian surut dan menghilang. Tentu saja bukan pertanda bahwa persoalan kemiskinan berhasil ditangani, tetapi sebaliknya. Kemiskinan terus menjadi-jadi meski banyak pihak cenderung menolaknya, terutama para pembuat kebijakan pembangunan.

Surutnya perdebatan struktural versus kultural, alih-alih melahirkan rumusan baru yang bisa memperjelas masalah kemiskinan, perdebatan kemudian bergeser pada isu “berdaya” dan “tidak berdaya.” Mendapati istilah baru, berbondong-bondonglah berbagai macam program pembangunan, pendampingan masyarakat dan penelitian dengan label empowerment. Tidak lama berselang muncul lagi istilah “marjinal” dan “marjinalisasi”.

Jika ditelaah lebih jeli lingkup bahasannya, sebenarnya tidak beranjak dari persoalan ketimpangan. Ada segelintir orang yang bisa menikmati kelimpahan materi, sementara sebagian besar justru kekurangan. Ada juga segelintir orang yang bisa mengakses banyak hal di luar kebutuhan dasar, sementara sebagian besar orang masih berkutat di usaha pemenuhan kebutuhan dasar. Itu menandakan kebuntuan pada jalan penanganan dan pemecahan soal kemiskinan.

Berbagai konsep dibuat dan diterapkan, tetapi kemiskinan tak kunjung terpecahkan. Kalaupun sementara ini kita bisa mengatakan tidak mungkin menghilangkan kemiskinan, untuk mengenalinya pun tampaknya kita masih meraba-raba. Bongkar pasang konsep bukanlah jalan yang baik, selama kita belum secara jelas mengenali kemiskinan itu sendiri.

Apa yang bisa kita lakukan menghadapi kondisi seperti itu?

Beberapa waktu lalu orang pernah ramai membahas kemiskinan “relatif” dan “absolut.” Perdebatan itu sama sekali tidak produktif, bahkan cenderung membahayakan, karena kedua istilah itu mudah digunakan untuk: pertama, membenarkan kebijakan pembangunan yang tidak melindungi atau memihak kaum miskin; kedua menganggap kemiskinan sebagai hal yang ada dengan sendirinya; dan ketiga, menutupi akar penyebab kemiskinan itu sendiri.

Kemiskinan adalah kemiskinan, tanpa embel-embel absolut dan relatif. Orang miskin adalah setiap manusia yang tidak bisa memperoleh kebutuhan dasar bagi kelangsungan hidupnya sebagai manusia. Apakah mereka merasa miskin atau tidak, itu soal persepsi dan hegemoni pengetahuan, bukan persoalan material yang jelas-jelas dihadapi kaum miskin. Kalaupun orang bisa memiliki konsepsi sendiri tentang kemiskinan, rujukan kita dalam membahas persoalan itu tidak bisa beranjak semata-mata dari persepsi masyarakat, melainkan harus tetap
bersandar pada soal terpenuhi atau tidaknya kebutuhan dasar seseorang sebagai mahluk hidup.

Hal ini penting dikemukakan, mengingat penggunaan persepsi masyarakat secara tidak proporsional sangat membahayakan. Mengamini persepsi masyarakat tanpa landasan teoretis yang jelas, dapat menutup pandangan kita terhadap kenyataan yang sebenarnya. Bagi pemegang kebijakan, hal itu dapat dijadikan justifikasi atas kebijakan-kebijakannya yang tidak dirancang untuk kepentingan orang miskin. Bagi kaum intelektual dan praktisi di lapangan, hal itu bisa dijadikan pembenaran atas ketidakmampuannya memahami persoalan. Lebih dari itu, mengamini persepsi masyarakat tanpa didasari pengetahuan yang memadai tentang sejarah ekonomi politik masyarakat, hanya akan menyeret kita pada perdebatan konseptual yang besar kemungkinan tidak memiliki pijakan empiris.

Selain berdebat “kemiskinan absolut” dan “relatif,” orang juga pernah ribut mempersoalkan kemiskinan “material” versus “non-material” seperti, kelemahan menajemen, tidak memiliki jaringan sosial yang luas, dan sebagainya. Mempersoalkan hal itu bisa memberi keasyikan tersendiri, tetapi bisa mengecoh pandangan kita terhadap akar persoalan kemiskinan yang sebenarnya.

Implikasinya pun tidak sederhana, jika sudah diturunkan pada tataran kebijakan dan program pembangunan yang terkait langsung dengan kehidupan masyarakat. Sebagai contoh, karena kemiskinan dianggap sebagai persoalan ketidakmampuan membangun jaringan sosial yang luas, maka solusinya adalah melatih masyarakat bagaimana cara memperluas jaringan sosialnya. Alasannya, kemiskinan dianggap sebagai kelemahan manajerial dan ketidakmampuan mengakses informasi, maka berbondong-bondonglah orang membuat program pelatihan manajemen seraya mendorong keterbukaan informasi tentang
peluang-peluang ekonomi yang baik untuk masyarakat.

Lucu, meski saya tak bermaksud mengatakan itu konyol, sebab kita lupa bahwa kemampuan manajerial, luas tidaknya jaringan sosial yang dimiliki seseorang, kemampuan memperoleh informasi, dan seterusnya adalah kemampuan-kemampuan yang mensyaratkan adanya basis material yang mencukupi untuk itu.

Kemampuan-kemampuan itu lahir dari hubungan-hubungan sosial di masyarakat, dan hubungan-hubungan sosial bisa terjadi karena ada materi atau sumberdaya yang dipertukarkan. Di luar tenaga fisiknya, apakah kaum miskin memiliki itu? Apakah mereka punya cukup energi yang bisa dipertukarkan untuk meningkatkan kapasitas dirinya dalam upaya meningkatkan penguasaan sumberdaya? Padahal waktunya habis untuk mememenuhi kebutuhan dasar setiap hari.

Usaha memecahkan kemiskinan juga tidak bisa ditembus melalui jalur “partisipasi” an sich. Pertama, partisipasi memprasyaratkan hal-hal yang secara faktual tidak dimiliki kaum miskin, seperti halnya kemampuan manajerial dan keluasan jaringan sosial yang dimiliki seseorang.

Kedua, seseorang bisa berpartisipasi dalam membuat atau merumuskan kepentingannya, mengandaikan orang yang bersangkutan cukup memiliki power ketika berhadapan dengan partisipan lainnya. Kesepakatan yang lahir dari partisipasi banyak pihak, mensyaratkan adanya keseimbangan kekuatan dalam proses pertukaran sumberdaya antar orang. Jika tidak, maka yang terjadi adalah partisipasi “seolah-olah,” sehingga keputusan-keputusan yang
dihasilkannya pun seolah-olah pula.

Banyak contoh menunjukkan, terbukanya saluran partisipasi yang menegasikan prasyarat seperti yang saya sebutkan tadi, hanya akan menguntungkan segelintir orang yang masuk kategori elit di kalangan orang miskin. Itulah sebabnya banyak kegiatan pengorganisasian atau pendampingan yang diprakarsai organisasi non pemerintah dan lembaga-lembaga “bantuan” internasional, bukannya melahirkan partisipasi demokratis dari “kelompok sasaran” sehingga
keterlibatannya secara signifikan mempengaruhi perbaikan hidupnya, tapi justru melahirkan elit-elit baru yang memiliki kepentingan sendiri di luar kepentingan khalayak banyak. Karena itu pula lah, tidak mengherankan jika kemampuan berlari kemiskinan, jauh melampaui usaha-usaha penanganannya.***

Sadikin adalah pengelola situs Rumah Kiri, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bandung.

Artikel ini sebelumnya dimuat di Buletin Elektronik SADAR,  Simpul Untuk Keadilan dan Demokrasi, www.Prakarsa-Rakyat.org, Edisi: 116 Tahun IV – 2008.

 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.