TANGGAL 25 Maret 2008, Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk memenuhi sebagian dari tuntutan judicial review UU No 25/2007 tentang Penanaman Modal.
Mahkamah Konstitusi (MK) hanya membatalkan Pasal 22, terkait hak atas tanah yang tertuang dalam UU ini. Selebihnya, UU ini dianggap konstitusional.
Keputusan MK ini ditanggapi seragam. Uniknya, yang kecewa bukan hanya penggugat, tetapi juga yang mendukung UU ini. Kalangan investor menganggap keputusan MK ini memupuskan harapan mereka untuk menanamkan modal di lapangan agraria (Kontan, 26/5/2008).
Penggugat pun kecewa. Keputusan ini dinilai tidak secara keseluruhan menganulir ”kesesatan” ideologis yang tercermin dalam tubuh UU. Dikhawatirkan, Indonesia dengan mudah masuk ke alam penjajahan baru yang memanjakan investasi asing.
Tidak cermat
Gerakan Rakyat Melawan Neokolonialisme-Imperialisme (GERAK LAWAN)—koalisi lembaga-lembaga penggugat—memandang putusan para hakim konstitusi itu tidak cermat.
Pertama, perlakuan sama yang tidak membedakan asal negara (Pasal 3) dianggap konstitusional. Seharusnya, arah pembangunan lebih memprioritaskan kepentingan nasional. UUD 1945 tegas menyatakan cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat dalam sistem perekonomian berbasis ekonomi kerakyatan.
Kedua, kekhawatiran berlangsungnya capital flight karena dibolehkannya pemindahan aset kapan dan di mana pun (Pasal 8), dianggap tidak beralasan oleh MK. Padahal, fakta di lapangan menunjukkan, repatriasi aset berkorelasi langsung dengan kebijakan pemutusan hubungan kerja secara massal.
MK menyatakan, masalah penguasaan atas tanah akan dikembalikan pada UUPA 1960. Dalam praktik, UUPA 1960 tak pernah dicabut, tetapi tidak pula dijalankan. Yang justru berjalan adalah UU sektoral yang lebih menguntungkan modal internasional.
GERAK LAWAN mengingatkan para hakim konstitusi, pemerintah, parlemen, partai politik, dan pengusaha agen modal internasional untuk bertanggung jawab atas terjajahnya Indonesia, masifnya konflik agraria, PHK massal, kelaparan dan penderitaan rakyat, menyusul putusan atas UUPM ini.
Kembali ke UUPA
Bagi penulis, pembatalan klausul UUPM yang secara langsung menyentuh substansi UU No 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) patut diapresiasi dan diberi jalan alternatif. Paling tidak, pembatalan ketentuan tentang hak guna usaha (95 tahun), hak guna bangunan (80 tahun), dan hak pakai (70 tahun) sebagai pintu masuk bagi raksasa kapital asing di republik ini kini tertutup sudah.
Lebih lanjut, pembatalan Pasal 22 UUPM membawa konsekuensi yang menuntut perhatian para pembentuk kebijakan (legislasi) nasional. Setidaknya tiga tantangan menanti di depan mata.
Pertama, perlu pengukuhan kembali semangat, posisi, dan eksistensi UUPA sebagai dasar hukum segala legislasi dan peraturan operasional terkait tanah, air, udara, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Kedua, karena UUPA adalah payung, maka seluruh produk legislasi terkait perlu ditinjau ulang. Bagi UU yang bertentangan dengan semangat dan isi UUPA harus dicabut atau diganti. Untuk yang belum utuh perlu penyesuaian sehingga konsisten dengan UUPA. Untuk kebolongan-kebolongan hukum yang ada perlu ditambal dengan pembentukan peraturan perundang-undangan baru yang sifatnya mengoperasionalkan amanat UUPA.
Ketiga, salah satu agenda mendesak adalah penyusunan UU Reforma Agraria guna menambal kebolongan hukum terkait operasionalisasi program reforma agraria. Program pembaruan agraria nasional yang direncanakan pemerintah membutuhkan dasar hukum kuat dan konprehensif. Karena itu, penyusunan UU reforma agraria harus segera menjadi agenda prioritas pemerintah bersama parlemen.
Kemenangan kecil
Tahun lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berjanji akan mulai menjalankan reforma agraria (31/1/2007). Hingga kini, belum terwujud. Dari segi momentum, reforma agraria dikhawatirkan kian memudar.
Memudarnya rencana reforma agraria, terkait ketidaktegasnya kepemimpinan politik nasional dalam mengarahkan reforma agraria. Tidak solidnya jajaran pemerintahan pusat dan daerah, melambatkan agenda besar ini.
Suhu politik menjelang Pemilu 2009 pasti akan menunda hampir semua agenda besar, seperti reforma agraria. Tajamnya perbedaan dan lebarnya spektrum kepentingan dalam konfigurasi politik lokal dan nasional memacetkan agenda populis yang dicetuskan presiden.
Dari sisa waktu, di tengah kemacetan politik, sulit mengharapkan pemerintahan mampu mewujudkan reforma agraria sebagai strategi alternatif menanggulangi kemiskinan, pengangguran, dan ketidakadilan sosial.
Satu hal yang perlu dirawat adalah berkecambahnya harapan bahwa keadilan sosial lewat perwujudan keadilan agraria adalah solusi tak terbantahkan. Yang layak digencarkan, mendorong kekuatan rakyat untuk meraih aneka kemenangan kecil, meski terbatas tetapi terukur, sambil menunggu hasil Pemilu 2009.
Usep Setiawan Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria