Kredit foto: Process: a blog for american history
SEJAK runtuhnya Tembok Berlin, kapitalisme telah dibaptis sebagai pemenang sejarah. Kapitalisme menjadi sesuatu yang unik, dibutuhkan, dan jalah tak terhindarkan bagi masa depan umat manusia.
Ironisnya, kalangan liberal yang menyematkan mahkota kemenangan kepada kapitalisme, lebih suka menggunakan kosakata Ekonomi Pasar (Market Economy). Tak tanggung-tanggung, Friedrich August von Hayek, nabinya kalangan neoliberal, menolak untuk menggunakan atau sekadar mendengar pengucapan kata kapitalisme.
Ironisme ini muncul, dengan beragam alasan. Misalnya, karena tak kunjung ada satu definisi memuaskan tentang apa itu kapitalisme. Kapitalisme memang bisa dibicarakan dari beragam sudut: ideologi, politik, ekonomi, sosial, atau budaya. Itu sebabnya, penggunaan kata yang mulai populer sejak akhir abad ke-19 ini, mengandung banyak bias. Tapi, ada alasan lain yakni, bersembunyinya kepentingan ideologis di balik penggunaan kata ekonomi pasar.
Karena itu, ada baiknya kita kembali sejenak ke akhir abad sembilan belas itu. Sejak hancurnya sistem masyarakat feodal, sebagian aspek dalam kehidupan manusia berkembang sangat pesat. Misalnya, meluasnya pemakaian uang dan hubungan pertukaran; perkembangan pesat hubungan pasar yang secara perlahan menjadikannya sebagai elemen penting dalam pabrik sosial; pertumbuhan cepat sektor perbankan, kredit, keuangan, dan spekulasi sebagai motor penggerak sektor produksi dan distribusi; berkembangnya hubungan baru yang kian kompleks antara seluruh aspek-aspek ekonomi tersebut dengan negara; peningkatan secara rasional dan sistemik mobilisasi pengetahuan keilmuan dan potensi tekknik yang bertujuan menciptakan komoditi-komoditi baru; serta harapan kelompok kaya dan mereka yang ingin menjadi kaya untuk mengembangkan kebutuhan-kebutuhan baru.
Keseluruhan aspek-aspek ini, menurut Michel Beaut, merupakan bagian dari kata kapitalisme. Demikian begitu, pemakaian kata ekonomi pasar sebagai kata ganti kapitalisme merupakan sebuah penyederhanaan. Menurut ekonom Marxis Samir Amin, pasar tak lebih dari sekadar bentuk manajemen sosial-ekonomi kapital.
Definisi lain yang kurang memadai mengenai kapitalisme, dikemukakan oleh ensiklopedis David Robertson. Menurutnya kapitalisme sebagai sebuah sistem ekonomi yang merupakan kombinasi dari kepemilikan pribadi, pasar yang kompetitif dan relatif bebas dari campur tangan negara, dan asumsi umum tentang sekumpulan besar tenaga kerja yang terlibat dalam proses kerja yang memproduksi barang-barang untuk kemudian dijual guna mendatangkan keuntungan. Definisi ini reduksionis karena ia mengabaikan peran negara dalam proses produksi dan pertukaran produk-produk ekonomi.
Mungkin menyadari bahwa definisinya terlalu menyederhanakan, Robertson kemudian menambahkan, bahwa kapitalisme memiliki ideologi dan teori ekonominya sendiri seperti halnya seluruh sistem ekonomi politik. Sayangnya, tidak ada penjabaran lebih lanjut dari Robertson soal yang dimaksudnya ini. Pada akhir paparannya, ia kembali melakukan penyederhanaan dengan mengatakan,
“saat ini kapitalisme terfokus pada dua gagasan: produksi untuk keuntungan dan keberadaan kepemilikan pribadi, dimana sebagian kecil darinya dikuasai oleh negara.”
Definisi lain yang simplistis, dikemukakan oleh intelektual kiri Amerika Serikat, Leo Huberman. Ia mengatakan, kapitalisme adalah sistem produksi dan distribusi. Ekonom Inggris, Anthony Brewer, mendefinisikan kapitalisme atas dua ciri utama: kapitalisme sebagai sistem produksi komoditi dan di dalam sistem itu, produksi dikontrol oleh kapitalis yang mempekerjakan buruh.
Menurut sejarawan Eric Hobsbawn, kosakata kapitalisme mulai memasuki perbincangan ekonomi dan politik pada tahun 1860an. Dan orang yang pertama kali menggunakan kata ini, yang membuat kita berhutang kepadanya, ujar sejarawan Jerry Z. Muller, adalah Karl Marx dan Friedrich Engels. Sebelumnya, demikian Muller, kosakata yang akrab dipakai untuk menggambarkan kemunculan sebuah sistem masyarakat yang baru itu adalah kosakata merchant-society (masyarakat-dagang) dari Adam Smith, atau civil-society (masyarakat-sipil) dari Georg Wilhelm Friedrich Hegel .
Jika begini ceritanya, ada baiknya kita menelisik apa yang dimaksud Marx dengan kata kapitalisme. Saya mau meminjam tafsiran dari ekonom Howard dan King untuk melihat definisi Marx tentang kapitalisme. Marx mengatakan, kapitalisme didasarkan pada empat ciri utama: pertama, kapitalisme dicirikan oleh produksi komoditi (production of commodities); kedua, adanya kerja-upahan (wage-labour); ketiga, kehendak untuk menumpuk kekayaan tanpa batas (acquisitiveness); dan keempat, kapitalisme dicirikan oleh organisasi yang rasional.
Mari kita periksa satu demi satu. Pertama, kapitalisme dicirikan oleh produksi komoditi. Menurut Marx produksi komoditi hanya eksis dalam sistem kapitalisme. Sementara produksi barang dagangan atau barang yang diperdagangkan eksis di dalam semua bentuk masyarakat, misalnya di masyarakat perbudakan atau masyarakat feodal yang non-kapitalis. Misalnya, menurut Marx, dalam masyarakat non-kapitalis yang masih murni, seperti di Amerika Utara masa kolonial, kata Marx, para pengrajin dan petani yang menetap di wilayah itu memiliki sendiri alat-alat produksinya dan menjual kelebihan produksinya sebagai barang dagangan.
Produksi komoditi bagi Marx bermakna, sebuah sistem dimana aktivitas ekonomi dilaksanakan oleh agen-agen yang independen atau bebas, tapi dikoordinasikan oleh pasar pertukaran. Tetapi, Marx buru-buru mengatakan, dominasi pasar yang merupakan mekanisme koordinasi ekonomi, tidaklah mencukupi untuk menggambarkan karakter dari kapitalisme. Di sini, ia kemudian berbicara tentang aspek kedua dari kapitalisme yang dicirikan oleh tenaga kerja manusia yang telah berubah menjadi komoditi, bersamaan dengan kemunculan sistem kerja-upahan, dimana buruh bebas menjual tenaga kerja yang dimilikinya. Hubungan kapital-buruh ini merupakan hubungan kelas yang utama, kunci sukses dalam memahami keseluruhan moda produksi dan formasi sosial yang mendasarinya.
Menurut Marx, dalam sistem ini uang dan komoditi bukan lagi sekadar alat-alat produksi atau alat-alat subsistensi, yang kemudian ditransformasikan menjadi kapital. Tetapi, proses transformasi itu sendiri hanya mungkin terjadi di bawah kondisi-kondisi tertentu yang berpusat pada,
“…the two very different kinds of commodity-possessors must come face to face and into contact; on the one hand, the owners of money, means of production, means of subsistence, who are eager to increase the sum of values they possess by buying other people’s labour-power; on the athoer hand, free labourers … in the double sense that neither they themselves form part and parcel of the means of production, as in the case of slaves, bondsmen etc, nor do the means of production belong to them, as in the case of peasent-proprietors; they are, therefore, free from, ununcumbered by, any means of production if their own…
….dua hal yang sangat berbeda, komodi-pemilik komoditi, saling berhadap-hadapan dan berhubungan; di satu pihak, pemilik uang, pemilik alat-alat produksi, alat-alat subsisten, yang sangat berhasrat untuk meningkatkan jumlah nilai yang mereka miliki, dengan cara membeli tenaga kerja orang lain; pada pihak lain, adalah pekerja bebas ….dalam pengertian ganda, dimana mereka bukan bagian dari alat-alat produksi sebagaimana dalam kasus perbudakan atau perhambaan dan sebagainya, … juga mereka tidak memiliki alat-alat produksi seperti dalam kasus petani-pemilik; mereka bebas dari alat-alat produksi yang dimilikinya….”
Dalam karyanya Wage, Labour, and Capital, Marx menekankan kembali keberadaan buruh bebas ini, dimana baginya, tenaga kerja tidak melulu berarti komoditi. Buruh tidak sendirinya berarti buruh-upahan tapi, yang lebih penting adalah statusnya sebagai buruh-bebas. Seperti tampak pada kutipan di atas, buruh bebas ini menjual dirinya sendiri, lebih dari itu, menjual karakter dirinya. Ia menjual sejumlah delapan, sepuluh, dua belas, lima belas jam dalam sehari, setiap harinya, kepada pembeli tertinggi, pemilik alat-alat produksi, dan alat-alat subsisten yakni, si kapitalis. Pada saat yang sama, si buruh bebas meninggalkan si kapitalis kapan saja ia mau, demikian juga dengan si kapitalis, bebas menendang si buruh jika ia menganggap si buruh tidak lagi mendatangkan keuntungan baginya. Tetapi, si buruh, yang menjual sumber inti penghidupannya kepada si kapitalis, tidak bisa melepaskan dirinya dari keseluruhan kelas yang membelinya, kelas kapitalis tanpa mendeklarasikan keberadaan dirinya. Di sinilah letak utama keunikan sistem kapitalis, dimana hubungan buruh-kapital ini melampaui hubungan personal buruh-kapitalis tapi, lebih dari itu membentuk hubungan antara kelas buruh dengan kelas kapitalis yang lebih kompeks.
Sedangkan yang dimaksud dengan kehendak untuk menumpuk kekayaan tanpa batas (acquisitiveness atau endless accumulation of capital), yang merupakan aspek ketiga dari kapitalisme, merupakan motivasi utama seorang kapitalis. Bagi seorang kapitalis, akumulasi kekayaan adalah tujuan utamanya ketimbang bentuk-bentuk tertentu dari kekayaan seperti, tanah atau objek-objek konsumsi lainnya. Mengenai hal ini, Marx dengan sangat jelas mengatakan,
“The expansion of value …. Becomes his subjective aim, and it is only in so far as the appropriation of ever more and more wealth in the abstract becomes the sole motive of his operations, that he functions as a capitalist …. Use-value must therefore never be looked upon as the real aim of the capitalist.
Ekspansi atau perluasan nilai ….menjadi tujuan subjektif seorang kapitalis, dan motif utama ini hanya berlaku sejauh ia memperoleh lebih dan lebih banyak lagi kekayaan dalam fungsinya sebagai seorang kapitalis…. Nilai-guna, dengan demikian, tidak bisa dilihat sebagai tujuan utama seorang kapitalis.”
Aspek terakhir dari kapitalisme, adalah kebutuhan akan sebuah organisasi yang rasional. Organisasi ini yang memungkinkan motivasi kapitalis, misalnya, terwujud sepenuh-penuhnya. Di sini, Marx mengatakan, motivasi untuk terus “memperkaya diri” bukanlah ekspresi “alamiah” gerak ekonomi universal. Bagi Marx, motivasi kapitalis itu muncul dalam proses sejarah yang mendahului dominasi produksi kapitalis. Pada tahap ini, momen paling krusial dalam sejarah Eropa abad pertengahan, adalah berkembangnya asosiasi-asosiasi yang beriringan dengan pertumbuhan kota-kota di Eropa dimana, secara khusus, muncul gerakan yang menghendaki terbentuknya otonomi perkotaan dan diciptakannya ekonomi uang yang memungkinkan ekspansi dagang berkembang pesat. Dalam proses ini, kata Marx lebih lanjut, kota terbebas dari kungkungan etika komunal yang kaku dan pembatasan-pembatasan yang diberlakukan oleh sistem feodal. Sementara, meluasnya hubungan uang, mempromosikan akuisisi rasional dari “kekayaan secara umum” melalui ketersediaan alat-alat produksi.
Dari sini, Marx secara implisit selalu mengatakan, bahwa bagi seorang kapitalis, motivasinya tidak bisa disederhanakan sekadar keinginan untuk menumpuk kekayaan belaka melainkan, ia secara rasional akan terus-menerus mencari dan mengadopsi alat-alat produksi yang terbaik untuk merealisasikan tujuannya yakni, penumpukan kekayaan tanpa batas.***
Coen Husain Pontoh, Mahasiswa Ilmu Politik di City University of New York (CUNY)
Kepustakaan:
Anthony Brewer, “A Guide to Marx’s Capital,” Cambridge University Press, 1984.
David Robertson, “The Routledge Dictionary of Politics,” Routledge, 2002.
Eric Hobsbawn, “The Age Of Capital 1848-1875,” Abacus, 1997.
Jerry Z. Muller, “The Mind And The Market Capitalism in Modern European Thought,” Albert A. Knopf, 2002.
Karl Marx, “Capital I” Progress Publishers, Moscow, 1974.
Leo Huberman & Paul M. Sweezy, “Introduction to Socialism,” Monthly Review Press, 1968.
M.C. Howard & J.E. King, “The Political Economy of Marx,” New York University Press, 1985.
Michel Beaud, “A History of Capitalism 1500-2000,” Monthly Review Press, 2001.
Robert C. Tucker (ed), “The Marx-Engels Reader” second edition, W.W. Norton & Company, 1978.
Samir Amin, “Market Economy’ or Oligopoly Finance Capitalism?” Monthly Review, Vol. 59, April, 2008.