KUBA atau Republica de Cuba, negara di kawasan Laut Karibia yang lebih kecil dari luas Pulau Jawa ini, memperingati Hari Kemenangan Nasional-nya pada 1 Januari 2008. Tepat 49 tahun yang lalu, hanya didukung 82 pejuang yang dilatih oleh Alberto Bayo (bekas kolonel tentara Spanyol), Fidel Castro menggulingkan diktator Fulgencio Batista yang berkuasa di negeri itu sejak tahun 1956 dan Batista kemudian melarikan diri pada 1 Januari 1959.
Saat Batista melarikan diri itulah Fidel Castro dan pendukungnya menduduki Havana dan membentuk pemerintahan baru. Castro menjadi kepala negara dan membangun Republik Kuba menjadi negara sosialis berhaluan sosialis-komunis (Marxis-Leninis) di bawah kepemimpinan partai tunggal Partai Komunis Kuba. Itulah yang kemudian diperingati sebagai Hari Kemenangan Nasional Kuba yang biasa- nya dilaksanakan dengan sangat sederhana.
Nama Kuba berasal dari bahasa Taino, Cubanacan, yang berarti “tempat yang sentral”. Kini negeri itu memiliki 14 provinsi yang membentang sepanjang 1.200 kilometer dan merupakan pulau terbesar ke-16 di dunia. Negara bekas jajahan Spanyol (karena itu bahasa resminya juga bahasa Spanyol) yang dikenal sebagai penghasil gula, kapas, beras, kopi, nikel, bauksit, emas, dan perak ini juga dikenal gigih “melawan” Amerika Serikat (AS) selama Fidel Castro berkuasa.
Kesehatan dan pendidikan
Di bawah pemerintahan Castro, pembangunan nasionalnya dititikberatkan pada pemeliharaan kesehatan dan pendidikan. Dua hal yang merupakan kebutuhan mendasar rakyat di negeri itu. Hasilnya, penyediaan dan peningkatan fasilitas kesehatan dan pendidikan terus maju sehingga keduanya merupakan fasilitas gratis bagi semua rakyat Kuba (hanya orang asing yang dikenai pembayaran). Namun, rakyat Kuba yang tak dikenai pembayaran mendapat perlakuan yang sama baiknya dengan orang asing yang membayar mahal.
Biaya hidup di sana serba murah. Sukses pembangunan di dua sektor yang sangat menonjol tersebut membuat negeri kecil ini mendapat “nama besar” di dunia. Banyak penderita sakit dari berbagai negara (bahkan yang dikenal lebih maju) berobat ke Kuba karena teknologi kedokteran dan terutama kualitas dokter serta pelayanannya sangat baik dan maju.
Dengan adanya fasilitas istimewa di bidang kesehatan dan pendidikan ini mengakibatkan kondisi sosial rakyat Kuba terus meningkat. Tahun 2005, penduduk Kuba mencapai 11,4 juta jiwa, dengan PDB 33,92 miliar dollar AS atau rata-rata pendapatan per kapita 3.000 dollar AS. Tingkat kelahiran penduduknya rendah sehingga tak ada masalah kependudukan di negeri itu. Rendahnya tingkat kelahiran ini juga didukung tingginya tingkat aborsi (ke-3 tertinggi di dunia). Tingkat kriminalitas juga sangat rendah. Karena semua orang berstatus pegawai negeri (mulai dari presiden sampai tukang cukur dan pelayan toko), tingkat produktivitasnya rendah.
Dalam melaksanakan pembangunan, pemerintah dan rakyat Kuba memiliki prinsip serba apa adanya. Tidak mau mengada-ada. Mereka makan apa yang ada di negerinya, bukan makanan impor. Kalau punya uang hanya sekian, ya itulah yang dipakai. Tidak perlu ngutang ke luar negeri atau lembaga-lembaga donor internasional yang ujung-ujungnya menjerat leher sendiri. Kuba hanya menerima bantuan yang sebagian besar dalam bentuk hibah dari negara sekutunya (misalnya Rusia).
Karena rakyat dan para pemimpinnya dibiasakan untuk menempuh pola hidup sederhana, praktik KKN tidak menonjol meskipun mungkin ada juga. Kalau Kuba merasa tidak memiliki minyak untuk menopang kegiatan industrinya, negeri itu “menjual” dokternya ke Venezuela dan negara Amerika Latin lainnya untuk ditukar dengan minyak dan kebutuhan hidup lainnya. Kuba juga menghasilkan banyak pelatih olahraga, misalnya untuk tinju dan voli, yang “dijual” ke negara lain, termasuk Indonesia. Honor yang mereka terima sebagian diserahkan kepada kedutaan negaranya sebagai sumbangan wajib bagi negaranya. Kini Kuba “menjual” tenaga ahlinya di lebih dari 100 negara di dunia. Barangkali ini dapat dijadikan salah satu masukan bagi kita di Indonesia.
Dulu di masa pemerintahan Presiden Soekarno, kita juga memiliki prinsip seperti itu yang kita kenal dengan politik berdikari (berdiri di atas kaki sendiri). Karena itu pula, Kuba tak banyak tersentuh oleh ingar-bingarnya arus negatif akibat globalisasi ekonomi yang didominasi kapitalis Barat. Kuba juga tidak mengalami guncangan ketika krisis moneter melanda banyak negara di dunia pada tahun 1997-1998.
Duri di mata AS
Meskipun merupakan negara kecil, Kuba tetap dipandang sebagai duri bagi AS, dan duri itu sulit untuk dicabut begitu saja. Hubungan dan kerja sama ekonomi serta politik negeri itu dengan Uni Soviet yang berlangsung sejak Fidel Castro berkuasa membuat AS tidak menyukainya dan berusaha mengisolasi Kuba dengan embargo ekonomi dan melakukan blokade di perairan internasional. Akibat hal itu, setidaknya Kuba telah menderita kerugian sebesar 222 miliar dollar AS.
Sejak Uni Soviet runtuh tahun 1991, Kuba mengalami pukulan ekonomi di dalam negeri yang sangat hebat. Meskipun demikian, negeri kecil ini tak pernah menyerah terhadap segala upaya pengucilan yang dilakukan AS. Menteri Luar Negerinya, Felipe Perez Roque, menuduh AS masih tetap ingin “membungkam” Kuba dan menuding Presiden Bush telah mendorong kekerasan agar terjadi perubahan politik di pulau yang diperintah dengan sistem sosialis-komunis itu. Bush juga dituding oleh Perez Rouqe telah memprovokasi tentara Kuba untuk tidak menekan rakyat yang menghendaki perubahan. Namun, Perez Rouqe menanggapinya dengan menegaskan bahwa “di Kuba tentara adalah penduduk yang berseragam”.
Dunia mengenal Castro sebagai pemimpin yang paling lama berkuasa di dunia. Sebagai negara otoriter, di samping hanya ada partai tunggal, juga hanya ada serikat buruh tunggal, yakni Sentral Buruh Kuba (Central de Trabajadores de Cuba-CTC). Fidel Castro, yang oleh rakyatnya dipanggil Comandante, mulai tidak tampil di muka umum sejak Juli 2006. Dalam keadaan tidak dapat menjalankan pemerintahannya, dia diwakili oleh adiknya, Raul Castro, yang menjabat sebagai menteri pertahanan dan pejabat Presiden Dewan Negara setelah resmi menerima penyerahan kekuasaan dari kakaknya tanggal 31 Juli 2006.
Melangkah ke depan
Bagaimana Kuba mencoba terus melangkah ke depan ketika partai-partai sosialis-komunis di seluruh dunia runtuh? Seperti dikemukakan oleh Raul Castro, ne- gerinya tertarik untuk memilih jalan sosialis seperti yang dilakukan di Tiongkok. Bukan tidak mungkin kalau di Tiongkok ada istilah “sosialisme khas Tiongkok”, ma- ka kelak juga akan lahir “sosialisme khas Kuba”. Kalau Tiongkok bisa maju, kenapa Kuba tidak? Apalagi, di beberapa negara Amerika Latin sedang terjadi fenomena seperti yang sedang berlangsung di Tiongkok, seperti yang terjadi di Venezuela, Bolivia, Peru, Brasil, dan Argentina.
Meskipun AS tak jemu-jemunya terus berusaha mengisolasi Kuba, terutama melalui sanksi perdagangan, perjuangan penguasa dan rakyat negeri ini terus mendapat angin. Majelis Umum PBB dengan resolusinya yang ke-16 secara mutlak (didukung 184 negara) malah mendesak agar AS mengakhiri embargo perdagangannya yang sudah berusia 45 tahun itu terhadap Kuba. Felipe Perez Roque, seorang insinyur dan menteri yang masih sangat muda usianya, menilai itu sebagai “kemenangan yang sangat indah” bagi negerinya. “Kuba tidak akan pernah menyerah dan akan terus melawan politik AS sampai kapan pun,” katanya.***
Haridadi Sudjono Mantan Dubes RI untuk Kuba (1999-2003).
Artikel ini sebelumnya telah dimuat di harian Kompas, Sabtu, 05 Januari 2008