Respon atas pemikiran Mohammed Ikhwan
PEMANASAN global bukanlah fenomena baru, bukan pula fenomena yang terjadi tiba-tiba dari langit. Pemanasan global bukanlah sebab, ia adalah akibat. Akibat dari mode produksi kapitalistik.”
Begitulah pandangan pertama dari Ikhwan. Saya tak meragukan lagi ketepatan pandangan ini. Sebab, tak bisa disangkal, betapa dahsyat akibat dari proses panjang kapitalisasi sumberdaya alam demi laba yang sebesar-besarnya. Kedahsyatan akibatnya telah menciptakan teror yang luar biasa pula terhadap keberlangsungan kehidupan di muka bumi ini. Kedahsyatan akibatnya juga telah menciptakan kecemasan penduduk dunia dan para pemimpinnya.
Dan seperti yang telah diulas Ikhwan, puncak kecemasan itu akan ditumpahkan pada KTT Perubahan Iklim di Bali pada Desember 2007. KTT yang diharapkan menjadi tonggak baru untuk mengatur agenda mengatasi pemanasan global tersebut.
Menyikapi KTT Perubahan Iklim ini, muncul pertanyaan serius bagi saya (sebagaimana pertanyaan serupa Ikhawan. “Jadi mau ke mana KTT Perubahan Iklim di Bali, dan Bali Mandate yang akan dihasilkannya? Apakah resolusi yang diputuskan oleh para pembesar dunia itu akan menjadi jawaban tepat mengatasi pemanasan global dan segala problem implikasinya?”
Kalau menilik latar pandangan dan pilihan sikap para pembesar yang hadir di Bali, sebagai penghamba laba dari proses eksploitasi dan ekstraksi alam secara masif, rasanya sungguh sangat meragukan. Lebih ragu lagi, karena proses serupa telah dilakukan berkali-kali, sejak pertemuan Stockholm tahun 1982, KTT bumi Rio de Jeneiro tahun 1992, hingga yang terakhir Palam Johannesburg tahun 2002. Pada hampir semua pertemua itu, hanya menghasilkan agenda yang justru paralel dengan kepentingan ekonomi-politik negara pengagum praktek kapitalistisme. Bahkan, ketika pembesar dunia menyepakati Protokol Kyoto tentang pengurangan emisi gas rumah kaca, justru negara produsen besar emisi gas rumah kaca seperti, Amerika, tak mau tunduk pada kesepakatan itu.
Lalu, adakah jalan lain sebagai jalan baru menuntaskan problem perubahan iklim ini? Sederhananya, kalau praktek kapitalistik yang bertumpu pada eksploitasi dan ekstraksi sumberdaya alam secara besar-besaran adalah penyebab pemanasan global, maka jawaban sederhananya adalah mengubah praktek produksi menjadi lebih arif terhadap lngkungan. Atau menurut Ikhwan, sebenarnya, yang paling mendasar dilakukan adalah perubahan fundamental dari mode produksi. Mau tak mau, memang harus ada satu mekanisme yang bisa membuat roda kapitalisme berhenti, baik dengan jalan paksaan maupun jalan solidaritas.
Bagaimana kita mesti bersikap?
Kalau perubahan fundamental dari mode produksi adalah jawaban atas pemanasan global, maka pertanyaan lanjutnya, bagaimana mestinya kita menyikapinya? Atau dengan kata lain, kita mestinya melakukan apa?
Berkaitan dengan pertanyaan ini, saya memulainya dengan kritik atas gerakan lingkungan yang berkembang selama ini.
Dalam hemat saya, ada tiga tipe gerakan lingkungan yang berkembang: pertama, gerakan yang masih berkutat pada penyelamatan alam semata tanpa menyentuh aspek sosial, ekonomi dan politik. Gerakan tipe ini berkonsentrasi untuk melakukan konservasi alam dan biasanya menempatkan aspek sosial-ekonomi masyarakat sebagai sisi lain yang menghambat; kedua, gerakan lingkungan yang memfokuskan diri pada pengembangan praktek produksi alternatif tetapi, mengabaikan aspek politik. Gerakan ini mengembangkan solusi praktek alternatif dalam produksi, seperti yang telah diuraikan Ikwan, ada pertanian berkelanjutan berbasis keluarga yang sangat ramah lingkungan karena menggunakan bahan organik yang diperoleh secara mandiri; dan ketiga, gerakan lingkungan yang mulai memberi perhatian pada aspek sosial, ekonomi dan politik. Selama ini, gerakan lingkungan tipe ini mengambil strategi penyelamatan lingkungan dengan meng-advokasi kebijakan yang melegitimasi praktek eksploitasi dan ekstraksi alam serta mencemari lingkungan.
Tipe gerakan lingkungan yang ketiga adalah bentuk gerakan lingkungan yang termaju saat ini. Akan tetapi, (maafkan kalau saya salah), gerakan lingkungan tipe termaju ini belum mengambil strategi untuk bagaimana bisa membangun kerjasama dengan kelompok buruh yang bekerja di pabrik-pabrik, yang menjadi bagian dari penyebab lahirnya problem lingkungan. Selain itu, gerakan lingkungan ini belum, menempatkan gerakan tani dengan tuntutan reforma agraria, teknologi dan modal untuk petani sebagai sekutu strategisnya. Sehingga dalam prakteknya, belum menemukan titik sinergi dengan gerakan sosial politik kerakyatan yang lain.
Kerap, tidak bertemunya titik sinergi itu didasari oleh perbedaan subyektif masing-masing kelompok terhadap kelompok lain, yang menciptakan saling “curiga” dalam arti yang luas. Lebih dari itu, ada pula yang memandang sebagai perbedaan yang bersifat ideologis, misalnya saja, gerakan lingkungan dicurigai justru bertentangan dengan semangat ideologis buruh dan tani karena menempatkan alam di atas manusia. Sebaliknya juga demikian, gerakan lingkungan mencurigai gerakan buruh dan tani menempatkan manusia di atas alam, sehingga dicurigai tidak akan menjawab problem ekologis.
Kalau ini persoalannya, maka ada baiknya kita merujuk pandangan John Bellamy Foster, bahwa inti problem ekologi itu adalah pada interaksi antara manusia dan alam, bagaimana kita mengatur hubungan antara manusia dan alam.
Kembali ke soal bagaimana menyikapi isu pemanasan global. Lebih lanjut John Bellamy berpendapat, “namun kita juga perlu memahami bahwa kita tidak bisa memungkiri fakta bahwa kita telah mengubah alam selama kita hidup dan bekerja atas bumi ini. Sampai tahap ini tujuan utama kita seharusnya adalah mengubah alam tanpa merusaknya, membuat aturan tentang hubungan kita dengan alam”.
Merujuk pada pandangan ini, menurut hemat saya, sudah semestinya gerakan lingkungan tidak memisahkan atau tidak dipisahkan dengan gerakan buruh dan gerakan tani. Bukankah problem buruh dan tani adalah bagian dari problem ekologis?
Bagaimana pertanian bisa dikembangkan dalam lingkungan yang rusak?
Ilustrasi Ikhwan sangat jelas bahwa “neoliberalisme dijalankan dalam beberapa cara: pertama, dengan perkebunan raksasa yang monokultur-intensif. Demi skala ekonomis, maka ribuan bahkan jutaan hektar lahan (atau hutan) dipapras untuk menanam komoditi tertentu. Tindakan ini selain menggusur, juga melanggengkan ketidakadilan struktur kepemilikan tanah sebagai alas produksi. Penggunaan pupuk dan pestisida juga berakibat buruk yang membuat petani skala kecil bergantung pada perusahaan agrokimia. Selebihnya, yang terjadi jelas penindasan manusia dan lingkungan, karena semua proses ini berkontribusi besar bagi proses pemanasan planet bumi.
Kedua, perdagangan bebas, yang mematikan pasar dan harga domestik. Ini juga dikuasai hanya oleh pemain-pemain besar macam Cargill, Tyson, ADM, General Mills dan Charoen Phokpand (di Asia). Parahnya lagi, perdagangan bebas dihalalkan oleh rejim perdagangan bebas Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Lengkaplah sudah, proses dumping produk murah dari produsen raksasa ke pasar lokal pun berlangsung mulus. Buah apel dan pir dari Cina, beras Thailand, apel Washington, kedelai AS, daging Australia yang masuk ke negeri kita adalah hasil dari proses ini. Anda bisa bayangkan betapa masifnya transportasi pangan di seluruh dunia. Hal ini jelas berkontribusi besar bagi peningkatan emisi gas rumah kaca yang memicu pemanasan global. Ilustrasi ini menegaskan pandangan bahwa neoliberalisme adalah musuh utama kaum tani.
Bagi kaum buruh, bagaimana buruh tetap bisa bekerja ketika pabrik harus tutup karena cara produksi yang mencemari lingkungan secara langsung akan mempengaruhi ketersediaan pasokan bahan baku dari alam? Sampai di sini, saya berpandangan, tani dan buruh juga sebernarnya adalah kelompok yang bisa peduli pada lingkungan. Bahwa saat ini buruh dianggap sebagai bagian dari problem lingkungan karena bekerja di pabrik yang mencemari lingkungan, ya…iyalah. Tetapi jangan lupa, bahwa pilihan menjadi buruh adalah dilatari oleh kebutuhan memenuhi tuntutan ekonomi keluarganya sehingga terpaksa bergabung memihak modal yang mencemari lingkungan. Dalam prakteknya, buruh juga mengalami penindasan oleh modal sebagai musuh yang sama. Artinya praktek ekonomi neoliberalisme adalah musuh utama kaum buruh.
Dalam titik inilah mestinya persentuhan kepentingan bersama bisa diwujudkan menjadi bangunan aliansi politik yang strategis antara gerakan lingkungan, gerakan buruh dan gerakan tani. Artinya, dalam menyikapi isu pemanasan global sebagai mainan baru neoliberalisme (meminjam istilah Ikhwan), memungkinkan satu aliansi politik strategis yang lebih luas terbangun. Dalam konteks aliansi politik strategis itu, saya berpandangan bahwa saat ini pertumbuhan gerakan akan lebih maju dan kuat. Aliansi politik strategis itu kemudian secara bersama membangun strategi taktiknya untuk menghadapi musuh-musuh rakyat saat ini. Jika problem rakyat dan tanah-air secara keseluruhan adalah masih kuatnya penghalang demokrasi dan makin kukuh-kuatnya rezim neoliberalisme maka, aliansi politik strategis ini akan menghadapi secara bersama pula untuk menghancurkannya.
Epilog
Sebagai penutup apresiasi saya terhadap pemikiran Ikwan, berkaitan dengan isu neoliberalisme dan pemanasan global, saya berharap diskusi mengenai kemungkinan membangun aliansi politik strategis itu bisa mewujudkan dirinya sebagai bentuk kekuatan baru, untuk (pinjam istilah Andreas Iswinarto) menempuh jalan baru – jalan pembebasan Indonesia.***
Arif Andy