Kredit ilustrasi: Wiji Thukul pages
SECARA perlahan kehidupan sebuah negeri dapat berubah dari periode otoriter ke demokratis. Hampir semua orang kemudian berbicara tentang pentingnya menghargai perbedaan pendapat dan keragaman budaya, meskipun sebelumnya adalah masa penyeragaman dan ketiadaan demokrasi.
Di bawah rezim Orde Baru, mereka yang berjuang melawan otoritarianisme rezim banyak yang dikorbankan dan atau dihilangkan, termasuk di antaranya penyair Wiji Thukul. Apa yang ada dalam buku berjudul Kebenaran Akan Terus Hidup, sebuah kumpulan tulisan Wiji Thukul dan beberapa orang tentang dirinya, adalah untuk mengenang Wiji Thukul dan para korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) lainnya. Buku yang digagas oleh kawan-kawan Thukul dan diluncurkan pada saat perayaan ulang tahun ke-44 Thukul (kalau ia masih hidup), 26 Agustus 2007, ini diterbitkan untuk melawan proses pelupaan yang sengaja dilakukan oleh rezim.
Dalam kaitan dengan hal itu, pilihan tulisan yang diangkat di buku ini selalu menghubungkan aktivitas Thukul sebagai penyair dan problem-problem sosial masyarakat kelas bawah. Apakah itu cerita sahabat, teman seperjuangan, maupun orang-orang terdekatnya, semua berkelok liku menata ulang pengetahuan tentang syair yang berlawan.
Lebih jauh lagi, menyitir Walter Benyamin, “kenangan atau memori akan sebuah kejadian atau tentang seseorang tidak sebatas apa yang berlangsung di masa lalu ataupun yang dilakukan seseorang di masa lalu. Ia sesuatu yang terus hidup, dan tak pernah mati. Sesuatu yang retrospektif, yang perlu dilihat dengan cermat lagi untuk membayangkan yang akan datang.” Berdiri di atas esai-esainya dan juga kumpulan wawancara dengannya, kita dapat melihat bahwa Wiji Thukul adalah sosok yang berpikir keras tentang pembebasan rakyat.
“Orang-orang yang berani memang bisa dipenjarakan, tetapi keberanian tak bisa dipenjarakan,” demikian ungkapnya (h.4). Wawasannya luas, penyimpulannya tajam, seperti ujarnya, “…tak ada bedanya antara menulis dan berjuang. Menulis dan berjuang adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Karena itu, resikonya pun sama. Bila tertangkap dihukum (h.5).”
Ketajaman ini memuncak pada “puisi adalah media yang mampu menyampaikan permasalahan orang kecil (h.8)”. Ini pun masih ditambah dengan kesadaran bahwa wacana kebebasan itu tidak akan mungkin dicapai tanpa adanya kesetaraan. Sebuah prasyarat etis dari keadaan yang menempatkan subyek-obyek dalam posisi yang saling membebaskan, “Maka sebelum ngamen puisi, saya ngamen musik terlebih dulu. Setelah empunya rumah siap, baru saya ngamen puisi. Ngamen itu elit. Karena posisi si pengamen dan tuan rumah berada sejajar (h.11).”
Menginjak bagian kedua, diungkapkan bagaimana puisi Wiji Thukul berkembang dalam khazanah sastra Indonesia. Menurut Arief Budiman, puisi-puisinya bagai otobiografi kejiwaan sang penyair (h.45). Sedangkan Yoseph Yapi Taum menyebutnya sebagai seorang penyair kerakyatan yang kembali mendudukkan fungsi sastra pada tempatnya, yakni sebagai sarana memperjuangkan cita-cita dan visi kemanusiaan (h.68).
Sementara itu, R von der Borgh berhasil menyampaikan bentuk perkembangan sastra dalam kesadaran Wiji Thukul. Praktik ngamen puisi, pementasan puisi yang partisipatif, pertukaran pentas antarkelompok teater dan kesadaran untuk menulis puisi dengan berangkat dari pengalaman sehari-hari bukanlah keunggulan Wiji Thukul walaupun banyak orang yang terkejut dibuatnya. Para penyair tradisional Aceh juga sudah melakukan hal yang sama, sebagaimana juga improvisasi berpuisi yang dikembangkan oleh Saut Sitompul.
Meski demikian, yang lebih penting, “…pengalaman setempat merupakan titik awal dari setiap pernyataan kritik sosialnya, sajak-sajaknya memiliki kemampuan untuk melibatkan secara spontan, hati dan pikiran para peminat yang dipilihnya” dengan medium Bahasa Jawa-Indonesia (h.56). Persis seperti yang diwacanakan oleh Maurice Merleau Ponty, bahwa kesadaran tidak dapat berbuat apa pun tanpa tubuhnya. Besar kecilnya kesadaran itu ditempa melalui pergaulan kesadaran itu dengan yang lain, sejauh mana kesadaran itu dapat menyentuh pikiran yang lain dan mengorganisasikan tindakan orang lain (Ponty, Humanism and Terror, 1969).
Sayang orang sebesar Thukul dihilangkan pada tahun 1998. Tiada jejak, hanya potongan-potongan pertemuan yang selalu diingat orang. Kenangan-kenangan dari mereka yang pernah bertemu dengan Wiji Thukul di tahun 1997-1998 ditampilkan dalam bagian ketiga buku ini. Personifikasi Wiji Thukul ditayangkan dalam berbagai wacana.
Sebagai sesama budayawan, JJ Kusni melantunkan lagu kehilangan yang dalam sehingga berapa porsi es campur yang dilahap Wiji Thukul pun ia tak lupa. Sementara Linda Christanty merasa penghilangan Wiji Thukul berikut teman-teman aktivis PRD (Partai Rakyat Demokratik) lainnya sebagai sesuatu yang hidup dalam dirinya. Sehingga mata penanya menulis, “…sebagian puisinya berganti warna lebih murung dan kontemplatif, meski masih bernada protes sosial. Situasi pelarian dan terasing terlihat dalam sajaknya yang bertutur soal-soal sepele…”
Namun, apakah banyak orang akan berteriak seperti derat syair Victor Serge di Orenburg tahun 1934?
….Tapi anjing-anjing tak pernah kecut menerkam
Mereka rawat paku taringnya dengan penuh harga diri
Dalam gerutuan hidup ini
selama berabad abad kita terus mengingat ingat mereka
Diamlah kau saudaraku yang pengecut!
Sebelum penderitaan seseorang menjadi lebih kuat darimu
Siapapun, yang lebih baik darimu,
Sedia sekarat untukmu, gugur lebih banyak untukmu
(Victor Serge, Resistance, 1989)
Mungkin ya, mungkin tidak. Tetapi, wujud Wiji Thukul seharusnya dapat dilihat secara lebih alami. Artinya, kesadaran Wiji Thukul dapat membangun keberlangsungan perjuangan tiap insan negeri ini, baik itu perjuangan Sipon, istrinya, yang banyak ditulis dalam bagian keempat buku, maupun perjuangan demokrasi.
Namun demikian, perjuangan Wiji Thukul sendiri bisa lahir bukan karena asal-usulnya yang dari kalangan kelas tertindas, yang kere dan pendidikannya rendah. Proses penciptaan puisi-puisinya dan proses belajarnya hingga dapat merekam begitu banyak realitas masyarakat bawah sebenarnya adalah hasil interaksi sosial yang membuatnya berpikir dua kali tentang realitas yang menindas.
Bisa jadi historisitas masyarakat Solo yang berlawan terhadap kolonialisme berpengaruh atas alam pikir Wiji Thukul. Tetapi, justru faktor sosio historis ini yang tampaknya alpa diketengahkan buku ini. Padahal, sebagai advokasi terhadap pelanggaran HAM oleh negara, akan lebih baik jika buku ini mampu merekam kesaksian warga Kampung Kalangan, tempat Wiji Thukul berdomisili, sehingga penghilangan paksa terhadap seorang penyair menghancurkan juga kreativitas sebuah komunitas. Seperti paraphrase terhadap tulisan Marx dalam Manuskrip 1844 yang berbunyi, “Manusia kembali serupa spesies yang belum pernah berpikir dan berproduksi ketika relasinya dengan kapitalisme merenggut kreativitasnya.”
Barangkali, ini pula sebabnya mengapa belum ada slogan baru dalam setiap demonstrasi yang bisa menggantikan penggalan kalimat dari puisi Thukul: Hanya Ada Satu Kata: Lawan!
Hingga kini kerinduan akan Wiji Thukul tetap memancar dari setiap insan yang berpikir tentang perubahan sosial, tentang kehidupan yang lebih baik di negeri ini. Wole Soyinka menulis, “Jasadnya bersaksi tentang yang tetap ada/ Lidahnya serupa jemari yang bersembunyi dari pikirannya/ Belajarlah untuk tidak mati” (Soyinka, Post Mortem, Idanre and Other Poems, 1967).
Andai jasad Thukul hadir di hadapan kita, tetap ada semangat berlawan di dalamnya. Seolah-olah ia selalu menghantui sang penindas rakyat dan bertanya pada kita semua: “Apakah belum cukup perumpamaan bahwa Aku Tidak Merdeka?”
Apa pun kesedihan yang berlaku akan hilangnya Wiji Thukul, semuanya berkuala pada kredo: Perjuangan melawan penindasan dan pengisapan belum selesai, dan belum saatnya berpangku tangan menikmati indahnya demokrasi ala reformasi.***
Penulis adalah aktivis Jaringan Kerja Budaya dan Mahasiswa STF Driyarkara.
Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di harian Kompas, 5 November 2007