PLUTOKRASI merupakan penyakit bawaan kapitalisme, baik yang masih mengandung sisa-sisa feodalisme maupun yang sudah memasuki tahap neoliberalistis. Plutokrasi adalah kekuasaan politik elite mahakaya, bahkan termasuk di era demokrasi liberal.
Dari abad ke-19 hingga akhir abad ke-20, istana-istana kepresidenan di Amerika Latin, yang merupakan warisan kolonialisme Spanyol dan Portugis, merupakan singgasana yang ditempati orang-orang kuat dari junta militer ataupun para pemimpin sipil yang berasal dari kalangan elite. Entah itu elite penguasa tanah perkebunan luas, penguasa ladang minyak, atau tambang hidrokarbon. Mereka adalah kaum plutokrat, “pemasok” mayoritas presiden se-Amerika Latin selama sekitar 150 tahun!
Amerika Latin
Namun, kini para penghuni istana-istana itu berubah wajah. Istana Casa Rosada di Buenos Aires kini ditempati mantan aktivis mahasiswa sayap kiri yang selama kediktatoran militer Argentina pada dekade 1970-an diburu sebagai musuh negara.
Istana La Moneda di Santiago, Cile, punya nyonya rumah yang baru, bekas tahanan politik yang bertahan hidup dari ruang-ruang penyiksaan era kediktatoran Pinochet.
Sementara itu, di negeri tetangganya, Bolivia, seorang petani yang tidak punya rumah sama sekali menjadi presiden. Dari istananya, dia menggenapi janji-janji kampanyenya untuk mengakhiri penderitaan rakyatnya yang selama 500 tahun dijadikan hamba oleh penjajah Spanyol dan keturunannya.
Sementara itu, di Quito, Ekuador, presiden dan doktor ekonomi lulusan Amerika Serikat lebih memilih membela rakyatnya yang miskin ketimbang memihak plutokrat Ekuador dan koneksi Washington-nya. Para menteri diajak berkeliling ke berbagai pelosok negeri agar melek atas penderitaan rakyatnya untuk kemudian menyalurkan 1,3 juta dollar AS untuk rakyat Ekuador yang termiskin; menyediakan 100 juta dollar AS untuk subsidi perumahan bagi kaum miskin dan meningkatkan belanja untuk pendidikan dan kesehatan (The Economist, April 2007).
Tak kalah dramatisnya, di Venezuela seorang pensiunan kolonel Angkatan Bersenjata, yang lagi-lagi mantan tahanan politik karena melawan rezim sipil “demokratis” yang korup, sedang mengubah wajah negeri dan seluruh Amerika Latin dengan proyek Sosialisme Abad ke 21-nya.
Mereka disatukan oleh perjuangan melayani si miskin dan mengangkatnya dari kubangan kutuk sejarah wilayah itu. Dengan cara demokratis, mereka telah mengalahkan plutokrasi.
Mereka meyakinkan dunia, melayani si miskin dengan cara demokratis dan dunia yang lebih baik itu tidak mustahil.
Utamakan rakyat
Argentina, misalnya. Presiden Nestor Kirchner memacu pertumbuhan ekonomi secara akumulatif sebanyak 50 persen semasa pemerintahannya (tertinggi di belahan dunia barat), mengentaskan hampir sepertiga rakyatnya yang miskin dari jerat kemiskinan, tanpa bantuan IMF dan modal asing.
Saat politisi sayap kiri berkuasa pada 2003, akibat krisis, negerinya dinyatakan pailit dan menolak membayar utang pada IMF karena memprioritaskan kesejahteraan rakyat lebih dulu. IMF dan Washington pun menyerah. Namun, lembaga-lembaga keuangan internasional mengucilkan Argentina. Namun, Kirchner tidak gentar.
Kirchner malah merombak kepolisian federal, dipopulerkan dengan slogan “pergantian satu generasi penuh”. Memecat para hakim korup, menerapkan mekanisme pemilihan hakim agung yang transparan dan melibatkan opini publik, serta mencabut amnesti para pelanggar HAM. Dalam bidang sosial ekonomi, memenuhi tuntutan dasar dengan memberi gaji guru yang terbengkalai akibat krisis, serta memberdayakan serikat-serikat buruh untuk mengambil alih berbagai perusahaan yang ditelantarkan majikannya daripada diambil alih asing. Begitulah cara plutokrasi dikalahkan dan daya beli rakyat ditingkatkan.
Hasilnya, pendapatan domestik bruto Argentina kini 212 miliar dollar AS dengan pendapatan per kapita 6.500 dollar AS dan utang luar negeri terbayar.
Solidaritas regional
Sebagian dari keberhasilan pemulihan Argentina dari krisis ekonomi adalah juga berkat solidaritas regional dari Venezuela yang telah memberi dukungan dana dari program “minyak untuk kemanusiaan”.
Venezuela di bawah Hugo Chavez sedang mempromosikan ALBA (Alternatif Bolivarian untuk Amerika Latin). ALBA merupakan kerja sama antarnegeri di wilayah itu. Venezuela sudah mengusulkan dana kompensasi untuk mengurangi kesenjangan antarnegara Amerika Latin. Berbeda dengan FTAA (Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika yang dimotori AS), ALBA memprioritaskan penghapusan kemiskinan dan penyingkiran sosial, termasuk perlindungan hak-hak asasi buruh, tani, kaum perempuan, dan perlindungan lingkungan hidup (Carolina Cositore, Z Magazine, Februari 2006).
Bahkan pada September 2007, empat negara anggota ALBA memutuskan untuk membentuk Bank Selatan (Bank ALBA) yang akan menyalurkan dana untuk memajukan pembangunan ekonomi dan sosial di wilayah itu untuk menyingkirkan IMF dan Bank Dunia
Dari Amerika Latin kita belajar, hanya setelah kaum plutokrat dikalahkan di tiap negeri, pertarungan isu-isu kemanusiaan bisa dimenangkan dengan tempo relatif singkat.***
Budiman Sudjatmiko