SUATU hari, di awal 1970an, sejumlah dosen Indonesia berada di kantin K.I.T.L.V. Koninkelijke Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde, waktu itu di seberang stasiun, Stationsplein, Leiden. Satu di antaranya melenggang sendiri, datang memperkenalkan diri di kalangan mahasiswa. Onghokham, waktu itu meneliti arsip Belanda suka mencari kalangan baru dan terjun dalam diskusi.
Sejak itu, saya mengenalnya sebagai rekan diskusi – di kantin KITLV, di café, bar, di rumahnya di pinggir kade di Leiden, di seminar, di jalanan menyelusuri kota Leiden, Amsterdam, di rumah rekannya, Heather Sutherland (sekarang guru besar emeritus Vrije Universiteit, Amsterdam), sampai di rumahnya, di Cipinang Muara, Jakarta Timur, Juni yang baru silam. Kamarnya di Leiden, semacam gudang di lantai teratas (zolder), selalu amburadul. Buku bukunya, Pinguin Pockets Perang Saudara Spanyol, Revolusi Cina, feodalisme Eropa dan kajian keIndonesiaan, sampai buku-buku masak Jawa dan Eropa, berserakan.
Seorang akademikus yang bersahaja, Onghokham suka, mudah bergaul; juga seorang cendekiawan yang nyentrik, berwawasan luas, analitis, jeli, sering orisinal dan tajam. Ong bergulat dan merasuk ke dalam sejarah, sekaligus menikmati dunia culinair (masak-memasak). Di kedua dunia itu, dia nyaris pantang sendirian. Dia selalu melibatkan rekan, mengajak teman bertukar pikiran dan makan-makan. Di rumah sendiri, dia memamerkan kepiawaiannya dalam hal memasak. Di rumah orang, dia kasak-kusuk di dapur, bertanya tentang masakan atau minta dimasakkan sesuatu yang digemari, atau belum dikenalnya. Semua itu diselingi dan diakhiri dengan minum bir, anggur atau kesukaannya, yakni jenever Belanda dan keju Prancis Camember.
Dengan cara itu, dia memperluas wawasan, kerabat-pikiran, jejaring teman dan publiknya, serta menikmati makanan, minuman dan kehidupan. Pantas, pesta ulang tahunnya selalu sarat tokoh-tokoh publik, selebriti dan cendekia. Maka dia menjadi semacam cendekia-selebriti namun, jauh dari gemerlap selebriti. Penampilannya unik, biasanya agak kumal, kalau pun berdasi selalu miring, tapi ujung-ujungnya sering membekali publiknya dengan inspirasi. Lewat seminar, kolom kolomnya, terutama dalam Mingguan TEMPO dan wawancaranya di media asing, dia menyumbang gagasan dan kritiknya. Dia menjadi `guru’ tidak hanya di ruang kuliah. Dengan gayanya itu, Onghokham adalah sejarahwan yang mengabdikan ilmu dan pengetahuannya kepada masyarakat, lebih luas dari pada sekadar bagi diri sendiri dan rekan-rekannya.
Di masa itu, saat maraknya isu Perang Vietnam dan naik daunnya Kiri Baru di Eropa, Ong mengakui analisis Marxis menarik dan tajam. Rekan-rekan (hampir) segenerasinya, Ben Anderson, Dan Lev, dll banyak tergolong cendekia yang melawan perang Amerika di Asia Tenggara. Tapi Ong, yang mantan wartawan, suka baca koran koran sayap ‘kanan’ semacam Wall Street Journal dengan alasan yang berbau ‘Marxis’: koran-koran itu informasinya handal, katanya, karena para kapitalis mempertaruhkan modal dengan mengandalkan info media yang kayak gitu.
Ada beberapa hal yang layak dicatat pada cara pandang Onghokham. Wawasannya komparatif (visi perbandingan) dan jeli, karena itu, sering mengagetkan orang. Sejarah Eropa, kata dia, adalah sejarah yang `lengkap’ (sumber-sumber primairnya lebih dari memadai) atau dia bertolak dari sejumlah peristiwa besar (a.l. Revolusi Prancis, Revolusi Cina, perjuangan kemerdekaan Indonesia) sebagai rujukan-rujukan pokok.
Salah satu tulisannya yang cantik, “The Inscrutable and the Paranoids” (dalam The Thugs, The Curtain Thief and The Sugar Lord, 2003), menunjuk pada peristiwa pencurian di rumah Residen Madiun, J.J. Donner. Ulah pencurian berantai itu, terutama pencurian gordijn (tirai kain) yang menyingkap isi rumah mereka, membuat penguasa Belanda merasa dipermalukan di hadapan Bupati Raden Mas Adipati Brotodiningrat, dan, terutama, di hadapan rakyat. Pasalnya, Belanda mengklaim sistim pemerintahannya sesuai adat Jawa dan berupaya merebut hati rakyat. Menurut Ong, insiden-insiden dan sengketa Belanda dan sang Bupati, “de kwestie Brotodiningrat” itu, mengungkap struktur sosial Jawa di abad ke XIX: posisi Belanda yang mudah rentan, posisi penguasa Jawa yang cerdik dan licik memainkan bola kekuasaan, karena para Bupati inilah yang berwibawa dan menguasai kelompok petani kaya.
Di situ, Onghokham menohok satu butir yang penting dan mendasar: bahwa institusi `kepemilikan tanah’ penguasa Jawa sebenarnya bersandar pada “his leadership over men rather than on claims over territory” (ibid. hal.7). Asas itu membuat cara cara “feodal” Jawa mengukur `kepemilikan’ tanahnya, menjadi identik dengan cara cara menunjukkan `kekuasaan’nya, yakni, bukan dengan bilangan hektar, melainkan dengan hitungan (“cacah”) jumlah keluarga petani (petani kaya: sikep) yang tergantung sekaligus mendukung sang Bupati. Asas penguasaan lahan yang demikian, membuat penguasa Belanda secara politik lemah dan, kelak, para pengamat Barat yang bertolak dari purba-sangka feodalisme Eropa, menjadi `bingung’.
Namun Ong mengingatkan, sistim itu hanya mungkin karena, kala itu, lahan tani di Jawa melimpah ruah, sedangkan tenaga kerja, langka. Kelak, ketika jumlah penduduk Jawa melonjak, asas tadi – “cacah” – kehilangan makna aslinya, lalu menjadi sebutan belaka bagi sensus penduduk. Antropolog Amerika Clifford Geertz mengembangkan tesis “involusi” dengan mengatakan, para petani Jawa menanggapi sistim Tanam Paksa Belanda (Cultuurstelsel) dengan lompatan demografis, dst, sedangkan Ong, lebih sederhana namun cerdik dan jeli, menunjuk pada lahirnya tempe sebagai makanan rakyat pengganti daging, karena rakyat Jawa makin melarat. Menurut Ong, gudeg yang juga asli Jawa, mungkin juga substitut daging yang terjadi akibat sistim Tanam Paksa (1830-1850).
Sistim cacah yang mengungkap sistim kekuasaan ala Jawa tadi, menghasilkan kantong-kantong kekuasaan Jawa yang secara geografis tersebar (dispersive) . Maka Ong menyimpulkan bahwa `desa’ sebenarnya adalah gagasan birokrat birokrat kolonial Belanda, bukan gagasan Jawa. Artinya, itu adalah cara penataan teritorial pedesaan Jawa yang diperlukan untuk memudahkan pemungutan pajak Belanda. Belakangan, sosiolog Belanda, Jan Breman dari Universitas Erasmus, Rotterdam, mengembangkan ide desa ala Belanda – temuan imajinatif Ong tsb – sebagai bagian dari sistim kolonial. Begitu pula apa yang disebut rijstafel, sajian makanan “Indonesia” yang populer di kalangan Indo-Belanda yang dapat ditemui di restoran restoran “Indisch” di Belanda kini, ditunjuk Ong sebagai hasil imajinasi Belanda, bukan gagasan asli Indonesia.
Dengan terobosan-terobosan itu, sebenarnya Ong mendorong para pengkaji Indonesia agar melepas diri dari kungkungan subtil dari paradigma para birokrat dan sejarahwan Belanda di masa lalu.
Hanya Aceh, dengan tradisi lembaga negara yang panjang, dan sistim kepemilikan yang jelas dan tegas, yang mirip feodalisme Eropa. Kesultanan Aceh tentaranya memakai gajah, artinya tentara yang reguler, sedangkan Mataram, misalnya, tentaranya ekspedisioner, yang dikerahkan kalau melakukan ekspedisi untuk menggertak lawan atau merebut wilayah. Dan feodalisme Eropa penting untuk dipahami sebagai landasan bagi kapitalisme moderen, demikian Ong sering mengingatkan. Pada 1970an itu, Ong sulit membayangkan kaum bermental priyayi Jawa bakal menjadi kapitalis, ‘borjuis’ Asia baru. Di situ, Ong mungkinmeleset, Orde Baru membuktikannya.
Bagi Onghokham, Eropa (Prancis), Cina dan Jawa, baik di dunia culinair mau pun dalam membangun wawasan kesejarahan, amat memukau. Sejarah ketiga negeri itu diguncang revolusi dan banditisme dalam formasi dan bentuk yang berbeda-beda. Robin Hood di Inggris berbeda dengan Ken Arok dan `titisan-titisan’ nya di Jawa. Gambaran Ong tentang Jawa pra-Tanam Paksa mengesankan sebuah dunia yang `anarkis’ (bukan dalam artian kacau balau, melainkan: tak tertata) yang memekarkan tokoh tokoh di dalam dan di luar kelas penguasa, yang perilakunya menonjolkan dan menuntut kehormatan, melalui ciri-ciri dan ulah fysik mereka – semacam ulah ayam jago diantara sesama ayam.
Gagasan Onghokham tentang fenomena `jago’, sebagai bagian dari struktur kekuasaan “feodal” di pedesaan Jawa itu, kelak dikembangkan oleh para antropolog sebagai gejala premanisme di perkotaan, selaku bagian dari sektor informal dari sistim politik kapitalisme- semu di negara-negara berkembang. Dalam konteks itu, ketika menulis tentang negara dan kriminalitas, tentang fenomena Petrus (penembak misterius) versus gali-gali di awal 1980an, Ong secara tersirat menyampaikan pesan, bahwa sistim Orde Baru, dengan militerisme dan Golkarnya, sesungguhnya tidak lain adalah sebuah bentuk banditisme moderen.
Onghokham, sohib dan guru itu, telah pergi. Selamat jalan, Pak Ong!***
Aboeprijadi Santoso adalah wartawan di Amsterdam (eks Radio Nederland).
Artikel ini sebelumnya telah disiarkan dalam rubrik `Ranah Pengetahuan’ , Radio Nederland, 4 Sept. 2007).