Nurmahmudi Ismail Membakar Buku, Hugo Chavez Membagi Sejuta Buku!
SUNGGUH menyedihkan membaca berita tentang seorang Walikota, pimpinan masyarakat perkotaan, berada di depan memelopori penghancuran peradaban buku. Adalah Nurmahmudi Ismail, walikota depok, yang bergelar doktor, dari partai yang disebut-sebut menawarkan masa depan cerah, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), berdiri paling depan dalam aksi pembakaran buku-buku sejarah pada Juli lalu.
Dalam sejarah Orde Baru, figur seperti Nurmahmudi, yang berpendidikan tinggi dan kebetulan berkuasa, sangatlah dominan. Ketakutan, prasangka buruk, sentimen agama dan primordialisme, budaya asal bapak senang, telah menggulung habis kesehatan pemikirannya. Akibatnya, pendidikan boleh saja setinggi gunung tapi, perilaku politiknya barbarian
Adakah keterkaitan antara membaca sastra dengan karakter kepemimpinan seorang presiden? Pertanyaan ini, menurut saya, masih relevan, terutama ketika kehidupan kesusastraan dan peradaban literer di negeri ini begitu terbelakang. Saya berasumsi kemunduran kebudayaan literer ini, salah satu yang menyebabkan kemunduran bangsa ini. Budaya membaca dan menulis di negeri ini sungguh mencemaskan. Kebebasan membaca dan menulis juga terpasung. Membaca dianggap sebagai tindakan yang asosial, pekerjaan pemalas, dan tiada guna.
Hal ini berbeda dengan di negara-negara maju seperti Eropa dan Jepang, di mana orang terbiasa melakukannya (membaca) di ruang tunggu, di dalam kereta api bawah tanah, yang penumpangnya tidak bertegur sapa karena membaca, tidak saling tersenyum. Bukan berarti mereka terasing atau individualis tetapi, tulisan memang menyerbu masuk dan menghantam lingkaran hubungan langsung satu-satu secara familiar, ramah, hangat, dan membahagiakan.
Di negeri ini, menulis belum menemukan ruang kebebasannya. Bagaimana orang bebas menuliskan apa yang dianggapnya sebagai kebenaran, jika setiap saat harus berhadapan dengan pembakaran buku, sweeping, pelarangan dari negara, dan sebagian kelompok sektarian yang memaksakan “kebenaran tunggal” atas nama pertahanan dan keamanan, moral, dan agama? Bagaimana mungkin sebuah peradaban berdiri tegak, jika tidak ada wacana yang bebas berkontestasi? Atau jika lontaran wacana dilawan dengan pedang dan aksi massa yang brutal?
Negeri ini juga tidak lagi beruntung karena pemimpin (presidennya), kurang menghargai imajinasi dan ekspresi literer rakyatnya. Bahkan, kita juga miskin pemimpin yang menyukai karya sastra, peradaban buku, habitus baca-tulis, dan pembudayaan bangsa melalui budaya membaca dan menulis.
Saya tidak tahu bagaimana pengaruh sastra terhadap presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan atau wakilnya Jusuf Kalla (JK). Tapi, melihat sikap diam bahkan mungkin persetujuan mereka terhadap aksi pembakaran buku tersebut, saya ragu bahwa mereka mencintai buku khususnya sastra. Yang pasti, mereka lebih mencintai kekuasaan ketimbang kebebasan, lebih mencintai uang ketimbang buku, lebih senang kampanye politik ketimbang diskusi publik, lebih senang membiarkan pembakaran buku ketimbang mensponsori penerbitan buku.
Kita sedikit beruntung pernah punya presiden seperti Gus Dur. Seorang, yang menurut saya, sangat menyokong imajinasi manusia-manusia Indonesia dengan menghargai kebebasan berpikir, mendukung budaya baca-tulis. Bahkan dalam hal ini pribadi Gus Dur sangat menarik (unik) karena, ia sendiri juga penikmat dan penulis sastra, pengarang buku, dan juga pandai mengulas karya sastra dan karya intelektual. Tak heran jika hal itu juga berpengaruh pada wataknya yang pluralis, mencintai kedaulatan bangsa, progresif, dan tidak hitam-putih dalam melihat persoalan.
Selain Gus Dur, tentu kita tak boleh lupa pada sosok Bung Karno, presiden pertama Republik yang banyak membaca karya-karya pemikir dan sastrawan besar. Bung Karno, juga seorang perenung, pengarang dan pencipta, menulis dan melukis. Tak heran jika kemudian ia menjadi tokoh besar yang dikenang oleh rakyat dan masyarakat dunia. Jatuhnya Bung Karno, juga sekaligus mengawali kematian peradaban literer bangsa ini: pemberangusan terhadap karya intelektual yang secara intensif dikonsolidasikan melalui gerakan militeristik Orde Baru.
Hugo Chavez, Buku, dan Sastra
Jika Nurmahmudi Ismail mempertontonkan premanisme intelektual di masa kekuasaannya, tidak demikian dengan pertunjukan seorang Hugo Chavez.
Sebagai seorang pemimpin tertinggi Venezuela, Chavez adalah seorang pencinta berat buku. Ketika masih dididik di akademi militer, ia tidak hanya melahap buku-buku tentang militer dan strategi perang tapi, juga buku-buku politik dan terutama karya sastra. Ia tidak hanya membaca literatur Clausewitz, Bolivar, Paez, Napoleon, dan Anibal. Dia juga mengunyah karya Mao dan darinya ia mengobsesikan sebuah peran kerakyaan dari tentara. Ucapan Mao yang sering ia kutip adalah: “Rakyat bagi tentara adalah ibarat air bagi ikan.” Dari situ, sesungguhnya Chavez sejak awal telah berkenalan dengan bacaan-bacaan yang dikemudian hari menentukan pandangannya sebagai seorang tentara. Visi militer-sipil yang ada padanya, akan mengarahkan dia untuk membangun hubungan kuat antara militer dengan rakyat miskin. Buku lainnya yang juga berpengaruh pada Chavez, adalah yang ditulis oleh Claus Heller, berjudul “Tentara Sebagai Agen Perubahan Sosial” (El ejercito como agente de cambio social).
Wujud nyata dari kecintaannya akan sastra, Chavez memperbanyak dicetaknya karya-karya sastrawan Amerika Latin; ia juga membagi-bagikan secara gratis satu juta naskah buku sastra (novel) Don Quixote yang dirayakan ulang tahunnya yang ke-400 di seluruh dunia pada tahun 2005. Don Quixote de la Mancha (bahasa Sepanyol: Don Quijote), adalah sebuah novel karya Miguel de Cervantes Saavedra, yang dianggap secara meluas sebagai karya bahasa Spanyol terbaik di dunia, dan kini merupakan lambang karya kesusasteraan Spanyol. Diterbitkan pada tahun 1605, ia adalah salah satu novel paling awal dalam bahasa Eropa modern. Chavez membagikan sejuta naskah karya sastra tersebut, dalam rangka merayakan kemenangan program melek huruf yang keberhasilannya dipuji oleh UNICEF.
Sebagai hasil dari kepeloporan Chavez ini, bermunculan komunitas-komunitas baca-tulis di berbagai tempat. Karya-karya dari Gabriel Garcia Marquez, Pablo Neruda, Giconda Belli, Marti dan para sastrawan Amerika Latin lainnya, kini dengan mudah diakses oleh rakyat. Secara politik, untuk melawan media-media kaum oposisi (borjuis) yang menguasai 90 persen media, pendukung Chavez membangun dan memperluas media komunitas sehingga peradaban baca-tulis dan kesusatraan dapat meluas ke masyarakat banyak. Itu sebabnya, banyak yang heran, ketika semua media (TV, radio, surat kabar) terus saja menyerang Chavez, tokoh ini bukannya kekurangan legitimasi, malah semakin didukung rakyat.
Kecintaan Chavez pada buku dan minatnya untuk mendidik rakyatnya dengan buku-buku dan karya sastra, tak pernah berhenti. Pada setiap kesempatan, ia sering sekali mengutip puisi-puisi Pablo Neruda (penyair asal Chili). Dan ia tetap keranjingan dengan kata-kata indah. Dalam setiap pidato dan tulisannya, kata-kata pilihan selalu dikutipnya. Itu sebabnya, berbeda dengan pemimpin negeri ini yang pidatonya sangat monoton dan membosankan, Chavez adalah orator yang hebat, menggugah, dan tak pernah membosankan untuk didengar.
Begitulah, Chavez membangun negerinya dan meningkatkan harga diri dan kebanggaan rakyat Venezuela yang mayoritasnya miskin: dengan minyak dan buku.***
Nurani Soyomukti, Penulis Buku “REVOLUSI BOLIVARIAN: HUGO CHAVEZ DAN POLITIK RADIKAL;” berkhidmat di JARINGAN KEBUDAYAAN RAKYAT (JAKER); dan pendiri Yayasan Komunitas Teman Katakata (KOTEKA) Jakarta.