RONALD Wilson Reagan dan Deng Xiaoping (Teng Hsiao-p’ing), adalah dua kutub yang berbeda. Tentang ini, tak ada yang istimewa. Tetapi, siapa sangka jika keduanya punya figur idola yang sama? Adalah Milton Friedman, penerima nobel ekonomi dan salah satu guru neoliberal paling terkemuka, yang menjadi idola bersama dari koboi Reagan dan ketua Deng.
Syahdan, setelah menduduki tampuk tertinggi kekuasaan negara dan Partai Komunis Cina, menggantikan Mao Zedong (Mao Tse-tung) yang meninggal dunia, Deng Xiaoping mengundang Friedman bermuhibah ke Cina, pada 1980. Di negari tirai bambu itu, Friedman memberikan ceramah di hadapan “the Chinese People’s Political Consultative Conference,” mengenai krisis inflasi yang tengah mendera perekonomian Barat kala itu. Dengan tegas ia mengatakan, “inflasi dan pertumbuhan lambat terjadi sebagai akibat dari salah urus kebijakan pemerintah, yang menyebabkan ekonomi pasar bebas tidak berfungsi dengan baik.”
Untuk dari keluar dari krisis tersebut, menurut Friedman, Barat tak punya pilihan lain kecuali membalik arah strategi pembangunan ekonominya melalui jalan pemotongan pajak, minimalisasi peran pemerintah, dan mengurangi ongkos buruh. Masih dalam ceramah itu, Friedman mengatakan sahabatnya Ronald Wilson Reagan, bakal terpilih sebagai presiden Amerika Serikat (AS) pada Nopember tahun itu, dan akan menempuh kebijakan ekonomi sesuai dengan visinya. Ia juga meramalkan, Reagan bersama-sama dengan Margaret Hilda Thatcher, akan membawa bagian dunia lainnya menuju tanah impian melalui jalan pertumbuhan dan kemakmuran.
Kedatangan Friedman, mempertebal keyakinan Deng akan reformasi ekonomi Cina yang telah dicanangkannya sejak 1978. Memang, setelah menjadi pemimpin paling berkuasa, Deng kemudian mempromosikan konsep “sosialisme berkarakter Cina” dan mengumandangkan maksim “insiatif individual harus dikembangkan untuk meningkatkan produktivitas.” Slogan Deng paling terkenal adalah “let some get rich first, so other can get rich later.” Slogan ini mirip dengan slogan yang kerap dilontarkan Reagen, “trickle down economics.”
Berbekal slogan tersebut, generasi baru pemimpin Cina pelan tapi pasti menjalankan resep yang dikemukakan Friedman, “getting the government off the people’s back.” Satu per satu subsidi pemerintah di potong, perusahaan-perusahaan milik negara diprivatisasi, demikian juga dengan deregulasi bisnis, serta pembatasan terhadap hak-hak buruh untuk berorganisasi. Sejak saat itu, Cina yang tertutup dari investasi asing, berubah menjadi “tanah yang dijanjikan kepada para kapitalis.” “Cina,” seperti dikatakan Peter Kwong, profesor Asian American Studies di Graduate Center dan Hunter Colegge City University of New York (CUNY), “menjadi piala tertinggi yang berhasil direbut oleh kalangan neoliberal.”
Sebagaimana dicatat Martin Hans-Landsberg dan Paul Burkett, sejak reformasi 1978, Cina mencatat rekor sebagai satu-satunya negara di era modern, dengan pertumbuhan ekonomi paling cepat dan paling stabil. Sejak 1978, pertumbuhan domestik bruto (GDP) Cina, rata-rata mencapai 9.5 persen per tahun. Angka ini tiga kali lebih besar dari angka pertumbuhan ekonomi AS. Hasilnya, GDP Cina saat ini, berdasarkan pada purchasing power parity, mencapai 13 persen dari output dunia. Selanjutnya, Hans-Landsberg dan Burkett mencatat,
““Cina adalah empat besar produser industri setelah AS, Jepang, dan Jerman. Sebagai produser besar dalam pengertian output, Cina memroduksi lebih dari 100 jenis barang-barang manufaktur, lebih dari 50 persen kamera yang dipasarkan ke seluruh dunia, 30 persen penghangat ruangan (air-conditioner) dan televisi, 25 persen mesin pencuci, dan mesin pendingin, serta 50 persen produk mainan. Ketika Multi Faber Agreement dihapus pada 2005, Cina tampil sebagai produser terbesar dengan memroduksi 46 persen total produksi dunia dan 20 persen produk tekstil. 85 persen sepeda dan 80 persen sepatu yang dipasarkan ke AS, diproduksi di Cina.”
Biaya Sosial
Tetapi, semua cerita sukses yang menjadi pujian banyak orang di seluruh dunia itu, dibayar sangat mahal oleh rakyat Cina. Sisi gelap ini lenyap di balik hamparan karpet merah yang menyambut kedatangan para pangeran neoliberal.
Kombinasi antara sistem politik otoriterian dan mekanisme pasar yang eksploitatif, menyebabkan proses akumulasi kapital di Cina berlangsung secara primitif. Seperti ditulis Walden Bello, “penguasa Cina tetap memilih melanjutkan strategi lama dalam mendominasi pasar dunia melalui eksploitasi buruh murah. Dari jumlah populasi sebesar 1.3 miliar orang, 700 juta diantaranya – atau setengah jumlah penduduk – hidup di pinggiran kota dan menerima pendapatan rata-rata hanya sebesar US$285 setahun.” Masalah urbanisasi ini merupakan hal yang tak terbayangkan sebelumnya, ketika pintu pasar bebas mulai dibuka. Strategi pembangunan yang mengutamakan sektor perkotaan dengan fokus pada perumbuhan ekonomi, harus dibayar mahal oleh petani pedesaan. Dilaporkan, pada tahun 2006 saja, 150 juta petani menyerbu perkotaan, mengukir mimpi tentang hidup yang lebih baik. Padahal, mereka tak memiliki keahlian yang dibutuhkan sektor perkotaan yang kosmopolit. Di kota, mereka tinggal di perkampungan kumuh dan bekerja di bawah kondisi penindasan ekstrim. Perampokan, tindak kriminal, dan pelecehan seksual, sudah merupakan cerita yang lumrah.
Sektor lingkungan tak kurang menyedihkan. Cina kini merupakan penghasil zat karbon-dioksida terbesar kedua di dunia. 75 persen air danau dan sungai tidak layak minum karena tercemar polusi. Pencemaran lingkungan ini menyebabkan 300 ribu orang mati ada 2006, dan pemerintah kehilangan biaya sebesar US$200 milyar – setara dengan 10 persen GDP.
Setelah reformasi, Cina kini dijuluki sebagai “the Gilded Age of Inequality.” Pada 2003, rata-rata pendapatan petani per tahun sebesar US$317; upah bulanan buruh pabrik berkisar antara US$16 hingga US$100. Pada saat yang sama, sebuah riset yang dilakukan majalah Seventeen menemukan, sebagian besar anak perempuan dari keluarga kaya di kota-kota besar, menerima uang saku bulanan lebih dari US$100. Jumlah yang setara dengan upah bulanan buruh berpengalaman. Pada 2006, Sanghai, salah satu kota industri terbesar, menyelenggarakan “Millionaire Fair” yang memamerkan sedan-sedan mewah, kapal-kapal pesiar pribadi, barang-barang perhiasan seharga US$25 juta, dan emas berlian bernilai US$61.000.
Menurut laporan China Right Forum, kelas yang diuntungkan oleh kebijakan reformasi ekonomi, tidak didapatkan dari keahliannya; 90 persen dari 20 ribu orang kaya baru itu, memiliki kedekatan hubungan dengan pejabat-pejabat senior pemerintah Cina atau pejabat-pejabat Partai Komunis Cina yang duduk di pusat kekuasaan politik. Para pejabat di tingkat desa, memperkaya dirinya dengan cara mengambilalih tanah milik petani dengan kompensasi yang sangat kecil. Tanah rampasan itu kemudian dijual dengan harga tinggi kepada investor yang tengah berlomba membangun kota-kota baru yang lengkap dengan apartemen mewah, pabrik-pabrik, dan pusat perbelanjaan.
Biaya sosial yang buruk ini tentu saja – sebagaimana biasanya – melahirkan perlawanan. Menurut David Zweig, ahli politik Cina dari Hong Kong University of Science and Technology, “protes dimulai setiap lima menit di Cina.” Pada tahun 2004, the Public Security Bureau melaporkan, jumlah “insiden massa” meningkat menjadi 74 ribu. Pada 2005, angka tersebut melonjak sebesar 13 persen.
Cina juga terkenal sebagai negara yang paling banyak memenjarakan para wartawan. The Chinese Ministry of Public Security’s Internet dan Security Supervision Bureau, memiliki staf lebih dari 30 ribu. Pemerintah juga mencetak Undang-undang yang memaksa organisasi media lokal dan internasional, untuk tidak menerbikan laporan yang tidak diotorisasi, seperti bencana alam, demonstrasi-demonstrasi, dan pemberontakan petani pedesaan.
Masih tidak cukup. Partai juga menginvestasikan dana milyaran untuk memperkuat the People’s Armed Police. Kini ada sekitar satu juta polisi terlatih, yang dipersiapkan untuk menghadapi apa yang oleh pemerintah disebut sebagai “teroris.” Tetapi, menurut Peter Kwong, usaha memperkuat barisan kepolisian itu ditujukan untuk menghadapi pemberontakan buruh dan petani.
Dinasti Neoliberal
Ketika Deng Xiaoping memulai reformasi dengan slogan “Sosialisme berkarakter Cina,” makin tampak bahwa slogan itu tak lebih sebagai pragmatisme ekonomi. Yang sesungguhnya terjadi, adalah “feodalisme tingkat-tinggi dengan karakteristik Cina.”
Alkisah, beberapa tahun berselang, televisi milik pemerintah China Central Television (CCTV), menayangkan 44 seri dokudrama paling terkenal mengenai kehidupan kaisar Yongzhen (1722-1735), dari jaman Dinasti Qing, dinasti terakhir kekaisaran Cina. Dokudrama itu menggambarkan tentang kerja keras kaisar dalam meningkatkan kemakmuran rakyatnya, dan dalam proses itu ia meremajakan kembali bangunan kekuasaan Dinasti Qing yang berujung senja. Tetapi, kaisar Yongzheng yang diisukan menjadi kaisar melalui kudeta, adalah juga seorang pemimpin yang bertangan besi. Tak lama setelah tayangan itu usai, Ziang Zemin, presiden Cina dan pemimpin tertinggi Partai Komunis Cina dari klik Sanghai, kemudian mengidentifikasi dirinya sebagai Yongzheng masa kini.
Sukses dengan penayangan serial dokudrama ini, CCTV kembali mengudarakan dokudrama lainnya. Kali ini, mengenai kehidupan kaisar Wu, dari Dinasti Han. Digambarkan, kaisar Wu adalah seorang adiministrator yang cakap, sangat berkuasa, dan ekspansionistik. Ia membangun Dinasti Han, sejajar dengan dinasti-dinasti sebelumnya. Di masa kepemimpinannya (140-87 BC), Dinasti Han mencapai masa keemasannya, rakyat hidup dalam kemakmuran. Setelah menggusur Taoisme, Kaisar Wu kemudian mendeklarasikan Konfusianisme sebagai agama negara. Entah untuk menyaingi Zemin, presiden baru Cina Hu Jintao, lantas mengidentifikasi dirinya sebagai kaisar Wu jaman modern.
Demikianlah, gemuruh roda gerigi mesin pabrik sebagai pertanda berjalannya reformasi ekonomi yang dimulai sejak 1978, berlangsung di bawah kepemimpinan dinasti baru: Dinasti Neoliberal.
Gong Xi Fa Chai!***
Kepustakaan:
Martin Hans-Landsberg and Paul Burkett, “China and the Dynamics of Transnational Accumulation: Causes and Consequences of Global Restructuring,” historical-materialism research in critical marxist theory, 14.3, Koninklijke Brill NV, Leiden, 2006.
Peter Kwong, “China’s Neoliberal Dynasty,” The Nation, September 14, 2006.
———-, “The Chinese Face of Neoliberalism,” Weekend Edition
http://www.counterpunch.org/kwong10072006.html, October 7 / 8, 2006,
Walden Bello, “Chain-gang economics,” http://www.atimes.com/atimes/Global_Economy/HK02Dj01.html, Nov 2, 2006.