Politik Amerika Latin bergerak ke “Kiri.” Itulah kira-kira gambaran umumnya. Betapa tidak! Dengan terpilihnya pemimpin petani sosialis Evo Morales sebagai presiden Bolivia; Michelle Bachelet, seorang perempuan dari Partai Sosialis, sebagai presiden Cile; Rafael Correa, seorang intelektual kiri sebagai presiden Ekuador; dan tokoh revolusioner lama, Daniel Ortega sebagai presiden Nikaragua, maka hampir semua negara di Amerika Latin saat ini memiliki pemerintahan bergaris “Kiri.” Atau moderatnya, pemerintahan “Kiri-Tengah.”
Mereka, tampaknya mengikuti gerbong politik yang sudah ditarik lebih dahulu oleh Hugo Chavez dari Venezuela, Nestor Kirchner dari Argentina, Tabarez Vazquez dari Uruguay, serta Ignacio “Lula” da Silva dari Brazil, dalam membangun blok oposisi terhadap Washington yang mempromosikan kebijakan “pasar bebas,” atau tepatnya, neoliberalisme, dalam dua dekade belakangan ini. Dan sudah pasti, dalam gerbong tersebut, ada tokoh “Kiri” Fidel Castro dari Kuba yang sudah lebih dari 30 tahun menghadapi berbagai serangan AS terhadap diri dan pemerintahannya. Dan sebaliknya, Fidel masih tetap berteriak keras, Socialismo o Muerte (Sosialisme atau Mati), sambil menudingkan telunjuknya ke arah pemerintahan Amerika Serikat sebagai musuh abadinya.
Memang, langkah ini untuk sementara agak terganggu dengan gagalnya dua tokoh “Kiri,” López Obrador (Meksiko) dan Ollanta Humala (Peru) sebagai presiden dalam pemilu yang lalu. Sementara itu, Kolombia dan Kosta Rika, atau Amerika Tengah pada umumnya, kelihatannya tetap menampilkan pemimpin yang pro-Barat.
Tulisan ini sendiri mencoba mengulas, tanpa berpretensi komprehensif apalagi mendalam, dinamika dan perkembangan politik di Amerika Latin, dengan merujuk kepada kecenderungan pendulum politik yang bergerak ke ”Kiri.” Apa faktor-faktor penyebab di balik kelahirannya? Apakah hanya sekedar produk elite yang kebetulan sedang berkuasa, atau ada basis kelas sosial yang mendukungnya? Siapa sebetulnya kelas sosial yang begitu berperan di sini? Ada banyak pertanyaan yang bisa kita ajukan di sini tapi, semuanya kira-kira mengarah kepada perubahan besar yang sedang terjadi di Amerika Latin, yang oleh kalangan pimpinan Amerika Latin, khususnya Hugo Chavez, disebutnya sebagai jalan ke arah “Sosialisme Abad 21.”
“Kiri” Amerika Latin menimbulkan“Kebingungan.”
Apa yang sedang terjadi di Amerika Latin ini memang menimbulkan ”kebingungan” tersendiri dalam berbagai diskusi dan opini yang ada. “Kebingungan” ini tidak terlalu salah, jika kita melihat apa yang terjadi dengan ambruknya Uni Soviet dan Eropa Timur, sebagai ikon “Kiri” (baca: Komunisme) dunia di masa lalu. Sementara tinggal Korea Utara, Vietnam, dan RRC Republik Rakyat Cina), yang masih setia dengan garis “Kiri”nya. Dua yang terakhir ini pun, dalam banyak hal sudah mengadopsi jalan kapitalisme dalam kebijakan pembangunannya.
Apa artinya menjadi “Kiri” pada Abad 21 ini? Itu kira-kira pertanyaan yang diajukan oleh ilmuwan yang terkenal dengan teori Sistem Dunia, Immanuel Wallerstein, berkaitan dengan munculnya “kebingungan” mengenai kecenderungan “Kiri” di wilayah Amerika Latin. Masalahnya sudah jelas, sebagaimana telah disebutkan, komunisme sudah ambruk dan kehabisan energi, dan kapitalisme berjaya bersama kembarannya, demokrasi liberal. Sejarah sudah berakhir, kata Francis Fukuyama, dalam bukunya, “The End of History and the Last Man” (1992). Jadi apa lagi yang mau dibicarakan dan diharapkan ketika seseorang bicara soal “Kiri” dewasa ini?
Meskipun demikian, kembali mengutip Immanuel Wallerstein, ada beberapa penjelasan yang bisa diajukan di sini. Pertama, ada banyak orang yang menganalisa atau mengukur masalah-masalah yang berbeda dalam kaitannya dengan kriteria bergerak ke “Kiri.” Kedua, harus selalu diakui bahwa kecenderungan politik yang berkembang, tidak pernah bisa bergerak secara linier. Artinya, kecenderungan tersebut selalu merefleksikan situasi yang “naik” (ups) dan “turun” (downs), meski saat bersamaan kita bisa menangkap adanya kecenderungan yang sifatnya menyeluruh. Ketiga, memang banyak orang pada umumnya, dan kalangan politisi pada khususnya, menggunakan bahasa yang berlapis-lapis untuk pendengar yang berbeda-beda. Demikian juga ketika masalah “Kiri” ini yang diangkat dan diperdebatkan. Tapi lagi-lagi, kita harus katakan, ini tidak berarti kita tidak dapat melihat “garis dasar”nya (bottom lines). Beranjak dari sana kita mencoba melihat lebih jauh apa yang sebenarnya terjadi dengan “Kiri” Amerika Latin dewasa ini.
Dua Jalur “Kiri’ Amerika Latin
Memang selalu ada perubahan dalam segala hal, termasuk “Kiri’ Amerika Latin. Ada dua hal yang bisa dikatakan di sini: pertama, sudah pasti kita tidak bisa membayangkan “Kiri” Amerika Latin saat ini sama dengan apa yang muncul dan berkembang di masa lalu. Banyak perubahan dalam hal ideologi, program, dan organisasi. Kedua, “Kiri” Amerika Latin saat ini pun tidak bersifat tunggal dan homogen. Sebaliknya, ia tampil dengan berbagai warna, kinerja dan jangkauannya.
Untuk sekedar memperlihatkan pluralitas ”Kiri” Amerika Latin dewasa ini, ada baiknya kita mengutip Jorge G. Castañeda, mantan Menteri Luar Negeri Meksiko, yang saat ini profesor di New York University. Menurutnya, secara sederhana ada dua ”Kiri” Amerika Latin. Yang pertama, ”Kiri” yang memiliki karakter modern, reformis, terbuka (open-minded), dan internasionalis. Menariknya, ”Kiri” dalam jalur seperti ini pada dasarnya berasal kelompok garis-keras (hard-core) ”Kiri” di masa-masa lalu. Mereka umumnya, dulu menginduk atau menjadi satelit dari Partai Komunis Uni Soviet. Sementara itu, yang kedua, berasal dari tradisi besar populisme Amerika Latin. Wataknya yang menonjol dari ”Kiri” seperti ini adalah nasionalis, retorikanya umumnya sangat vokal tapi bersifat tertutup (closed-minded). Pada yang pertama, kelihatannya ada semacam kesadaran bahwa mereka telah melakukan kesalahan di masa lalu seperti mengadopsi begitu saja model komunis Uni Soviet, atau hanya sekedar menjadi klien yang patuh pada tutorial Komunis Internasional di Moskow. Tapi, kesadaran seperti ini rasa-rasanya tidak terlalu menonjol pada jalur yang belakangan, dan bahkan umumnya mereka menampilkan dirinya sangat anti-komunis, dan sangat dekat dengan ide-ide dan model negara fasisme yang dikembangkan di Spanyol (di bawah Franco) dan Portugal (di bawah Salazar).
Sementara itu, bergeraknya pendulum politik Amerika Latin ke ”Kiri,” masih menurut Castañeda, yang terkenal dengan bukunya, “Utopia Unarmed: The Latin American Left After Cold War,” tidak terlalu susah untuk diramalkan sebelumnya. Dia mengajukan beberapa poin sebagai berikut. Pertama, ambruknya Uni Soviet dan juga Eropa Timur sebagai ikon komunisme justru akan membantu ”Kiri” Amerika Latin mengubah stigma geopolitik yang ada. Amerika Serikat, khususnya presiden dan jajarannya di Washington, tidak lagi bisa mengatakan atau mencurigai bahwa setiap pemerintahan yang bergaris ”Kiri,” atau ”Kiri-tengah” (center-left) di Amerika Latin, merupakan satelit Uni Soviet. Ini artinya, setiap pemerintahan ”Kiri” saat ini tidak lagi terbebani harus bermain atau bahkan memilih antara Amerika Serikat dan Uni Soviet sebagaimana pada era Perang Dingin.
Kedua, tanpa mempertimbangkan apakah berhasil atau gagalnya reformasi ekonomi pada tahun 1990an, ketidakmerataan (wilayah ini secara umum adalah yang terburuk di dunia dalam soal ketidakmerataan sosial dan ekonomi), bersama dengan kemiskinan, konsentrasi kekayaan, pendapatan, dan kesempatan di Amerikan Latin menjadikan wilayah ini memiliki kecenderungan harus dipimpin oleh pemerintahan ”Kiri-Tengah.” Kombinasi antara ketidakmerataan dan demokrasi, memiliki kecenderungan untuk melahirkan gerakan yang bergaris ”Kiri.” Fenomena seperti ini juga terjadi di Eropa Barat, yang bermula dari berakhirnya abad 19 hingga setelah Perang Dunia II. Kelihatannya, kecenderungan seperti itu hadir juga di Amerika Latin saat ini. Massa miskin akan memilih (vote) untuk tipe pemerintahan dan kebijakan yang diharapkan akan membantu mereka menjadi lebih baik kehidupannya di masa depan. Ketiga, tersebarnya proses demokratisasi dan konsolidasi demokrasi sebagai satu-satunya jalan ke arah kekuasaan, cepat atau lambat, pada akhirnya akan mengarah kepada kemenangan ”Kiri.” Ini disebabkan karena demografi sosial dan konfigurasi etnis sendiri di wilayah Amerika Latin. Dengan kata lain, meskipun tanpa sebab-sebab yang pasti pula, Amerika Latin sudah hampir dipastikan mengarah ke ”Kiri” .
Neoliberalisme dan Dampaknya
“There is no another world”, demikian slogan yang dicanangkan oleh Margareth Thatcher (Inggris), dan kemudian disusul sekutu utamanya, Ronald Reagan (AS). Dunia yang ada sekarang, hanyalah dunia yang dipandu oleh ideologi dan program atau kebijakan neoliberalisme. Khusus di Amerika Latin, hampir tidak ada negara (kecuali secara ideologis dan politis tentu saja Kuba di bawah Fidel Castro), yang tidak terimbas oleh ideologi dan kebijakan noeliberalisme.
Tetapi sebelum kita melangkah lebih jauh dengan membicarakan dampak dari proyek neoliberalisme di Amerika Latin, ada baiknya lihat apa yang dimaksud dengan neoliberalisme? Ada banyak definisi atau pengertian, dan saya mengutip salah satunya dari Elizabeth Martinez dan Arnoldo Garcia, dalam artikelnya yang berjudul “What is ”Neo-Liberalism?” Menurut mereka, ideologi neoliberalisme menampilkan ciri-ciri utamanya sebagai berikut: (a) Berkuasanya Hukum Pasar. Ada kebebasan bagi modal, barang, dan jasa, sehingga pasar mampu mengatur dirinya sendiri; (b) Mengurangi pembelanjaan publik bagi pelayanan sosial seperti pelayanan kesehatan dan pendidikan; (c) Deregulasi dan swastanisasi; dan (d) Mengubah persepsi, baik mengenai publik dan komunitas, menjadi individualisme dan tanggung jawab individual. Di seluruh dunia, termasuk wilayah Amerika Latin, masih menurut Martinez dan Garcia, neoliberalisme telah dipaksakan oleh lembaga-lembaga finansial yang memiliki kekuasaan yang besar. Sebut saja, Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund-IMF), Bank Dunia (World Bank-WB), dan Bank Pembangunan Antar-Amerika (Inter-American Development Bank). Bahkan, dibandingkan dengan wilayah dunia lainnya, Amerika Latin sejak 1980an sudah menjadi laboratorium dari eksperimen neoliberalisme. Jenderal Augusto Pinochet, pada saat berkuasa sudah menjalankan formula yang diajukan oleh the Chicago School (ingat nama Milto Friedman, penerima hadiah Nobel, adalah arsitek ekonomi Pembangunan Nasional Cile), yang sebetulnya adalah proyek neoliberalisme. Hebatnya, ini sudah dilakukan beberapa tahun sebelum pada akhirnya menjadi bendera yang dibawa Ronald Reagan (AS) dan Margareth Thatcher (Inggris), untuk membangun dunia. Demikian juga “shock therapy” ala Jeffrey Sachs dijalankan oleh Paz Estensoro di Bolivia, sebelum diimplementasikan di bekas negara-negara blok Uni Soviet.
Sementara itu, format neoliberalisme ini juga sudah diadopsi oleh kekuatan-kekuatan nasionalis seperti Peronisme di Argentina di bawah Carlos Menem, atau PRI di Meksiko di bawah Carlos Salinas. Bahkan, juga kalangan “Kiri-Tengah” yang berkuasa di Cile, yang merupakan aliansi Sosialis-Kristen Demokrat di bawah Ricardo Lagos (saat ini digantikan Michelle Bachelet), Venezuela di bawah Carlos Andrés Pérez dan Brazil di bawah Fernando Henrique Cardoso, sudah menjalankan kebijakan neoliberalisme di bawah tutorial AS dan lembaga-lembaga finansial internasional.
Pada awalnya, masyarakat memang memiliki harapan atas dampak keuntungan dari proyek transformasi ekonomi (pasar bebas) dan politik (demokrasi elektoral) ini. Tapi, setelah lebih dari 20 tahun, negara-negara Amerika Latin, terutama masyarakatnya, kelihatannya mengalami kekecewaan. Ini semua berkaitan dengan kinerja neoliberalisme yang tidak sesuai dengan janjinya ketika dicanangkan. Seperti kita ketahui, kebijakan ekonomi yang diajalankan, atas dasar “Washington Consensus,” adalah pembangunan yang dihela oleh modal asing, ditarik oleh privatisasi di sektor industri dan sumber alam, liberalisasi impor, tingkat suku bunga yang tinggi, pengetatan fiskal, dan dalam banyak kasus, mata uang yang dipatok. Setelah masa-masa euforia pada akhir 1980an dan awal 1990an, krisis mulai muncul ke permukaan. Impor mengalami sentakan pada saat biaya tarif dipotong, nilai mata uang yang tinggi menyulitkan ekspor, defisit neraca pembayaran dan peningkatan pembayaran utang luar negeri. Semua ini pada akhirnya mendorong resesi, pengangguran, dan ketidakmerataan yang semakin memburuk. Tidak mengherankan apabila masyarakat Amerika Latin saat ini lebih banyak berkerja di sektor-sektor informal. Pada pertengahan 1990an, tingkat suku bunga AS meningkat, dan ini menyebabkan beban utang luar negeri yang semakin parah, dan pada gilirannya fundamental ekonomi negara-negara Amerika Latin ambruk. Sebut saja Meksiko (1994), Brazil (1999), dan Argentina (2001).
Situasi seperti ini mengungkapkan, ada keterbatasan dan kekurangan dari tatanan yang baru. Akibat lebih jauh, timbul kekerasan politik, kemunculan kembali ”Kiri” yang baru, tampilnya bentuk populisme yang baru, bangkitnya pemimpin-pemimpin personalistik yang baru hasil plebisit, dan hadirnya gerakan sosial dan ekonomi baru di seluruh wilayah. Reaksi balik ini sebetulnya bisa dipahami, jika kita menengok sejenak kepada data-data ekonomi dan sosial dari masyarakat Amerika Latin, setelah berjalannya proyek neoliberalisme. Rata-rata, sekitar 60 persen dari masyarakat Amerika Latin hidup dalam kemiskinan, dan lebih dari setengahnya hidup dalam kemiskinan yang akut. Ironisnya, kemiskinan seperti ini berdampingan dengan semakin kayanya kelas kapitalis yang minoritas di masing-masing negara. Konsentrasi pendapatan kekayaan ini sudah berjalan selama dua dekade belakangan ini. Tahun 1999 misalnya, ada sekitar 40 persen masyarakat termiskin di wilayah ini, yang hanya mendapatkan sekitar 15 persen dari keseluruhan pendapatan nasional. Sebaliknya, sekitar 40 persen lebih dari pendapatan nasional berada ditangan kalangan kaya yang hanya berjumlah sekitar 10 persen dari masyarakat. Lebih tragis lagi, antara 1992 dan 2001, lebih dari $ 1,2 trilyun meninggalkan Amerika Latin untuk pembayaran utang luar negeri. Ini artinya, setiap dollar di Amerika Latin yang diterima dari negara-negara kaya untuk keperluan memerangi kemiskinan (poverty reduction), Amerika Latin harus membayar kembali sekitar lebih dari enam dollar ke negara-negara kaya. Ini pembayaran dari Si Miskin ke Si Kaya tanpa ada pajak di dalamnya.
Gelombang Gerakan Sosial
Tidak bisa dipungkiri, apa yang terjadi di Amerika Latin saat ini, sebagian besar merupakan hasil dari proses panjang gelombang gerakan sosial yang marak tumbuh dan berkembang di banyak tempat di wilayah ini. Kehadiran mereka, baik secara kultural maupun struktural, merupakan reaksi dan sekaligus bagian dari sikap politik mereka terhadap berbagai bentuk represi, ketidakadilan, dan kemiskinan yang berasal dari pemerintah, modal asing, dan tekanan eksternal lainnya.
Secara gamblang, jika kita mengutip James Petras, seorang akademisi dan aktivis yang banyak membantu masyarakat tanpa tanah di Brazil, ada tiga gelombang gerakan sosial yang saling tumpang tindih dan berkaitan dalam 25 tahun belakangan ini. Gelombang yang pertama, secara gampangnya, muncul pada akhir 1970an hingga pertengahan 1980an. Pada umumnya, gerakan ini yang kemudian dikenal sebagai “gerakan sosial baru” (the new social movements), terdiri dari aliansi kekuatan sosial seperti kalangan aktivis hak asasi manusia, lingkungan, feminis, etnis dan juga Lembaga Swadaya Masyarakat (NGOs). Kepemimpinan mereka umumnya berasal kelas menengah-bawah profesional, dimana strategi dan kebijakan mereka berkisar pada upaya perlawanan terhadap kekuasaan otoritarian militer dan sipil, yang telah banyak memakan korban jiwa. Orang terbunuh, diculik atau dihilangkan secara paksa, disiksa dan dipenjara dengan alasan Keamanan Nasional, adalah hari-hari yang paling “hitam” yang dihadapi masyarakat pada umumnya dalam perjalanan politik Amerika Latin.
Gelombang kedua, yang berkembang menjadi kekuatan politik yang signifikan, berawal dari pertengahan 1980an hingga saat ini. Sebagian besar gerakan ini dipimpin dan terdiri dari petani dan buruh tani, di mana organisasi massanya terlibat dalam aksi-aksi langsung, dalam upayanya mempromosikan dan melindungi kepentingan-kepentingan ekonomi dari pendukungnya. Yang paling menonjol dari gerakan ini gerakan Zapatista (Ejércite Zapatista de Liberación Nacional – ZLN) di Meksiko, Gerakan Pekerja Pedesaan Tak Bertanah (Movimento dos Trabalhadores Rurais Sem Terra – MST), gerakan petani koka masyarakat Indian (Cocaleros) di Bolivia, Federasi Petani Nasional (National Peasant Federation) di Paraguay, Angkatan Bersenjata Revolusioner Kolombia (Revolutionary Armed Forces of Colombia – FARC) di Kolombia, dan gerakan petani Indian yang tergabung dalam Konfederasi Kebangsaan Masyarakat Adat Ekuador (CONAIE) di Ekuador.
Jika kita perhatikan mengenai komposisi, taktik, dan tuntutan yang diperjuangkan gerakan sosial ini memang bervariasi dan bisa juga berjalan sendiri-sendiri. Meskipun demikian, kelihatannya ada “kepentingan bersama” yang menyebabkan mereka bersatu sebagai oposisi terhadap neoliberalisme dan imperialisme. Tepatnya, mereka melawan ketidakadilan dan penindasan sebagai akibat dari kebijakan ekonomi rejim neoliberal dan berkembangnya konsentrasi kekayaan ditangan para elit lokal dan asing. Secara lebih khusus lagi, yang mereka perjuangkan adalah pembagian tanah dan otonomi nasional bagi komunitas Indian. Saat yang bersamaan, mereka juga berjuang melawan berbagai bentuk intervensi Amerika Serikat, terutama dalam program penghapusan tanaman koka, kolonisasi wilayah untuk pengkalan militer, keterlibatan institusi militer dan polisi, dan militerisasi konflik sosial seperti Plan Colombia dan the Andean Initiative.
Gerakan ketiga, yang merupakan gelombang gerakan sosial yang lebih baru, berpusat wilayah-wilayah urban. Di sini, termasuk gerakan massa pekerja pengangguran berbasis barrio (komunitas) di Argentina, kalangan pegangguran dan kaum miskin di Republik Dominika, dan penduduk yang bermukim di rumah-rumah gubuk yang menaruh harapannya di belakang bendera populis yang diusung oleh Hugo Chavez, presiden Venezulea. Lain daripada itu, ada gerakan urban yang tampilannya adalah new multi-sectorial movements (gerakan multisektoral baru) yang melibatkan perjuangan massa yang mengintegrasikan buruh tani dan petani bertanah menengah dan kecil yang berkembang di Kolombia, Meksiko, Brazil, and Paraguay.
Gerakan kelas-kelas tertindas, khususnya untuk gelombang kedua dan ketiga, memang sering dianggap remeh dibandingkan kelas menengah dan gerakan kaum muda yang mendapat tempat terhormat dalam tradisi liberal. Sebaliknya, mereka juga tidak terlalu dipandang sebelah mata dibandingkan gerakan kelas buruh misalnya, yang menjadi ikon dalam tradisi marxis. Sejarahwan marxis yang terkenal, Eric Hobsbawm, misalnya, menggunakan argumen demografi untuk menaifkan sentralitas gerakan petani dalam perjuangan politik kontemporer. Sebaliknya, ada kalangan akademisi lainnya yang juga mengatakan bahwa kaum miskin kota, yang pekerjaannya bersifat marjinal dan terfragmentasi, dan tidak memiliki alat-alat produksi, tidak akan mampu melawan kekuasaan politik yang sudah mapan.
Meledaknya gerakan kelas buruh dan petani di banyak negara di wilayah Amerika Latin sepuluh tahun belakangan ini dalam memperjuangkan masalah tanah dan kekuasaan politik, telah membatalkan keyakinan mereka yang berasal dari tradisi marxis ortodoks maupun liberal. Kalangan akademisi, khususnya kebanyakan ekonom maupun ilmuwan politik, yang menyakini bahwa liberalisme ekonomi dan politik pada akhirnya akan mengakhiri perjuangan ideologi massa, ternyata menguap dengan kemunculan Zapatistas, FARC, dan CONAIE. Kita mencatat, gerakan-gerakan ini memiliki majelis masyarakat yang terorganisir dalam peran dan posisi mereka untuk menentang kekuasaan yang tiran, korup, dan reaksioner. Mereka sendiri pada saat bersamaan, juga aktif terus menerus mengartikan dan memperluas suatu bentuk demokrasi langsung yang lebih subsrtantif. Sentralitas aksi-aksi langsung yang dilakukan oleh berbagai gerakan ini menampar pusat jantung eksploitasi kapitalis, yang seringkali aksi-aksi tersebut melumpuhkan produksi dan sirkulasi produksi yang sangat penting bagi reproduksi rejim neoliberal.
Pada titik ini kita bisa bertanya bagaimana kalangan liberal maupun marxis ortodoks, menjelaskan kekuatan politik masyarakat asli Indian yang mengambil alih Parlemen Ekuador di tahun 2000, FARC yang memiliki peran dan pengaruh yang begitu besar pada hampir setengah kotapraja atau kotamadya di Kolombia, atau pamer kekuatan MST pada 23 negara bagian dari 24 yang ada di Brazil. MST adalah pendukung utama partai yang berkuasa saat ini, Partido Trabalhadores (Partai Buruh) di bawah pimpinan Luiz Inacio “Lula” da Silva yang menjabat sebagai presiden Brazil. MST sendiri yang berdiri pada tahun 1984, terkenal sebagai organisasi “Kiri” yang paling militan, vokal, dan keras. Dalam kongresnya yang pertama pada tahun 1985, MST memutuskan dua tujuan utama yakni, (a) mereka akan terus berjuang untuk pembaharuan agraria (land reform) dengan membagi-bagikan tanah kepada mereka yang bersedia untuk menggarapnya; dan (b) mempromosikan sebuah masyarakat yang memiliki keadilan dan kesetaraan.
Yang paling fenomenal adalah dilantiknya Juan Evo Morales Ayma (46 tahun), pimpinan “Gerakan menuju Sosialisme (Movimiento al Socialismo – MAS), sebagai presiden Bolivia pada 22 Januari 2006. MAS yang berdiri sejak tahun 1995, adalah gerakan petani koka di mana Morales sendiri berasal dari satu diantara empat kelompok etno-linguistik pribumi yakni, Quechue, Aymara (Morales berasal dari kelompok etnis ini), Guarani dan Chiquitano, yang merupakan 65 persen dari total penduduk Bolivia. Dari sudut jumlah (kuantitas) pendukungnya, dan kesadaran politik, organisasi dan program mereka, ternyata semakin menguat dan solid dalam tahun-tahun terakhir ini. Masyarakat pada umumnya, khususnya masyarakat keturunan Indian, sudah banyak yang tidak buta politik lagi. Go to politics! Begitu kira-kira slogan dan arahannya. Tidak mengherankan, gerakan ini begitu mengambil peran besar dalam proses-proses politik di Bolivia, dan bahkan sebagai catatan sejak tahun 2003, mereka berhasil menurunkan dua presiden Bolivia, Gonzalo Sanchez de Lozada dan Carlos Mesa, yang dianggap tidak pro-masyarakat asli.
Jika kita harus mencatat isu-isu dominan yang menjadi ”bahan bakar” dari setiap intern negara Amerika Latin, terutama yang bergerak ke arah ”Kiri,” kembali mengutip Wallerstein, sedikitnya ada lima isu utama yang berkembang: Pertama, masalah hak yang berkaitan dengan keberadaan masyarakat Indian di Amerika Latin. Sebetulnya isu politik ini sudah tampil kepermukaan lebih dari 200 tahun yang lalu, tapi baru kali ini ia benar-benar ada dan ini semacam terobosan dalam mempromosikan dan memperjuangkan hak tersebut. Ini terjadi, sebagian besar sebagai hasil dari meningkatnya kesadaran dan mobilisasi politik dari masyarakatnya sendiri; kedua, masih berkaitan dengan sebelumnya, isu pembaharuan agraria (land reform) yang menjadi concern kalangan petani selama ini. Ada perlawanan, khususnya dari kalangan tuan tanah. Meskipun demikian, pelaksanaannya memang tidak mudah. MST di Brazil sendiri misalnya, kelihatannya kecewa karena PT dan Lula yang selama ini mendapat dukungan dari MST mulai ragu-ragu, jika tidak mau dikatakan tidak mampu, dalam pelaksanaan pembaharuan agraria yang mengarah pada pembagian tanah kepada masyarakat petani pada umumnya. Selanjutnya, ketiga, berkaitan dengan kontrol terhadap sumber-sumber alam (natural resources). Di sini tidak hanya pertambangan dan energi tapi juga air. Kontrol di sini tidak harus nasionalisasi tapi setidaknya cara atau tingkatan yang penting dari kontrol negara dan sumber pemasukan negara yang besar dari sumber-sumber alam tersebut.
Yang keempat, isu yang berkaitan dengan alokasi dana yang relatif besar dari pemerintahan yang baru untuk dunia pendidikan di segala tingkatan, dan struktur yang berhubungan dengan kesehatan. Akhirnya, kelima, adalah isu yang mempertanyakan tingkat di mana militer dibatasi keterlibatannya dalam proses pembuatan kebijakan di tingkat nasional. Saat ini militer di Amerika Latin pada umumnya memang sudah jauh berbeda dengan militer pada masa lalu yang diwarnai dengan kudeta, kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang sudah masuk kategori kejahatan terhadap kemanusiaan.
Penutup: Tinjauan Kritis
Apa yang terjadi di Amerika Latin saat ini, memang menimbulkan banyak pro dan kontra, khususnya dari kalangan ”Kiri” sendiri di banyak negara. “Kiri” Amerika Latin yang muncul dan berkembang menciptakan anomalinya sendiri bagi para penganut marxisme, baik yang ortodoks maupun revisionis. Kembali mengutip Jorge G. Castañeda, misalnya, yang ternyata telah salah meramalkan watak atau ciri dari ”Kiri” Amerika Latin yang muncul kemudian. Tadinya, menurutnya, setelah ambruknya komunisme Uni Soviet dan Eropa Timur yang kemudian berpaling kepada jalan kapitalisme, “Kiri” Amerika Latin akan mengadopsi, atau sedikitnya mengikuti partai-partai sosialis yang ada di Perancis dan Spanyol, atau bahkan Partai Buruh (baru) di Inggris di bawah Tony Blair. Dalam beberapa kasus memang sempat terjadi seperti di Cile, atau kurang lebih di Brazil. Tapi pada umumnya “Kiri’ Amerika Latin memang berbeda. Pertanyaannya, mengapa demikian?
Salah satu alasannya adalah, ambruknya Uni Soviet dan Eropa Timur sebagai ikon komunisme, tidak serta merta menyebabkan keambrukan gerakan-gerakan “Kiri” di Amerika Latin, atau khususnya Kuba sebagai satu-satunya negara komunis, sebagaimana yang diduga atau diharapkan banyak pihak. Kebangkrutan Yang belakangan ini misalnya, sangat disambut gegap gempita oleh masyarakat pengungsi Kuba yang berada di Miami, Florida, Amerika. Tapi ternyata apa yang diprediksi tersebut tidak terjadi. Sedikitnya, menurut Castaneda, ada dua hal berkaitan yang bisa diangkat di sini. Pertama, pemikiran, tindakan, dan motivasi “Kiri” pada dasarnya tidak memiliki pengaruh politik, dalam arti formal, yang menentukkan di Amerika Latin. Sebaliknya, ia kebanyakan merupakan sasaran terhadap penindasan politik yang menyakitkan, perpecahan di antara mereka sendiri yang berkepanjangan, marjinalisasi ekonomi yang memburuk, dan kekerasan militer yang mengerikan. Tidak mudah untuk melupakan bahwa tahun 1960an dan 1970an, di bawah rejim-rejim militer, gerakan perlawanan rakyat yang beraliran ”Kiri” berjuang melawan penguasa militer, kelas tuan tanah dan bisnis, yang didukung AS. Banyak orang terbunuh, diculik dan disiksa, serta lenyap tanpa bekas karena tuduhannya sebagai bagian dari gerakan dan ideologi komunisme.
Kedua, sejauh ini memang ”Kiri” masih tetap relevan di Amerika Latin, karena berakhirnya Perang Dingin dengan runtuhnya sosialisme-komunisme di Uni Soviet dan Eropa (Timur), tidak berarti mengakhiri sebab-sebab yang menyebabkan kelahirannya. Dewasa ini, sebab-sebab tersebut tampaknya semakin nyata, dan bahkan semakin mendesak. Sebut saja misalnya, kemiskinan, ketidakadilan, disparitas kaya dan miskin, dan tentu saja berbagai bentuk kekerasan yang terjadi sehari-harinya.
Sejauh ini memang ada euforia ”Kiri” di Amerika Latin, dan bahkan dampaknya pun sampai jauh di luar wilayah Amerika Latin sendiri. Tapi suatu tinjauan kritis tetap saja perlu dilakukan untuk melihat kecenderungan ”Kiri” Amerika Latin. Tersebut nama James Petras, seorang akademisi marxis yang dalam salah satu artikelnya, ”Class-based direct action versus populist electoral politics,” mengangkat “debat lama” mengenai apakah kepemimpinan dalam perjuangan melawan neoliberalisme dan imperialisme dapat diambil alih oleh ”borjuis nasional” atau aliansi kelas yang terdiri dari petani, petani koka (cocaleros), pegawai negeri, pengangguran, buruh tani tanpa tanah, dan sektor-sektor di dalam kelas buruh.
Menurut Petras, selama lebih dari 20 tahun, kebijakan neoliberal telah diberlakukan oleh kalangan borjuis nasional yang memegang tampuk pemerintahan di Amerika Latin, apakah itu pemerintahan ’sosialis’ (Cile), ’populis’ (Argentina), ’Kristen Demokrat’ (Venezuela) maupun ’konservatif’ (Meksiko). Menurutnya, tidak ada satu negara pun di Amerika Latin, di mana kelas borjuisnya berani menentang kebijakan neoliberalisme yang dimotori AS dan negara-negara besar lainnya. Karenanya, hanya kekuatan sosial yang berani menghadang, melawan, dan bahkan menjatuhkan pemerintahan neoliberal, dan ini harus dipimpin oleh gerakan kelas yang terdiri dari petani Indian, pengangguran warga urban, buruh tani tanpa tanah, kelas buruh, pegawai negeri (seperti guru, pegawai PLN, pegawai Kesehatan dan lainnya), dan masyarakat miskin. Hanya mereka, dan bukan kalangan borjuis, baik nasional maupun internasional, yang memimpin perjuangan menentang neoliberalisme.
Sebagai contoh, oposisi yang militan menentang privatisasi air di Cochabamba, Bolivia dan listrik di Arequipa, Peru adalah gerakan yang berbasis pada gerakan massa. Di Ekuador, gerakan serupa juga terjadi di mana masyarakat Indian dan pegawai negeri, secara terorganisir menjatuhkan dua presidennya, Mahuad dan Lucio Guitierrez yang melaksanakan kebijakan neoliberal dan meninggalkan pendukung utamanya, petani Indian, dan lebih berpaling pada kelompok borjuis nasional di Guayaquil. Demikian juga yang terjadi di Bolivia, di mana pada Oktober 2003, massa petani coca di Yungas, buruh tambang di Huanin, penduduk pengangguran di El Alto, dan pekerja di manufaktur di La Paz dan Cochabamba, menjatuhkan presiden Sanchez de Losada, seorang kapitalis klien yang mengabdi pada AS, dan didukung oleh kalangan ”borjuis nasional” di Santa Cruz.
Sampai di sini terlihat jelas bagaimana seorang James Petras, tetap konsisten dengan pendekatan marxis yang meletakkan pertentangan dan perjuangan kelas sebagai jalan pijaknya. Memang terlihat dogmatis, dan ia hanya menaruh perhatian terhadap konflik-konflik yang antagonistik, dan tidak hirau pada konflik non-antagonistik. Karenanya tidak mengherankan juga, dalam tulisannya yang lain, ”Is Latin America really Turning Left?” Petras banyak mengritik kalangan pemimpin Amerika Latin yang mendapat kategori ”Kiri.” Menurutnya, semua pemimpin tersebut sebagian atau seluruhnya, masih saja tetap mengakomodasi kebijakan ekonomi neoliberal. Lula, presiden Brazil saat ini, misalnya, dikritik karena dalam banyak kebijakannya ternyata lebih hirau pada kalangan pengusaha agrbisnis besar ketimbang para petani tak bertanah yang merupakan pendukung utamanya selama ini. Sementara itu, ia juga mengklarifikasi watak nasionalis yang diadopsi oleh Chavez (Venezuela) dan Morales (Bolivia). Kedua presiden tersebut, masih menurutnya, tidak menghapuskan banyak elemen yang sangat penting dari produksi kapitalis seperti keuntungan privat, pemilikan asing, akses pasar atau penyediaan energi, atau barang-barang utama lainnya. Pada kenyataannya, mereka berdua hanya memperbarui hubungan negara dan kalangan industriawan agar sesuai dengan ukuran-ukuran standar dunia saat ini.
Masih banyak lagi kritik dan kecaman terhadap ”Kiri” Amerika Latin sejauh ini. Tapi kita pun menyadari bahwa memang perjuangan mempromosikan ”another world is possible” sangat kompleks dan butuh energi panjang.
Sejarahlah yang nanti mencatatnya.***
Nur Iman Subono adalah Staf Pengajar Jurusan Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI.
Kepustakaan:
CEPAL (United Nations Economic Commission for Latin America and Caribbean) sebagaimana dikutip oleh Beatriz Stolowicz, “The Latin American Left : Between Governability and Change,” Transnational Institute, no. 2004/1.
Emir Sader, “Taking Lula’s Measure,” dalam New Left Review 33, May-June 2005.
George Junus Aditjondro, “Ketika Petani Angkat Bicara dengan Suara dan Massa: Belajar dari Sejarah Gerakan Petani di Indonesia dan Amerika Selatan,” Yayasan Tanah Merdeka, Palu, 2006.
Immanuel Wallerstein, “How Has Latin America Moved Left?” Commentary, no. 187, June 15, 2006.
James Petras, “The Unemployed Workers Movement in Argentina,” Monthly Review, Januari 2002.
————, “Class-based direct action versus populist electoral politics,” Rebelion, March 31, 2004.
————, “Is Latin America Really Turning Left?” Counterpunch, June 2006.
Jorge G. Castañeda, “Latin America’s Left Turn,” Foreign Affairs, May/June 2006.
————, “Utopia Unarmed: The Latin American Left After the Cold War,” New York: Vintage Books, 1994.
Nur Iman Subono, “Perlawanan ‘Kiri’ Amerika Latin terhadap Amerika Serikat dalam Era Neoliberalisme,” Jurnal Politika, Vol. 2, No.1, tahun 2006.
Robert Alexander, “Communism in Latin America,” New Brunswick: Rutgers University Press, 1957.
Wendi Wolford, “Producing Community: The MST and Land Reform Settlements in Brazil,” Journal of Agrarian Change, Vol. 3, No. 4.