Laporan tengah tahun Bank Dunia untuk wilayah Asia Pasifik yang bertajuk “Managing Through a Global Downturn” (Pengelolaan Ditengah Penurunan Global), menuai kontroversi dan kritik tajam. Secara khusus, bagian yang dinilai kontroversial adalah pada seksi analisis lembaga itu terhadap peningkatan kemiskinan di Indonesia pada 2006.
Pokok penilaian Bank Dunia, peningkatan angka kemiskinan dari 16 persen pada Februari 2005 menjadi 17,75 persen pada Maret 2006 bukan disebabkan oleh kenaikan tajam harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sebesar 114 persen di bulan Oktober 2005. Menurut lembaga keuangan internasional itu, kendati kenaikan harga BBM berpengaruh bagi masyarakat marjinal, jumlah mereka yang terjerembab di bawah garis kemiskinan “hanya” sekitar 5 persen. Hal itu pun, menurut Bank Dunia, telah dapat diatasi dengan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang ditujukan bagi sekitar 30 persen populasi Indonesia, atau sekitar 19,2 juta keluarga miskin dan hampir miskin (poor dan near poor households).
Bertentangan dengan pendapat umum yang menilai bahwa kenaikan harga BBM telah menyebabkan lonjakan angka penduduk miskin, Bank Dunia justru berpendapat bahwa kenaikan harga beras sebesar 33 persen pada periode Februari 2005 – Maret 2006 justru menjadi biang keladinya. Kenaikan harga ini, menurut lembaga anggota Bretton Woods Institutions itu, disebabkan oleh larangan impor beras.
Bank Dunia memakai asumsi yang sederhana dalam analisisnya itu. Menurutnya, porsi pengeluaran keluarga miskin untuk beras mencakup seperempat atau 25 persen dari total pengeluaran. Sementara itu, tiga-perempat dari penduduk Indonesia adalah konsumen bersih (net consumer) dari beras. Artinya, penduduk Indonesia lebih banyak yang membeli daripada memproduksi beras. Sehingga, kenaikan harga beras akan menyebabkan naiknya porsi pengeluaran keluarga miskin dan hal itu, menurut estimasi Bank Dunia, membuat 3,1 juta orang “didorong” masuk ke bawah garis kemiskinan.
Tentu saja, analisis dengan asumsi yang simplistis itu segera menuai kritik. Konsekuensi dari analisis itu tak lain adalah rekomendasi agar pemerintah segera membuka lebar kembali keran impor beras demi menekan laju angka kemiskinan. Padahal, selain pemerintah terikat dengan komitmen untuk mencapai swasembada dan kedaulatan pangan, tentu rupa dan analisis kemiskinan tidak lah sesederhana “resep” Bank Dunia tersebut.
Misalnya, segera mengemuka pertanyaan kritis; apakah yang menjadi penyebab meningkatnya harga beras? Benarkah ia sedemikian signifikannya terhadap laju angka kemiskinan? Sementara pertanyaan terakhir membutuhkan analisis dan studi yang lebih mendalam dan akurat, pertanyaan pertama sesungguhnya dapat segera diraba jawabnya.
Dalam logika teori ekonomi, impor adalah jawaban dari kurangnya produksi domestik secara relatif terhadap permintaan. Sehingga, untuk menjawab permintaan yang berlebih tersebut (excess demand), maka kekurangan produksi nasional dipenuhi oleh impor. Namun demikian, benarkah tingginya harga beras disebabkan semata-mata oleh kekurangan produksi nasional? Padahal, berkali-kali Perum BULOG dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan bahwa produksi beras nasional berada pada tingkat yang cukup untuk memenuhi permintaan domestik, bahkan cukup pula menjadi stok untuk jangka waktu beberapa bulan. Lalu dimanakah letak masalahnya?
Problema utama perberasan nasional terletak pada struktur pasarnya yang dipadati oleh para pemburu rente. Para pedagang antara (middle traders, atau dapat disebut “calo”) yang berada diantara petani produsen dan konsumen akhir (end consumers) telah jamak diketahui menjadi penikmat dari kesenjangan (gap) harga beli dan harga jual beras. Mereka itulah para pemburu rente ekonomi yang jumlahnya tak banyak, akan tetapi memiliki jaringan mafia yang kuat dan melibatkan berbagai pihak berpengaruh. Mereka lah yang selama ini mengatur distribusi beras nasional, sehingga kendati produksi beras nasional dikatakan cukup, namun ternyata terjadi kelangkaan di pasar.
Impor beras tentu menjadi “solusi” yang gampang bagi masalah ini. Dengan impor, maka kuantitas beras yang membanjiri pasar dapat menekan harga. Namun, seperti layaknya berbagai jalan pintas yang bagaikan “obat penghilang rasa sakit” semata, ia tak menjawab persoalan sesungguhnya. Persoalannya, selama persoalan inefisiensi dan pemburuan rente di pasar beras belum dibereskan, maka masalah harga beras tetap akan lestari dan selama itu pula kita akan terus menerus “diharuskan” untuk mengimpor. Akibatnya, akan terjadi disinsentif yang semakin besar bagi produsen, dan produksi beras akan semakin turun. Bila hal itu dilakukan, dapatlah kita segera mengucapkan selamat tinggal bagi komitmen Indonesia untuk swasembada dan kedaulatan pangan.
Pertanyaan selanjutnya, siapakah yang diuntungkan dengan impor beras itu? Mungkin jawaban Bank Dunia adalah konsumen beras di Indonesia yang dapat memperoleh harga lebih murah. Sayangnya, jawaban itu pun adalah jawaban yang simplistis. Yang diuntungkan adalah para pedagang antara di pasar beras internasional, serta industri-industri raksasa pertanian di negara-negara maju, seperti Monsanto.
Hakikatnya menjadi ironis. Alih-alih menurunkan kemiskinan, impor beras hanya akan memindahkan rente ekonomi dari pemburu rente lokal kepada pemburu rente internasional dan korporasi agrikultur internasional. Sungguh menyedihkan bila pemerintah kita membeo pada rekomendasi Bank Dunia tersebut.
Martin Manurung