Politik Etis Kapitalisme

Print Friendly, PDF & Email

Seperti kawasan Indonesia timur lainnya, wilayah itu menyuguhkan pesona alam. Dulu, gugusan pulau itu dikenal sebagai penghasil rempah-rempah terbesar di dunia. Tetapi, indahnya kepulauan berubah menjadi kepedihan saat memasuki pedalaman. Masyarakatnya melarat. Infrastruktur pas-pasan. Sarana-prasarana pendidikan dan kesehatan terbatas. Air bersih tak mudah didapat.

Padahal, di sana banyak area pertambangan. Di Halmahera Utara, PT NHM mengelola tambang emas, korporasi multinasional (MNC’s) asal Australia. Ironisnya, masyarakat hidup mengenaskan. Pendidikan memprihatinkan. Pendapatan nelayan berkurang. Hasil kopra, pala, dan cengkeh menurun. Banyak masyarakat menjadi penambang ilegal, risikonya nyawa melayang di ujung senapan aparat keamanan.

Bagi masyarakat, kekayaan alam justru membawa kutukan (resource curse). Di balik kelimpahan, tersimpan kesengsaraan.

Penopang hidup rakyat dirampas kontrak karya (contract of work) antara korporasi dan pemerintah pusat. Impitan struktural dan ketidakadilan membuat masyarakat berontak merebut hak dan tanahnya kembali.

Politik balas budi

Bagi pemerintah pusat dan daerah, menemukan kekayaan alam ibarat mendapat durian runtuh, diharapkan mendongkrak pendapatan negara melalui penerimaan royalti dan pajak. Menghadapi tuntutan rakyat, pemerintah maupun korporasi tak pernah kehilangan akal, termasuk lahirnya tren baru, desain model politik etis berupa corporate social responsibility (CSR).

Secara historis, politik etis lahir sebagai kritik atas politik tanam paksa. Pemerintah kolonial bertanggung jawab atas kesejahteraan pribumi. Gagasan Pieter Brooshooft dan C van Deventer membuka mata Belanda untuk memerhatikan nasib pribumi. Utang budi (een eerschuld) dan panggilan moral dituangkan dalam politik etis, terangkum dalam Trias Politika meliputi irigasi, emigrasi, dan edukasi.

Memang tak banyak kaum terpelajar yang dihasilkan. Tetapi, muncul kesadaran politik dan nasionalisme. Politik etis membuka kesadaran semangat kebangsaan sehingga lahir pergerakan seperti Budi Utomo. Lahir tokoh Hatta dan Suwardi Suryaningrat dari kelas menengah.

Sebagai model baru balas budi, CSR diyakini sebagai ekspresi kewajiban perusahaan yang peka terhadap stakeholder di sekitar lokasi bisnis. CSR merupakan inisiatif dan aktivitas sosial sebagai wujud komitmen dan tanggung jawab sosial perusahaan (Kotler and Lee, 2005). CSR selalu dikaitkan prinsip Sustainable Development.

Publik skeptis terhadap CSR. Tanggung jawab sosial korporasi dianggap akal-akalan. Seperti politik etis, CSR lahir karena tuntutan zaman. Jika tidak dipenuhi, dapat menimbulkan hal-hal tak diinginkan.

Uniknya, gaung CSR menggema pascareformasi 1998. Mengapa? Ini terjadi karena pada masa Soeharto, situasi dan kondisi terkendali. Stabilitas politik terjaga. Jadi, program CSR menjadi tameng guna melindungi kepentingan perusahaan. Dengan itu, ia bisa menunjukkan telah memenuhi aturan, melakukan tanggung jawab. Alhasil, CSR digunakan agar investasi perusahaan tetap dalam kondisi aman.

Tidak mudah percaya etika korporasi atau melihat kapitalisme berwajah humanis (capitalism with a heart). Mustahil ada investor mau merugi. Prinsip dagang, maksimalisasi profit adalah tujuan utama korporasi. Karena penguasa modalnya perusahaan asing, keuntungannya pun kembali ke pemilik modal.

Kepentingan jangka pendek

Hingga kini, nasib korban lumpur panas Sidoarjo tidak jelas. Sebagai etika korporasi, Lapindo memberi ganti rugi berupa uang. Ini merupakan solusi jangka pendek. Tanggung jawab korporasi seharusnya ditekankan pada hak dasar hidup (livehood sustainable), yakni sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan.

Berakhirnya kegiatan pertambangan atau kontrak karya tak lepas dari masalah. Purnatambang, tanah dikembalikan kepada negara. Tetapi, apakah kondisi kesuburan tanah masih seperti semula dan dapat digunakan masyarakat dengan baik? Seusai penambangan nikel di Pulau Gebe, Halmahera Tengah, yang dikelola PT Antam, tanah dikembalikan dalam kondisi rusak berat. Padahal, masyarakat membutuhkan keberlangsungan hidup secara sosial dan ekonomi di saat Pulau Gebe tanpa tambang nikel.

Umumnya, keberadaan MNC’s di sektor pertambangan merusak sumber mata pencarian rakyat. Masyarakat lokal yang sebagian besar petani kehilangan tanahnya. Mereka tak bisa lagi bercocok tanam, lahan menjadi lokasi tambang, perkantoran, lapangan golf, atau bandara. Pascatambang, saat korporasi hengkang, masyarakat bingung bagaimana harus melanjutkan hidup.

Kontrak karya pertambangan hanya menguntungkan korporasi internasional. Tidak sebanding antara yang didapat dari kontrak dan rusaknya lingkungan, areal perkebunan dan pertanian, basis kehidupan rakyat. Tidak ternilai rusaknya tatanan adat setempat. Belum lagi potensi konflik, baik horizontal maupun vertikal, yang ditimbulkan.

Amat bijak jika kita membangun optimisme, berupaya bisa mengolah kekayaan alam sendiri, guna kepentingan bangsa. Kata Bung Karno, “Biarkan kekayaan alam itu di dalam tanah, tunggu sampai anak bangsa mampu mengolah sendiri.” Jangan sampai kita menjadi budak kepentingan modal asing, menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa.

Imam Cahyono

Penulis adalah seorang peneliti, Sedang Riset Eksistensi MNC’s di Indonesia.

Artikel ini sebelumnya dimuat di Kompas, Kamis, 26 Oktober 2006.

 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.