““They got together to fight back against someone far stronger than themselves. Have you ever done something like that?” (An Echo of Heaven, Kenzaburo Oe).)
DARI sebuah kamar hotel, saya melihat langit Tokyo. Putih bersih. Pohon-pohon hijau rimbun berjajar di tepi jalan, memayungi trotoar. Tak ada timbunan sampah atau bau busuk dari saluran limbah. Angka kejahatan rendah. Warga disiplin. Serba teratur. Segerombolan gagak hinggap di sejumlah dahan pohon. Bulu-bulu hitam pekat, sepasang mata kecil tajam, dan kaokan serak. Saya percaya gagak adalah simbol kematian. Dan kebetulan, angka bunuh diri di Jepang termasuk yang tertinggi di dunia.
Bunuh diri terjadi karena persaingan ketat di tempat kerja, tuntutan terhadap diri-sendiri yang terlalu tinggi, dan masalah harga diri. Tapi di Indonesia dewasa ini muncul fakta yang mengejutkan tentang perilaku bunuh diri. Berkali-kali surat kabar serta televisi memberitakan kasus bunuh diri anak-anak usia sekolah dasar. Mereka terdorong menggantung diri atau minum racun serangga, karena malu tak mampu melunasi uang sekolah. Kemiskinan telah memaksa anak-anak menempuh jalan pintas untuk mengakhiri penderitaan mereka. Kemakmuran dan kemiskinan sama-sama punya sisi gelap.
Suatu malam menjelang pukul sepuluh, di depan pertokoan di daerah Minato, saya berpapasan dengan dua pria paruh baya yang berjalan sempoyongan sambil saling merangkul. Mereka menjinjing tas kantor dan mengenakan setelan jas lengkap. Mereka mabuk, menyanyi-nyanyi, tertawa-tawa. Kepedihan, rasa bahagia, dan harapan dibagi dengan bermacam cara agar kita bisa bertahan.
Dulu saya menganggap bunuh diri adalah tradisi orang Jepang, sederajat upacara minum teh atau perayaan hari besar keagamaan. Islam, agama saya, melarang orang bunuh diri. Arwah orang yang bunuh diri ditolak langit dan bumi, terus mengelana sampai dunia berakhir. Waktu kecil saya berpikir betapa buruk nasib orang-orang Jepang, karena arwah mereka tak akan pernah istirahat. Namun, dalam tiga tahun terakhir, sejumlah orang telah meledakkan bom bunuh diri di Bali maupun Jakarta dan mengatasnamakan Islam. Alasannya, jihad. Mereka membunuh ratusan orang, agar bisa masuk surga.
Dua dari tiga sastrawan Jepang yang saya kagumi mati bunuh diri. Setelah merasa gagasan patriotismenya gagal memperoleh dukungan, Yukio Mishima bunuh diri pada 1970. Pertama-tama ia merobek perutnya dengan tanto (sejenis pedang pendek) lalu seseorang yang disebut khaisakunin membantu memenggal kepalanya. Ritual seppuku itu dilaksanakan Mishima di markas Kementerian Pertahanan di Tokyo. Ia memuja semangat berani mati para samurai masa lalu. Mishima bahkan membentuk sebuah organisasi yang berupaya mengembalikan kejayaan para samurai dan keagungan kaisar. Kematiannya juga dinilai sebagai bentuk protes terakhir terhadap Westernisasi dan kelemahan Jepang.
Dua tahun sesudah kematian Mishima, Yasunari Kawabata bunuh diri dengan menghirup gas. Secara kebetulan, mereka berteman baik.
Kawabata adalah sastrawan Jepang yang paling mempengaruhi saya. Ia penulis Jepang pertama yang meraih hadiah Nobel di bidang sastra. Ketika duduk di sekolah menengah, saya membaca hampir seluruh novel Kawabata yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Gaya bertuturnya halus, tenang, meski mengurai kecamuk perasaan serta kerumitan watak serta hubungan manusia. Saya menyukai karya-karyanya, karena unhappy ending. Ada pertanyaan-pertanyaan yang terus mengintai di benak saya, seiring rasa haru.
Saya belajar tentang cinta dari Penari dari Izu, karya Kawabata pada 1925. Novelet ini mengisahkan cinta pada pandangan pertama. Cerita dibuka pertemuan seorang pelajar dan serombongan penari. Mereka ingin menyeberang sungai. Mereka menumpang perahu yang sama. Di tengah perjalanan, terjalin dialog antara si pelajar dengan penari termuda. Keindahan dari hal-hal kecil dan remeh-temeh mulai tampak, karena ruang yang sempit memaksa perhatian orang lebih terpusat. Perhatian pelajar itu tertumpu pada gadis penari. Mereka semakin akrab. Namun, setelah sampai di tempat tujuan, dua sejoli ini pun berpisah. Antiklimaks. Perahu menjadi lambang dunia yang fana, ada awal dan ada akhir. Keabadian hanya tersembunyi dalam hati; tempat yang aman untuk mengenang saat gembira maupun kecewa.
Saya terkesan pada Keindahan dan Kepiluan, Daerah Salju, Rumah Perawan, dan sejumlah karya lain yang ditulis Kawabata, terpukau pada nilai tragedi dalam sejumlah karyanya, bahwa kebahagiaan manusia terletak pada hal-hal yang sebentar, semu, dan kesempurnaan hidup justru terkandung di bagiannya yang cacat. Apakah ini imbas dari hidup Kawabata yang yatim piatu sejak kecil? Sama seperti Mishima, ia juga mendukung politik sayap kanan di Jepang. Bedanya, Kawabata menempuh bunuh diri cara praktis. Seorang wartawan surat kabar Jakarta pernah mewawancarai saya, “Kamu antimiliterisme, antifasisme… tapi mengapa menyukai karya-karya Mishima?” Saya membaca novel-novel Mishima dalam usia remaja, jauh sebelum saya menjadi penentang fasisme atau militerisme.
Belum lama ini saya membaca buku tentang penari dan koreografer Kazuo Ohno. Kazuo Ohno’s World; from Without and Within memuat ulasan karyanya. Ohno mengenal Mishima secara pribadi. Mishima selalu hadir
dalam setiap pertunjukannya serta memberi komentar-komentar berharga. Ohno masih ingat saat Mishima mengundang ia dan putranya untuk duduk-duduk di sebuah lounge dekat Ginza. Ohno mengandaikan ia menyelenggarakan workshop dengan melibatkan Mishima. Ia membayangkan Mishima menempa pedang baja di pembakaran hingga terdengar irama ‘ton-ton-ton’, lalu
Tatsumi Hijikata—tokoh butoh yang juga sahabat Ohno—menyemangati dengan teriakan antusias ‘hey-hey-hey’ di tengah irama pukulan yang berulang-ulang.
Meskipun saya tidak bergelut di dunia tari serta seni pertunjukan, Kazuo Ohno sangat berjasa bagi saya. Ia menunjukkan cara lain untuk memaknai pengalaman, mengamati apa yang luput, memberi harga pada apa yang terlihat biasa sebagai ladang ilham. Ia menemukan jiwa tiap gerak tarinya melalui pengalaman. Ia membandingkan pertumbuhan atau perkembangan sebatang pohon dengan tubuh manusia. Jari-jari kita berhenti berkembang setelah waktu tertentu, sedang pohon terus bertunas, berbunga, gugur, tumbuh lagi dan berkembang. Baginya, penonton tidak butuh melihat gerak, tapi
merasakan adanya perkembangan atau pertumbuhan dalam tarian.
Sosok ibu juga sangat berpengaruh bagi Ohno. Ia lahir dari keluarga nelayan dan ayahnya jarang hadir di rumah. Setelah berbulan-bulan di laut, ayah Ohno menghibur diri di rumah pelacuran. Ibu Ohno banyak menghabiskan waktu dengan anak-anaknya serta mendongeng untuk mereka. Ohno terpukau pada ekspresi ibunya. Ia menyaksikan ibunya ‘menjadi’ hantu putri berkimono panjang atau penyihir, tapi sekaligus juga pencerita. Ohno gemetar dan takut ‘melihat’ hantu, ‘mendengar’ suaranya. Pengalaman ini mengilhami pemahaman Ohno tentang tari. Menarilah dengan jiwa danjiwa tarian terletak pada pengalaman hidup, bukan teknik. Saya percaya bahwa dalam menulis pun demikian. Pengalaman yang kaya memberi ‘kedalaman’ dalam karya tiap pengarang.
Kenzaburo Oe, peraih Nobel untuk bidang sastra pada 1994, adalah orang yang paling ingin saya temui di Tokyo. Oe memiliki putra yang mengidap cacat otak (brain damage), yang kemudian menjadi komponis berkat kegigihan serta ketabahan Oe serta istri melatih anak mereka berkomunikasi. Keadaan Hikari mengilhami Oe menulis novel berbahasa Inggrisnya yang pertama, A Personal Matter (1968). Oe tentu ingin bayinya lahir sempurna. Masa-masa penolakan sampai kesadaran untuk menerima serta membantu Hikari keluar dari kebisuan itulah yang tercermin dalam karya sang maestro.
Oe lahir di pulau terkecil di kepulauan Jepang dan tumbuh di tengah kecamuk Perang Dunia II. Ia menyebut dirinya sebagai penulis dari ‘pinggiran’ dan bangga dengan julukan ini.
Menurut Oe, kesusastraan harus ditulis dari pinggiran menuju pusat. “Di pinggiran, kita menjadi kritis terhadap pusat. Manusia yang ada di pusat tak memiliki apapun untuk ditulis. Dari pinggiran kita dapat menulis cerita tentang manusia dan cerita ini bisa mengungkapkan seperti apa kemanusiaan yang ada di pusat,” katanya.
Pada 1960, Oe bergabung dengan gerakan ‘Kiri Baru’. Ia menentang penggunaan senjata nuklir, mengeritik sistem kekaisaran dan fanatisme, dan merupakan juru bicara terpenting dari generasi pascaperang. Karya-karyanya sarat dengan kritik sosial. Berbeda dengan Mishima, Oe menolak ide-ide nasionalisme dan fasisme.
Oe kecewa menyaksikan bangkitnya kekuatan anti-demokrasi di Jepang dewasa ini. Lebih dari 50 tahun setelah akhir Perang Dunia II, ia menganggap Jepang telah gagal mencipta manusia dan negeri yang demokratis. Atmofsir nasionalisme sempit kembali lagi.
“Saya ingin mengeritik kecenderungan ini dan ingin melakukan apa saja untuk mencegah perkembangan fasisme di masyarakat Jepang,” kata Oe.
Nasionalisme sempit juga tumbuh di Indonesia. Konsep pembangunan dirancang dengan cara Jawa (dalam pengertian politik, bukan etnik) dan wilayah-wilayah dipaksa mengikutinya. Tak jarang dengan kekerasan. Akibatnya, Papua ingin merdeka. Aceh merasa masih dijajah. Minahasa dimusnahkan ladang cengkehnya. Di masa Suharto bahkan, tentara menangkap ibu-ibu di Lombok, Nusa Tenggara Barat, untuk dipaksa ikut Keluarga Berencana. Sikap anti asing juga tumbuh akibat nasionalisme ini. Bantuan asing untuk Aceh pasca tsunami ditolak, padahal wilayah itu sangat membutuhkannya. Protes negara lain terhadap pelanggaran hak asasi di Papua dianggap mencampuri urusan dalam negeri.
Keberagaman pandangan, aliran, dan karya para pengarang serta seniman Jepang itu membantu saya keluar dari rasa putus asa dan rendah diri serta menemukan nilai-nilai baru dalam melihat dunia tempat saya tinggal. Saya tak bisa membayangkan dapat menjadi penulis tanpa membaca karya-karya Mishima, Kawabata, Ryonosuke Akutagawa, atau Natsume Soseki di masa sekolah dulu, di wilayah yang jauh dari pusat kekuasaan dan ekonomi.
Saya jadi teringat rumah keluarga kami di Bangka, di pulau sebelah timur Sumatra. Letaknya menghadap ke laut. Di malam hari debur ombak begitu jelas. Angin kencang rutin datang di musim tertentu, menerbangkan pasir di halaman, merontokkan kelopak-kelopak bougenvil dan mawar, mengungkit-ungkit atap dapur yang terbuat dari seng hingga menimbulkan suara derit yang menakutkan. Berkali-kali saya juga mendengar suara tembakan di tengah malam.
Pada 1977, Operasi Laba-Laba Merah sedang berlangsung. Tentara memburu para penyelundup timah. Seorang penyelundup besar bernama Bong Jung Sen ikut terjaring operasi itu. Ia ditembak mati. Jung Sen memiliki rumah besar yang sampai sekarang masih terpelihara. Rumah tersebut diambil pemerintah, lalu dijual pada perorangan. Ada terowongan bawah tanah sepanjang 200 meter di rumah tersebut, yang berujung di tepi sebuah sungai, jalan untuk Jung Sen melarikan diri.
Bangka adalah pulau penghasil timah terbesar di Indonesia. Penambangan di pulau itu sudah dimulai pada akhir abad ke-17. Kesultanan Palembang mulanya melakukan perjanjian dengan maskapai dagang Belanda, Vereneging Ost Indische Compagnie, pada 1685 untuk
membuka tambang-tambang timah di Bangka. Namun, penambangan yang intensif dilaksanakan sejak 1710. Para penambang dari Tiongkok ikut terlibat lima tahun sesudahnya, pada masa Sultan Mahmud Badaruddin I. Ketika kekuasaan Belanda makin menguat, kepemilikan tambang beralih tangan. Pemerintah Hindia Belanda mengelola tambang-tambang itu, menggantikan kongsi Tionghoa.
Ketika kemerdekaan Indonesia diakui dunia pada 1949, maka hak penuh atas tambang-tambang timah juga jatuh ke tangan pemerintah Indonesia. Perseroan terbatas (PT) dibentuk untuk mengeruk timah di Bangka, Belitung, dan Singkep. Namun, setelah masa jaya yang cukup panjang, timah mengalami masa suram.
PT Timah mulai dilanda krisis pada 1980-an dan mencapai puncak di awal 1990-an. Penyebabnya tidak tunggal. Manajemen yang salah urus dan korupsi sering disebut-sebut. Di lain pihak, harga timah dunia terus merosot. Kuntoro Mangkusubroto, seorang ekonom didikan Universitas Stanford, ditunjuk jadi direktur utama di masa sulit itu. Ia segera merampingkan perusahaan. Mangkusubroto belakangan sempat menjabat menteri pertambangan dan kini mengepalai Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh dan Kepulauan Nias.
Di Bangka, ia memangkas 20 ribu pegawai jadi tinggal 6.000 orang. Perusahaan memang lebih ramping. Negara Indonesia diuntungkan. Tapi perekonomian di Pulau Bangka ambruk. Mayoritas penghidupan Bangka terkait dengan PT Timah. Maka banyak anak putus kuliah, karena orangtua mereka kehilangan pekerjaan. Para pengangguran juga frustasi lantaran minimnya lapangan kerja baru. Uang pesangon lama-kelamaan habis untuk kebutuhan hidup.
Tindakan Mangkusubroto juga tak membuat PT Timah lebih baik hari ini. Perusahaan itu sekarat. Manipulasi dan korupsi terus berlanjut.
Rumah kami di Bangka pun tinggal kenangan. Namun, saya masih ingat suatu saat berdiri di muka jendela paviliunnya, memandang ke arah laut, menginginkan dunia yang lain yang berbeda dari apa yang saya alami di pulau itu. Tapi saya juga tak paham tempat mana yang saya inginkan. Saya sering jemu, sampai kemudian datang sebuah kapal biru.
DALAM album foto keluarga kami tersimpan sehelai potret saya. Potret itu pemberian seorang pria Jepang yang usianya mungkin tiga atau empat kali lipat usia saya waktu itu. Ia memotret saya di pantai lebih dari dua puluh tahun lalu.
Kami tak sengaja bertemu. Rumah saya berjarak sekitar 100 meter dari pantai dan hampir setiap hari saya bermain di situ, termasuk pada hari ketika sebuah kapal keruk warna biru yang bertolak dari galangan kapal di Jepang telah datang. Orang berduyun-duyun ke pantai untuk melihatnya, termasuk saya. Ia, si pria Jepang, beberapa teman senegerinya, dan serombongan orang Bangka ikut dalam kapal tadi. Saya menduga ia ahli atau operator mesin kapal.
Namanya, Makagawa. Apakah itu nama keluarga atau nama kecilnya? Saya tidak tahu. Padahal, setahu saya orang Jepang selalu punya nama keluarga, seperti orang Manado atau Ambon di Indonesia. Tapi saya jadi teringat Jenderal Tojo yang terkenal dalam Perang Pasifik. Dalam buku sejarah di sekolah saya, namanya cuma tertulis ‘Tojo’ tanpa embel-embel nama lain di depan atau di belakang. Saya pikir, Makagawa-san juga begitu.
Sejak mengenal Makagawa-san, saya jadi tertarik belajar Bahasa Jepang. Ayah membelikan saya kamus kantong murah. Kata-kata atau kalimat di dalamnya tidak ditulis dengan huruf kanji atau katakana, melainkan dengan huruf Latin. Tiap selesai menghapal kata atau kalimat baru saya berharap bertemu Makagawa-san keesokan harinya. Ia biasa melewati jalan di samping rumah saya saat pulang dan pergi bekerja, kemudian saya meneriakkan kata atau kalimat tadi dengan lantang dari balik pagar. Ia cuma senyum-senyum. Kalau dipikir-pikir sekarang, perbuatan saya memang memalukan. Ah, anak kecil gila, pikirnya, barangkali. Ternyata apa yang tertulis di kamus belum tentu benar untuk diucapkan. Pelafalan saya sering keliru serta menimbulkan kekacauan makna. Kadangkala kakek saya yang pernah mengalami masa pendudukan Jepang bersedia mengingat-ingat kembali sejumlah kata dan membantu saya merangkai kalimat. Tapi campur tangan kakek tak berbuah banyak. Saya dan kakek sama-sama frustasi. Kakek cuma bisa mengingat dengan jelas angka satu sampai sepuluh saja. Itupun lantaran dulu ia ikut baris-berbaris. It, ngi, sam, si, go, ruk, sit, hat, fu, ju… Bagaimana menuliskannya dalam kanji, saya pun tak tahu. Hanya dua kalimat yang masih saya ingat sampai hari ini: Masta Nipponjin ka? (Tuan orang Jepangkah?) dan Masta, Indonesia onna joto joto na, Nippon onna joto joto nai (Tuan, orang Indonesia cakep-cakep, orang Jepang jelek-jelek).
Sebulan kemudian Makagawa-san dan teman-teman pulang ke negerinya. Tugas mereka untuk membagi ilmu tentang seluk-beluk kapal itu pada orang-orang Bangka selesai. Kata ayah, Jepang mempunyai teknologi tinggi.
Saya tak sempat menyaksikan Makagawa-san pergi. Agak sedih juga. Teman sekolah saya, yang ayahnya bersahabat dengan Makagawa-san berkata, “Kate e Mister Makagawa tu tinggal di Yokohama. (Katanya Mister Makagawa tinggal di Yokohama)”
Yokohama? Nama-nama kota di Jepang yang akrab di telinga saya cuma Hiroshima dan Nagasaki, dua kota yang dibom Amerika.
SEHARI sebelum meninggalkan Tokyo, saya pergi ke Asakusa. Di Asakusa, alam baka dan fana hanya dipisahkan sebuah pintu gerbang. Pintu masuk utama ke Asakusa Kannon Temple itu bernama Kaminarimon atau Gerbang Dewa Guntur. Toko-toko cendera mata berderet di kanan kiri jalan masuk kuil. Ranting-ranting sakura dengan bunga-bunganya yang mekar merah jambu tersemat di atap-atap toko itu.
Asap putih terlihat meliuk-liuk di udara. Orang-orang berkerumun di sekeliling tempat pembakaran dupa, mencoba menangkap liukan asap dengan tangan-tangan mereka dan mengusapkannya ke sekujur tubuh. Asap wangi itu dipercaya menyembuhkan dan mencegah penyakit. Saya ikut meniru tingkah mereka dengan canggung. Dua teman dari Filipina, Christine Bellen dan Francis Gealogo, dan seorang dari Burma, Thengi, juga melakukan hal serupa. Mereka tampak khusyuk melakukan ritual itu. Thengi sebelumnya bahkan pergi ke sebuah kuil di Kamakura untuk berdoa. Ia begitu religius, sama seperti Christine, yang selalu berdoa pagi dengan seuntai rosario di tangannya.
Kami kemudian berjalan menuju kuil utama, mendaki anak-anak tangga. Dua pendeta melayani peziarah yang hendak membeli lilin, miniatur patung Budha, dan berbagai perlengkapan ibadah di teras kuil. Thengi membeli sebatang lilin kecil dan menyalakannya. Saya mengintip ke dalam kuil melalui jeruji jendela. Interiornya didominasi warna merah dan kuning emas. Para penziarah berdoa di depan arca.
Kuil ini adalah kompleks kuil Budha tertua di Tokyo. Menurut legenda, pada abad ketujuh, dua orang nelayan menemukan arca Dewi Belas Kasih yang terjaring dalam pukat mereka. Mereka pun membangun kuil untuk meletakkan sang dewi.
Sejak pertama kali menginjakkan kaki di Tokyo, saya sudah bertemu kuil, yaitu Kuil Sojo-ji yang dikenal sebagai kuil untuk anak-anak yang tak pernah dilahirkan atau korban aborsi. Sojo-ji tak jauh dari tempat saya menginap. Saya melewatinya saat menuju atau meninggalkan stasiun kereta Daimon. Tak jauh dari situ juga ada taman botani.
Ratusan patung tanah liat berwujud bayi menghias bagian muka Kuil Sojo-ji. Patung-patung tersebut mengenakan topi rajutan merah dan kuning. Tiap patung didampingi sebuah kincir plastik. Baling-baling kincir berputar-putar saat dilanda angin. Ketika datang ke sana, Christine menunjuk ke sebuah patung coklat muda. “Lihat, patung baru,” katanya. Patung-patung lama berwarna lebih gelap. “Ada satu lagi anak yang gagal dilahirkan,” pikir saya, sedih. Tapi saya kagum pada para orangtua yang mengenang kekeliruan mereka dan berdoa di kuil ini. Saya juga kagum pada kepercayaan orang Jepang yang menghargai kejujuran serta penyesalan. Hidup manusia memang tidak hitam putih.
Kartu-kartu ungkapan hati para peziarah tertempel di sekeping papan. Mereka berasal dari seluruh dunia. Kartu-kartu ditulis dalam Bahasa Inggris, juga Bahasa Jepang. Ada sehelai kartu yang menggugah hati saya. Seorang ibu menulis surat untuk anaknya yang sudah meninggal dunia. Bunyinya: Anakku, ini tahun kesembilan kamu pergi. Maafkan Ibu, Nak. Ibu akan membuatkanmu baju yang baru…***
*)Linda Christanty lahir di Pulau Bangka. Ia adalah penulis dan wartawan. Kini bekerja untuk Yayasan Pantau di Aceh
Naskah ini pernah dipublikasikan sangat terbatas di kalangan Japan Foundation.