Inilah pendapat yang dilontarkan sebuah koalisi pejabat dan pengusaha China, “Kalau China membiarkan perusahaan multinasional mengadakan merjer dan akuisisi seenaknya, China hanya akan menjadi pekerja dalam sebuah global supply chain.”
Li Deshui, seorang ahli statistik, mengatakan hal itu kepada China Daily Business Weekly. Belum pernah di China terdengar pendapat seperti ini, mengingat China selalu dipandang sebagai negara yang ramah kepada investor. Tetapi, debat ini sebenarnya telah memanas sejak tahun lalu ketika beberapa koran mengkritik penjualan saham bank-bank milik negara kepada bank-bank asing (antara lain dari Amerika Serikat/AS). Ada yang mengatakan harganya terlalu rendah, ada yang mengatakan bank asing itu akan menguasai China. Maka, Federasi Industri dan Perdagangan Seluruh China mengeluarkan seruan agar melindungi “keamanan ekonomi nasional”.
Tak ada lagi nasionalisme
Mungkin sekali cara berpikir ini mencerminkan apa yang terjadi sebaliknya, yaitu ketika perusahaan minyak terbesar di China, CNOOC, Agustus 2005, gagal membeli perusahaan minyak di AS, UNOCAL. Mula-mula Presiden Bush, tetapi lalu Kongres AS beramai-ramai menentang penjualan itu meski tawaran yang diajukan CNOOC jauh lebih tinggi dari pesaingnya.
Alasannya, ketakutan bahwa pasokan minyak AS akan dikuasai perusahaan asing. Sesederhana itu. Betapapun diyakinkan bahwa dalam prinsip perdagangan bebas tidak ada prinsip nasionalisme, tetap saja negara terbesar pelopor dan pembela perdagangan bebas berpendapat seperti itu.
AS tidak hanya menentang perusahaan dari China, tetapi juga perusahaan yang bermarkas di Dubai. Sudah diputuskan perusahaan ini akan mengelola pelabuhan-pelabuhan di Amerika. Segera terjadi demonstrasi melambai-lambaikan poster “Protect the Safety of Our Ports”. Kongres AS tidak berpangku tangan dan langsung mendukungnya. Argumen yang dikemukakan adalah bahwa keamanan AS akan terancam jika pelabuhan-pelabuhan dikelola oleh perusahaan yang bermarkas di Timur Tengah.
Di Asia Tenggara, Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra terjungkal dari kekuasaannya gara-gara kasus penjualan Shin Corp, perusahaan telekomunikasi raksasa di Thailand. Rakyat Thailand menolak penjualan perusahaan itu kepada Temasek, perusahaan milik Pemerintah Singapura. Dilaporkan, para demonstran mendatangi Kedutaan Besar Singapura dan menuntut pembatalan transaksi itu. Thaksin mencoba untuk membelanya, tetapi dia malah terseret dalam pusaran itu sekaligus dituduh ikut memperlancar penjualan Shin Corp kepada Temasek. Thaksin tidak menyangka bahwa hal ini dapat menyebabkan dia terjungkal dari puncak kepemimpinan Thailand.
Tetapi, persoalan seperti ini juga melanda lebih banyak negara lagi. Di Eropa Barat, tempat gagasan perdagangan bebas juga dipupuk, dapat disaksikan gerakan yang sama. Sebagaimana dilaporkan Joergen Oerstroem Moeller dari Copenhagen Business School, beberapa perundingan bertabrakan dengan pemerintahan di Eropa: rencana perusahaan Italia ENEL untuk membeli perusahaan Perancis, Suez; rencana merjer perusahaan raksasa Jerman di bidang energi, E.ON, dan perusahaan Spanyol Endesa; usaha pabrik baja raksasa Mittal untuk membeli perusahaan Arcelor yang bermarkas di Luksemburg. Deretan ini masih bisa diperpanjang lagi dengan kebuntuan lain: penggabungan dua bank, Unicredito dari Italia dengan HVB dari Jerman, dan merjer antara bank ABN Amro milik Belanda dan bank Antonveneta milik Italia. Di Perancis musim panas tahun lalu terjadi penolakan terhadap rencana Pepsi membeli perusahaan makanan raksasa Perancis, Danone.
Pembelokan tajam
Nasionalisme telah muncul kembali? Nasionalisme diam-diam telah merayap keluar dari persembunyiannya. Pada saat ini jelas ada sebuah pembelokan tajam dari yang diramalkan Thomas Friedman. Dalam bukunya yang sering dikutip banyak orang, The Lexus and Olive Tree (1999), dia mengatakan bahwa “Lexus” telah mengalahkan “Olive Tree”, artinya pada zaman globalisasi sistem produksi modern yang lintas tapal batas berjalan mengikuti irama efisiensi telah mengalahkan identitas yang melekat pada Tanah Air, suku, atau agama. Baginya, pertengkaran memperebutkan pohon zaitun yang dipakai sebagai simbol jati diri yang berakar pada tradisi sudah ketinggalan zaman. Sebaliknya adalah “Lexus”, mobil buatan Jepang, simbol pelaku-pelaku pasar yang anonim, transnasional, dan homogen, melibas identitas lokal, menghancurkan nasionalisme dan sejenisnya.
Namun, sekarang lain. Setelah dipaksa menelan kepahitan demi kepahitan, orang di seluruh dunia kini sadar bahwa globalisasi kapital dapat menggagalkan kepentingan nasional. Perusahaan multinasional yang diiklankan telah melepaskan nasionalismenya dan bisa membawa kesejahteraan bagi host country ternyata hanya iklan kosong. Perusahaan-perusahaan itu tetap menggotong keuntungan mereka ke home country mereka.
Edward Luttwak dalam bukunya Turbo Capitalism (1999) menjelaskan bahwa perusahaan-perusahaan itu sebenarnya adalah bala tentara baru bagi negara zaman sekarang untuk menaklukkan negara yang lain yang lengah dan mudah dibodohi. Dia menolak istilah “geo-politik” dan menggantinya menjadi “geo-ekonomi”. Istilah ini untuk menggambarkan bahwa peperangan kini bukan memperebutkan wilayah demi keunggulan militer melainkan memperebutkan wilayah demi keuntungan ekonomi. Dengan kata lain, negara plus bisnis melawan negara plus bisnis dengan hasil akhir bagi negara nasional.
Bandingkan dengan apa yang terjadi di Indonesia ketika menghadapi kasus Blok Cepu, Newmont, Freeport, dan perusahaan multinasional lainnya. Ketika dari Amerika, Eropa, hingga China, para menteri dan politisi tetap mempertahankan apa yang disebut kepentingan nasional (national interest) dan nasionalisme, Indonesia malah begitu gagah berani mengatakan bahwa semua itu omong kosong. Apakah Indonesia sebuah kekecualian?
I Wibowo
Kompas, 24 April 2006