PERNYATAAN mantan Presiden Abdurrahman Wahid yang dimuat Pembaruan (13 Maret), perihal ketiadaan konsep pemerintah dalam bidang industri, sungguh tepat dalam menggambarkan situasi saat ini. Belum lama berselang, kita juga mendengar keluhan dari berbagai asosiasi industri yang mengatakan bahwa pemerintah tidak memiliki strategi industri yang jelas sehingga perekonomian dan pembangunan bergerak tanpa arah dan prioritas.
Neoliberal
Kalangan pro-neoliberalisme mungkin melihat keprihatinan tersebut di atas berlebihan. Bagi kalangan ini, negara memang tidak seharusnya, atau jangan, berperan dalam mengarahkan pembangunan industri (industrial development). Apa sebab? Biarkan mekanisme pasar yang mengarahkan dan mengatur kebijakan industri. Kebijakan industri dari negara, apalagi proteksi, dipandang akan mendistorsi pasar dan alokasi sumber daya (resources), serta menyebabkan inefisiensi dalam perekonomian. Apalagi, aparat pemerintah pun dinilai cenderung korup dan tidak cukup memiliki kompetensi. Kalau pun negara hendak menggunakan kebijakan industri, ia haruslah bersifat kebijakan umum (general industrial policy) dan tidak selektif (selective industrial policy) mengutamakan dan memberi dukungan pada salah satu sektor unggulan. Sebab, kebijakan ini, sekali lagi, dinilai akan mengganggu alokasi sumber daya dan menyebabkan inefisiensi.
Bukankah paradigma ini yang kini mendominasi arah kebijakan perekonomian dan pembangunan kita? Biarlah pembangunan industri semata-mata ditentukan oleh pasar. Membanjirnya barang-barang produksi China di Indonesia adalah salah satu konsekuensi dari mekanisme “pasar bebas”. Hal itu disebabkan China dapat memproduksi dengan lebih efisien dari Indonesia, upah buruhnya murah, tak banyak lika-liku proteksi lingkungan, wajar saja produknya membanjiri pasar domestik Indonesia. Benarkah harus demikian?
“Menendang Tangga”
Sejarah negara-negara industri/maju saat ini justru menunjukkan pengalaman yang berbeda dengan kampanye “pasar bebas” yang kini mereka suarakan dengan lantang. Misalnya, Prancis, Austria, Norwegia dan Finlandia, pasca Perang Dunia II, menempuh kebijakan industrial yang selektif. Kebijakan ini meliputi perencanaan investasi, pengendalian negara atas transaksi keuangan, peran sentral badan-badan usaha milik negara (BUMN), berbagai proteksi perdagangan, dan subsidi industrial untuk memodernisasi perindustrian mereka dan bersaing (serta selanjutnya melampaui) negara-negara maju saat itu, di antaranya Inggris.
Bahkan, kampiun “pasar bebas” Amerika Serikat pun menjalankan kebijakan negara yang cukup sentral ketika ia masih berstatus “negara berkembang” dalam menghadapi kompetisi pasar bebas guna menantang dominasi Inggris di pasar global.
Stiglitz (2005) mencatat bahwa industri telekomunikasi pada awalnya di tahun 1842 dibentuk oleh negara.
Jalur telegraph pertama di Amerika Serikat, yang membentang antara Baltimore dan Washington, dibangun oleh negara. Teknologi internet pun, yang kini berperan besar dalam perekonomian global, diciptakan oleh pemerintah Amerika Serikat.
Industri-industri utama Amerika Serikat di abad ke-19, di antaranya industri agrikultur, mendapat sokongan penuh dari pemerintah Amerika Serikat, bahkan sampai saat ini. Barulah ketika Amerika Serikat telah menjadi kekuatan ekonomi yang dominan pada pasca Perang Dunia II, ia melangkah memasuki rejim perdagangan bebas.
Contoh lain, Inggris pada abad ke-16, menjalankan kebijakan industrial yang selektif dengan memberikan perlakuan istimewa dan proteksi terhadap industri wool yang menjadi andalannya (Chang 2001). Kebijakan industrial yang selektif ini akhirnya mengantarkan Inggris menjadi negara industri wool utama di dunia, dan baru pada abad ke-19, kebijakan proteksionistis itu mulai dilonggarkan dan Inggris mulai meliberalisasi pasarnya.
Berbagai contoh itu menunjukkan bahwa argumentasi “pasar bebas” sebagai satu-satunya jalan menuju industrialisasi-sebagaimana dipercayai oleh kaum neo- liberal-menjadi ahistoris. Tak Heran bila Ha-Joon Chang (2001), ekonom pembangunan dari Universitas Cambridge di Inggris, menyebutkan kampanye “pasar bebas” laksana “menendang tangga” (kicking away the ladder), agar negara-negara berkembang tak bisa memakai tangga itu untuk “mengejar” ketertinggalannya.
Mengapa Gagal?
Sejarah juga mencatat gagalnya kebijakan-kebijakan industri yang selektif di berbagai negara. Di antaranya, kebijakan industri selektif di Indonesia di era Orde Baru, ternyata tidak membawa kita pada akhir cerita yang sukses sebagaimana pengalaman negara-negara seperti disebut di atas.
Kegagalan kebijakan industri selektif lebih banyak disebabkan permasalahan pada implementasinya. Absennya mekanisme yang tepat dalam akuntabilitas, pengawasan kinerja dan manajemen, menjadi penyebab utama dari kegagalan tersebut. Alice Amsden (1989), profesor ekonomi-politik di Massachusetts Institute of Technology (MIT), yang banyak meneliti perihal industrialisasi di Asia, mencatat bahwa keberhasilan kebijakan industri sangat bergantung pada komitmen pemerintah untuk melakukan pemantauan (monitoring) dan penilaian target kinerja.
Ia mencontohkan, BUMN di Korea dan Jepang diharuskan membuktikan bahwa mereka memanfaatkan kebijakan suportif negara untuk meningkatkan produktifitas dan/atau ekspor. Jika mereka gagal membuktikan hal tersebut, maka dukungan negara pada periode berikutnya akan dihapuskan.
Kualitas dan kompetensi aparat pemerintah (birokrasi) pun sangat menentukan bagi keberhasilan kebijakan industri. Peningkatan kualitas dimaksud dilakukan melalui berbagai pelatihan, pembenahan sistem insentif dan reformasi birokrasi (bukan sekadar “debirokratisasi” yang ditujukan untuk memangkas peran pemerintah, melainkan memampukan mereka agar andal menjalankan tugas dan fungsi negara). Selain itu, satu hal yang krusial adalah implementasi demokrasi partisipatoris untuk mengawasi dan mengendalikan perilaku aparat pemerintah.*
Martin Manurung
Suara Pembaruan, 22 Maret 2006.
Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana, School of Development Studies, University of East Anglia (Inggris)