Kredit foto: kompasiana.com
ISU PERBURUHAN kembali menjadi berita hangat. Media Eropa ramai dengan berita perlawanan jutaan rakyat Perancis yang tumpah ruah di jalan menentang pemberlakukan aturan ketenagakerjaan yang baru yang bertajuk contrat première embauche (CPE – The First Employment Contract) atau Kontrak Kerja Tahap Pertama. Alasan utama penolakan rakyat Perancis berangkat dari kekuatiran bahwa aturan tersebut akan mengubah total sistem pasar ketenagakerjaan yang sebelumnya dianggap terlalu ‘rigid’ karena ‘over protective’ terhadap kepentingan buruh. Dengan peraturan baru tersebut, ketenagakerjaan diarahkan menjadi lebih fleksible (labour market flexibility) yang bermakna hilangnya proteksi negara atas kaum buruh. Sebaliknya, tentu keleluasaan bagi pengusaha untuk melakukan pemberhentian (dismissal) khususnya bagi para pekerja yang berusia dibawah 26 tahun, selama dua tahun pertama masa kontrak.
Walaupun gelombang aksi terus menguat, pemerintah Perancis melalui Perdana Menterinya Dominique de Villepin, bersikukuh untuk melaksanakan aturan baru tersebut, dengan dalih menekan angka pengangguran yang saat ini semakin tinggi. Sikap over-confidence pemerintahan sayap kanan ini, sepertinya didasari pertimbangan akan kesuksesan mereka yang telah berhasil mengubah beberapa kebijakan yang dianggap sangat memanjakan kaum buruh pada pemerintahan koalisi kekuatan sayap kiri yang kalah pada pemilu tahun 2001.
Keberhasilan ini bisa dijejaki sejak kekuatan sayap kanan berhasil mengubah aturan tentang dana pensiun pada tahun 2003. Kemudian, hal itu disusul dengan sukses kecil melonggarkan aturan yang mengatur tentang 35 jam kerja seminggu. Peraturan itu sangat di-‘cemburui’ oleh kaum buruh di eropa karena memberi waktu kerja yang lebih pendek bagi buruh di Perancis. BBC, 2005, memberi komentar tentang hal ini sebagai the country’s greatly cherished and much envied 35-hour working week.
Di Indonesia, walaupun dalam kualitas persoalan yang jauh berbeda, ribuan buruh menolak revisi terhadap UU Ketenagakerjaan No 13/2003 (Suara Pembaruan, 23/3/06). UU ini sebenarnya juga berangkat dari akar persoalan yang sama dengan kaum buruh di Perancis, yakni keinginan pemerintah untuk menggolkan desakan dan tuntutan agenda global guna menciptakan pasar tenagakerja yang fleksibel.
Dalam kasus Indonesia, hal ini bisa dicontohkan dari rencana revisi pasal-pasal yang mengatur tentang outsourcing dan Kontrak Kerja Waktu Tertentu yang diusulkan untuk diperbolehkan bagi semua jenis pekerjaan. Pasal ini menjadi hal yang paling krusial dari rencana revisi tersebut. Jika aturan baru ini diberlakukan, maka fleksibilitas bagi pengusaha (employer) untuk melakukan pemecatan, pemindahan, dll., menjadi terbuka karena status buruh kontrak memberi peluang untuk itu (persis seperti semangat the CPE yang coba di-gol-kan pemerintah Perancis). Kedua peraturan itu bertendensi untuk melapangkan jalan neoliberal bagi terwujudnya negara yang mengabdi total pada kepentingan pasar.
Hal yang unik pada kasus Indonesia adalah kebijakan dimaksud merupakan bagian dari kesepakatan yang harus dilaksanakan pemerintah dalam rangka resep economic recovery IMF. Di Perancis, hal itu justru lebih didasari oleh kondisi yang dikatakan oleh Vedi R. Hadiz (2000), sebagai kegagalan konsep welfare state, yang merupakan sejarah terbesar dalam mewujudkan kompromi antara Negara, Kapital dan Buruh di negara maju. Kompromi tersebut tak terelakkan ketika marginalisasi buruh semakin kuat dan kekuatan sosial politik juga terdesak oleh kekuatan modal.
Kendati berbeda konteks, keduanya berangkat dari keyakinan yang sama bahwa intervensi negara dalam lapangan sosial adalah pemborosan, sehingga diperlukan efisiensi yang sepenuhnya diarahkan pada pembentukan Negara yang ‘berjarak’ dengan persoalan sosial. Dalam sektor perburuhan, hal itu diterapkan dengan memangkas proteksi negara terhadap kaum buruh melalui pengurangan dan/atau penghapusan berbagai jaminan sosial, seperti dana pensiun, biaya pesangon, hak cuti, mogok dan segala hal yang dianggap inefficient, demi keyakinan untuk menjaga stabilitas pasar.
Flexibility vs. Job Security
Dalam rangka monitoring program IMF di Indonesia, laporan Board Executive IMF yang dirilis pada tanggal 22 Februari 2006 lalu menyebutkan bahwa ‘pemerintah telah membuat beberapa langkah maju dalam pemberatasan korupsi namun dalam meningkatkan labour market flexibility masih berjalan lamban dari apa yang diharapkan.’ Dari laporan ini, terlihat jelas bagaimana IMF ikut menjadi bagian dari persoalan yang dihadapi kaum buruh di Indonesia saat ini, khususnya yang terkait dengan protes atas rencana revisi Undang-undang Ketenagakerjaan No 13/2003.
Aturan itu memang masih bertalian erat dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 150/2000 yang dianggap sebagai salah satu kemenangan kecil reformasi. Perkembangannya kemudian, Kepmen itu juga menjadi aturan yang paling berdarah dalam sejarah, karena melahirkan silang sengketa panjang antara buruh dan pengusaha karena dituding lebih berpihak kepada buruh dan menafikan kalangan dunia usaha. Dalam sejarahnya, aturan ini beberapa kali direvisi dan pada saat pemberlakuan UU No.23 tahun 2003, beberapa pasalnya terpaksa harus tetap dicantumkan karena desakan kuat kaum buruh ketika itu.
Hal itulah yang oleh IMF dan kalangan pengusaha, dirasakan masih terus menjadi ‘duri dalam daging’ yang harus segera dicabut. Dalam pandangan kaum neoliberal, kondisi tersebut tentu sangat bertentangan dengan semangat globalisasi, sebab perekonomian global mensyaratkan penyatuan aktivitas ekonomi lintas batas melalui perdagangan. Dalam konteks ini, hukum justru diharapkan hadir untuk menjamin proses tersebut guna kepentingan bergerak bebasnya jasa, barang dan modal, bukan malah memberi proteksi kepada kaum buruh yang membuat kondisi pasar menjadi kaku (Hepple, 2005).
Namun demikian, keyakinan itu tentu saja mengingkari sejarah, fakta dan semangat yang mendasari kelahiran aturan perburuhan. Pada hakikatnya, ketentuan perburuhan mestinya hadir untuk melindungi kepentingan kaum buruh sebagai jawaban atas kenyataan bahwa pemilik modal selalu lebih berkuasa dari pekerja. Hal ini jelas menunjukkan bahwa globalisasi hanya menjadi malapetaka bagi kaum buruh terlebih di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Globalisasi diterapkan hanya untuk mengedepankan kepentingan para pemilik modal dengan menjadikan kaum buruh sebagai tumbal.
Di sisi lain, negara yang semestinya hadir untuk melindungi, justru takluk di bawah tekanan kapital. Hal ini tercermin dari sikap pemerintah yang terus berupaya menciptakan kondisi yang friendly terhadap kapital melalui berbagai revisi perundangan yang dianggap ‘memusuhi’ pengusaha. Untuk tujuan itu, kepentingan kaum buruh terus ditekan karena syarat utama untuk daya saing itu adalah buruh murah dan patuh. Fahmi Idris (Suara Pembaruan, 23/3/06) menegaskan bahwa revisi ini dilakukan karena derasnya tuntutan investor asing yang menganggap UU itu sangat buruk apalagi jika dibandingkan dengan UU yang berlaku di China dan Vietnam.
Pernyataan Fahmi Idris itu menjadi penjelas kekuatiran Hadiz (2000), bahwa kehadiran globalisasi di Indonesia telah memunculkan ketakutan atas adanya beberapa bentuk zero-sum completion investasi. Modal bergerak dengan mudah dan tanpa henti terus mencari buruh murah dan lemah baik di tingkat internal (Indonesia) dan eksternal (China dan Vietnam). Dengan demikian, labour market flexibility sebenarnya hanyalah agenda para pendukung neoliberal untuk mengikis proteksi (job security) negara atas kaum buruh. Segala hal telah tereduksi menjadi hanya sebatas persoalan untung-rugi, dengan menelantarkan persoalan kemanusian yang mestinya menjadi pertimbangan utama untuk itu.
‘Flexploitation’
Situasi pasar tenagakerja di Indonesia saat ini memang telah terjebak dalam dilema yang pelik. Di sisi penawaran, telah terjadi labour surplus yang ekstrim akibat supply buruh yang tinggi, seiring dengan tingginya angka pengangguran yang telah mencapai angka 42,1 juta orang (Suara Pembaruan, 12/02/06). Semenara itu, di sisi permintaan, demand atas buruh sangat rendah karena kurangnya investasi.
Namun demikian, upaya penerapan labour market flexibility bukanlah solusi yang tepat. Fleksibilitas itu dapat dipastikan hanya akan bermuara pada situasi ‘flexploitation’ -meminjam plesetan seorang demonstran di Perancis- ketika ekspolitasi terhadap buruh dikondisikan menjadi sesuatu yang fleksibel. Justru diperlukan sikap bijak pemerintah untuk mencari jalan keluar yang lebih baik. Nasib buruh harus ditempatkan sebagai dasar pertimbangan utama, dan jangan mengabdi buta pada kepentingan modal. Penderitaan kaum buruh akan beban biaya hidup yang sangat tinggi setelah kenaikan BBM ditengah tingkat upah yang masih sangat jauh dari layak (terendah di Asia), sudah menjadi beban berat yang sangat tidak adil jika ditimpali beban baru lagi.
Forum Ekonomi Dunia tahun 2005 (Kompas, 20/03/06) mengungkapkan, faktor yang paling menghambat investasi dan berada di urutan pertama justru ada di birokrasi pemerintah yang tidak efisien. Masalah instabilitas kebijakan hanya ada di urutan ketujuh. Dengan berpijak pada fakta itu, semestinya pemerintahlah yang harus memperbaiki diri lebih dulu jika ingin investor menanamkan modalnya di Indonesia.
Akhirilah menindas buruh yang memang sudah tertindas. Ironis.***
Penulis adalah aktivis Perhimpunan Bantuan Hukum Rakyat Sulawesi Tengah (PBHR Sulteng) saat ini sedang mengambil Program Master dalam bidang Employment Law di School of Law University of East Anglia