DEWAN Gereja-Gereja Sedunia (World Council of Churches/WCC) dalam Sidang Raya-nya yang ke-9 di Porto Alegre, Brazil, yang berakhir 23 Februari yang lalu merilis sebuah dokumen penting dalam sejarah gereja di era globalisasi neoliberal. Dalam dokumen resminya yang berjudul “Alternative Globalization Addressing Peoples and Earth (AGAPE)” menyatakan dengan tegas bahwa “…paradigma ekonomi neoliberal telah mengakumulasikan kekayaan material di tangan sekelompok kecil orang. Proses akumulasi kekayaan itu telah membawa ketimpangan yang semakin besar dan kecenderungan destabilisasi yang tinggi. Kehidupan mereka yang miskin telah dikorbankan demi keuntungan mereka yang kaya” (AGAPE 2005: 14).
Seruan progresif WCC itu adalah hasil dialektika perjalanan panjang gereja-gereja sedunia dalam mengamati perkembangan globalisasi neoliberal sejak Sidang Raya 1998 di Harare (dengan dokumennya berjudul “The Logic of Globalization Needs to be Challenged by an Alternative Way of Life of Community in Diversity”). Sebagaimana dinyatakan dalam dokumen tersebut, gereja-gereja sedunia mengambil sikap untuk berpihak kepada gerakan sosial dan serikat buruh dalam rangka melawan kerakusan modal dalam globalisasi neoliberal yang semakin membawa dunia kepada ketidakadilan. Bersama-sama elemen masyarakat sipil, gereja-gereja memperjuangkan pemberantasan kemiskinan, perdagangan yang adil, pengendalian dan pengaturan pasar keuangan global, kelestarian alam, melawan privatisasi kebutuhan publik, reforma agraria, kelayakan kerja dan upah, dan melawan kekuasaan hegemonik pasar.
Bagaimana tidak? Ditengah mitos globalisasi neoliberal yang katanya akan mengangkat dunia dari keterpurukan, jumlah orang miskin justru meningkat dari 800 juta orang pada tahun 1995 (ketika World Trade Organization/WTO didirikan) menjadi 850 juta pada tahun 2005. Laju pertumbuhan ekonomi per kapita baik di negara maju maupun di negara berkembang pun melambat. Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita negara-negara termiskin di dunia (dengan PDB per kapita antara US$ 375 – US$ 1.121 pertahun) sejak periode 1980-2000 terus melambat 0.5% tiap tahun (Chang 2005: 18). Globalisasi telah membawa dunia pada jurang kemiskinan yang semakin dalam, sehingga 20% penduduk terkaya di dunia menguasai 86% total konsumsi dunia. Kelestarian lingkungan hidup pun memburuk dengan deforestasi mencapai 940.000 kilometer persegi di wilayah-wilayah termiskin dunia sejak 1990.
Inilah kenyataan globalisasi dimana Indonesia pun turut ‘bermain’ dengan mengaplikasikan kebijakan-kebijakan ekonomi neoliberal dengan pencabutan jaminan sosial melalui subsidi dan menjual semakin banyak sektor-sektor hajat hidup orang banyak kepada para pemodal dengan jargon ‘pasar bebas’.
Komponen Pokok Neoliberalisme
Paradigma ekonomi neoliberal memiliki tiga komponen pokok. Pertama, ia mengangkat peran pasar diatas peran negara, civil society dan sistem demokrasi partisipatoris dalam menata ekonomi dan arus barang dan modal. Kedua, mendewakan peran dan cakupan sektor privat dan kepemilikan privat di atas kepentingan publik. Ketiga, menganggap bahwa tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) hanya dapat dicapai melalui pasar. Sehingga ketika kebijakan-kebijakan ekonomi neoliberalnya ternyata justru tidak membawa hasil seperti yang dijanjikan, maka kesalahan akan ditimpakan semata kepada tata kelola pemerintahan yang buruk (bad governance).
Paradigma inilah yang diagung-agungkan oleh para promotor neoliberal, diantaranya Margaret Thatcher di Inggris dan Ronald Reagan di Amerika Serikat pada periode 1980-an, dengan mengatakan “There is no alternative!” (“Tidak ada pilihan!” Bandingkan dengan pidato mantan presiden Soeharto pada pembukaan Konferensi APEC di Bogor, 1994).
‘Globalization from Below’
Gerakan progresif sedunia melawan neoliberalisme menyerukan alternatif terhadap globalisasi neoliberal. Perlawanan itu datang dari gerakan negara-negara Amerika Latin yang bekerja sama dalam forum ALBA (Alternativa Bolivariana para la América), kerja sama gerakan sosial sedunia melalui World Social Forum (WSF), sampai kepada Dewan Gereja-Gereja Sedunia sebagaimana disebutkan di atas.
Perlawanan inilah yang disebut oleh Steger (Globalism, 2005) sebagai ‘globalization from below’ (globalisasi dari bawah) yang merupakan anti-thesis dari ‘globalization from above’ (globalisasi dari atas). Nasib dunia tidak boleh hanya ditentukan oleh para korporat besar dan para elit yang berkumpul dalam WTO. Nasib orang-orang miskin tak boleh diperdagangkan sebagai trade-off dari liberalisasi perdagangan sebagaimana terjadi pada sidang-sidang tawar menawar di WTO.
‘Globalisasi dari atas’ harus dilawan sebelum dunia seluruhnya lunas dijual kepada para pedagang. ‘Globalisasi dari bawah’ mengangkat suara-suara yang selama ini tak didengarkan dalam WTO dan World Economic Forum (WEF), yakni suara masyarakat miskin dan marjinal untuk turut serta menentukan arah dunia. ‘Globalisasi dari bawah’ menyerukan agar globalisasi neoliberal dengan perdagangan bebas-nya (free trade) digantikan dengan perdagangan yang adil (fair trade). Sebagaimana dikatakan oleh Steger, “relasi pasar memang penting, akan tetapi demi melayani kebutuhan manusia, maka pasar harus diabdikan pada kesejahteraan seluruh manusia” (hlm. 148).
Martin Manurung
Suara Pembaruan, 8 Maret 2006, hlm. 9.