Ketika pada tahun 1944 seorang pemikir asal Hongaria, Karl Polanyi, menerbitkan buku The Great Transformation, ia menulisnya dengan perasaan sedih sekaligus marah karena menyaksikan kekacauan ekonomi dan politik yang menghasilkan dua perang dunia. Dunia yang pernah diliputi optimisme runtuh dan hancur berkeping-keping. Terjadi ”transformasi besar” bukan ke arah kesejahteraan, tetapi ke arah penindasan dan kehancuran.
Kini, 40 tahun kemudian, apa yang terjadi? Pelajaran mahal dari 50 tahun pertama abad ke-20 seakan tidak diperhitungkan lagi. Sistem Bretton Woods yang dirancang untuk mencegah malapetaka itu terulang dipereteli sampai habis. Penguasa politik dan bisnis kini seakan-akan menemukan mutiara yang hilang tahun 1945-1980. Berhala self-regulating market yang membawa malapetaka itu kini diusung dan disembah lagi.
Ini yang terjadi selama perhelatan Forum Ekonomi Dunia (WEF) yang kini berlangsung di Davos, Swiss, beberapa waktu lalu. Orang-orang yang merasa ”berjasa” membawa kemakmuran dunia ini tak ragu membayar tiket masuk 3.000 Swiss franc (Rp 230 juta). Pidato demi pidato diucapkan untuk saling memuji keberhasilan satu sama lain, tak lupa memuji-muji keberhasilan pasar bebas di seluruh dunia. Mereka berbicara tentang wabah flu burung, tetapi bukan karena sedih banyak orang mati sia-sia. Mereka ingin menjaga momentum agar pasar bebas tetap ada di tingkat nasional dan global.
Pasar
Polanyi mengambil posisi yang berseberangan dengan pendukung ekonomi neoliberal. Sudah pada masa itu ia melihat bahaya besar jika self-regulating market dibiarkan menguasai manusia.
”The origins of the catastrophe lay in the Utopian endeavour of economic liberalism to set up a self-regulating market system.” (140)
Buku Polanyi yang cerdas itu kini dibaca dan dipelajari orang di seluruh dunia karena ternyata memberi penjelasan akurat apa yang terjadi hari ini. Ia mengamati sejarah Inggris, tempat ditemukannya kapitalisme. Tidak ada bukti, katanya, self-regulating market pernah beroperasi sejak awal. Di masa lampau ekonomi menjadi bagian masyarakat sehingga tidak terjadi eksploitasi manusia atas manusia atau manusia atas alam. Ini juga berlaku bahkan saat merkantilisme tengah naik daun.
Polanyi berkesimpulan self-regulating market bukan sesuatu yang alami atau kodrati pada manusia. Yang natural adalah pasar itu selalu ”menjadi bagian” (istilahnya: embedded), bukan menguasai masyarakat seperti sekarang ini. Ada barang-barang yang di-”pasar”-kan, tetapi tidak seluruhnya. Tanah dan tenaga kerja, bahkan uang, tidak masuk dalam pasar. Tanah dan tenaga kerja bukan hasil produksi manusia, keduanya tidak termasuk komoditas yang diperjualbelikan. Begitu pula uang. ”Pasar uang” bagi Polanyi adalah sesuatu yang absurd.
Bagi Polanyi, self-regulating market akhirnya adalah fiksi semata-mata. Ia memberi nama the commodity fiction. Segala sesuatu ”difiksikan” sebagai komoditas, lalu diperjualbelikan, sambil menyangkal realitas manusia sebagai subyek dalam proses ekonomi. Anehnya, fiksi semacam ini dipercaya mati-matian oleh banyak orang cerdas dari Milton Friedman sampai dosen ekonomi Indonesia dengan cara yang tidak kalah fanatiknya dibandingkan dengan fundamentalis agama.
”Double movement”
Pada zaman globalisasi seperti sekarang, fiksi self-regulating market dimasukkan kemasan baru yang diberi nama Washington Consensus. Apa beda konsensus yang isinya ”privatisasi, deregulasi, dan pasar bebas” dari self-regulating market? Tak ada beda, keduanya berangkat dari fiksi.
Kritik Polanyi amat dekat dengan kritik Marx, tetapi ia tidak berangkat dari dialektika materialisme dan tidak mengajarkan revolusi. Kritik Polanyi langsung menusuk jantung kapitalisme dan muncul dengan prediksi yang tidak kalah profetis: double movement. Ini yang terjadi kini, saat diadakan Forum Sosial Dunia (WSF) di Venezuela dan di Mali, Afrika. Pertemuan akbar kaum penentang self-regulating market ini sering dikritik oleh pihak yang tak suka sebagai ”kaum anti” (antiglobalisasi).
Kata ”anti” tentu tidak saja tidak tepat. Dalam khazanah pemikiran Polanyi reaksi penentangan ini tidak bisa dihindarkan begitu kapitalisme pasar bebas muncul ke permukaan.
Kemunculannya pasti, niscaya, akan disusul gerakan yang menentang. Yang satu muncul, yang lain akan muncul. Keduanya berpasangan sehingga diberi nama double movement. Kapitalisme pasar bebas akan memancing resistensi.
Dunia—dalam waktu yang lama—akan terus, setiap tahun, menghadapi double movement ini, baik dalam skala global maupun skala lokal. Di mana ada kapitalisme pasar bebas, di situ akan muncul perlawanan. WEF akan ditandingi WSF. Namun, ini bukan sekadar tanding biasa. Dalam pemikiran Polanyi, lawan dari pasar bebas bukan intervensi negara. Yang diperjuangkan adalah bagaimana mengembalikan agar pasar itu embedded lagi di masyarakat. Ketika self-regulating market menempati kedudukan hegemoni, harus diupayakan agar ia menjadi anggota biasa lagi dan embedded dalam masyarakat.
I Wibowo
Kompas, 7 Februari 2006