“Our world is not for sale, my friend. Just to keep you satisfied. You say you’ll bring us health and wealth. Well we know that you just lied”
(Lagu para aktivis di 5th Ministerial Meeting WTO Cancun, 2003. dinyanyikan dengan nada Can’t Buy Me Love – The Beatles)
Mitos Perdagangan Bebas
Perdagangan bebas dalam koridor neoliberalisme tidak terbebaskan dari mitos-mitos yang menjadi building block implementasinya dalam sistem ekonomi politik dunia. WTO telah mencoba dalam 10 tahun ini untuk mengolah mitos-mitos perdagangan bebas ini menjadi nyata. Namun seperti yang dipaparkan Hidayat Greenfield (2005) bahwa semenjak pendiriannya dari tahun 1995, realita malah ditinggalkan di depan pintu sementara fiksi dan fantasi selanjutnya mengambil alih.
Berbeda dengan mitos yang dibangun oleh WTO di awal pendiriannya untuk mengangkat dunia dari keterpurukan –terutama masalah kemiskinan—dengan perdagangan bebas, jumlah rakyat miskin di seluruh dunia malah meningkat; dari sekitar 800 juta jiwa pada 1995 (berdirinya WTO), kini menjadi 850 juta jiwa (jurnal FAO). Harga komoditi pertanian rata-rata yang dibeli langsung dari produsen terus merosot, sementara harga jual produk olahannya yang keluar dari pabrik dan perusahaan transnasional terus meningkat. WTO memang lebih menguntungkan bagi pedagang dan korporat transnasional, yang mengantarkan produk dari ladang produksi ke piring kita.
Merekalah yang disebut “the middleman”, yang didominasi oleh perusahaan-perusahaan transnasional raksasa seperti Monsanto, Cargill, Suez, Intel, Haliburton, Wal-Mart, dan banyak lagi. Sementara produsen seperti petani, pekerja, buruh, nelayan selalu menjadi pihak yang terpinggirkan dari perdagangan bebas.
Semua untuk dijual
Pada umumnya, negosiasi perdagangan bebas di WTO dibagi menjadi beberapa sektor yang menjadi panggung utama: (a) pertanian (b) jasa (c) akses pasar industri (non-pertanian). WTO menganggap ketiga sektor tersebut sebagai komoditas belaka untuk dijual. Padahal di dalam pertanian, jasa dan industri ada faktor manusia, sosial, dan budaya yang tidak terpisahkan—dan hingga sekarang terus dieksploitasi.
Dalam kasus pertanian misalnya, pengabsahan struktur TRIPs (Trade Related on Intellectual Property Rights) telah membuat legal eksploitasi berjuta-juta petani di Argentina, Brazil, Uruguay dengan bibit transgenik yang komersil. Kasus Percy Schmeiser (Kanada) dan Jose Bove (Perancis) versus Monsanto hanya sekian dari banyak ketidakadilan sistem pertanian dalam WTO. Eksploitasi tenaga kerja semiahli teknologi informasi India akan ditunggu-tunggu oleh Intel, sementara tenaga kerja wanita asal Indonesia akan dibutuhkan untuk menjadi buruh dan perusahaan tenaga kerja transnasional. Perikanan, hutan dan ternak akan terus disediakan pasarnya. Investasi akan terus merangsek masuk, bahkan di sektor-sektor yang merupakan hak-hak asasi manusia seperti air, pendidikan dan kesehatan.
Parahnya lagi, negosiasi di dalam WTO tidak pernah membicarakan substansi masalah sebenarnya—dan melupakan elemen-elemen yang dipengaruhi oleh negosiasi tersebut. Petani kecil, buruh kontrak, dan buruh tani dalam organisasi-organisasi internasional tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan, padahal negosiasi paling panas adalah pada sektor pertanian. Buruh dalam serikat-serikat dan trade unions tidak punya suara dan tertindas dalam aturan GATS, sementara nelayan dan pihak lain terancam karena aspirasi mereka tidak berarti apa-apa. Yang berunding di dalam WTO adalah menteri-menteri, birokrat dan pengusaha.
Salah satu yang dipandang mencemooh proses demokrasi di dalam WTO adalah trade off, dimana para perunding seringkali menukar tawaran (subsidi, akses pasar, perjanjian usaha) dengan tawaran-tawaran lain yang sama sekali berbeda substansinya. Dalam 6th Ministerial Meeting WTO Hong Kong sebagai pengambil keputusan tertinggi kemarin, negara G-33 yang dimotori Indonesia menukar proposal Special Product (SP) dengan penghapusan subsidi AS dan Uni Eropa. Padahal perlindungan produk dalam negeri—yang diterjemahkan G-33 dalam proposal SP—memang harus dilakukan setiap negara, dan penghapusan subsidi yang menghancurkan pasar negara lain (dumping) yang sering dilakukan AS dan Uni Eropa memang harus dihapuskan. Jadi untuk apa dipertukarkan? Sama sekali tidak masuk di akal!
‘Perdagangan Bebas’ yang Tidak Bebas
Seperti yang dikatakan John Perkins (2004) bahwa sebenarnya perdagangan bebas yang dibangga-banggakan AS dan Eropa Barat ternyata tidak sepenuhnya dijalankan menurut prinsipnya. Yang ada malah pasar yang cenderung bergerak ke arah monopoli, dimana ada persekongkolan baik itu antarkorporat atau antara korporat dengan pemerintah. Menurut catatannya, dalam model ekonomi pasar bebas tidak ada yang namanya persaingan dan pasar yang adil. Korporat akan terus terdorong untuk menjadi nomor satu, monopolistik, dan winner takes all.
Inilah yang coba dimentahkan oleh banyak perjuangan rakyat di dunia. Peristiwa di 3rd Ministerial Meeting WTO Seattle (1999), 5th Ministerial Meeting WTO Cancun (2003) dan 6th Ministerial Meeting WTO Hong Kong (2005) kemarin bukan sekedar temu ramah dan kangen-kangenan aktivis seperti dicibir mereka yang yakin akan mitos perdagangan bebas. Inilah aspirasi nyata dari berbagai basis massa global: petani di seluruh dunia yang menginginkan kedaulatannya kembali, yang menuntut mekanisme pasar pertanian dengan kedaulatan pangan (La Via Campesina), penolakan tenaga kerja sebagai komoditas oleh kekuatan buruh migran (Asian Migrant Coalition), aspirasi dari berbagai trade unions berbagai negara, nelayan, dan pemuda, bahkan akademisi dan NGO—seluruh komponen yang menjadi bukti bahwa mitos-mitos perdagangan bebas di dalam WTO memang cacat dan harus ada alternatif untuk itu.
Referensi:
Cynthia Weber, International Relations Theory: A Critical Introduction, Routledge: 2001
John Perkins, Confessions of an Economic Hit Man (Terj), Abdi Tandur: 2005
La Via Campesina, Impact of the WTO on Peasants in South East Asia and East Asia, La Via Campesina: 2005
Hidayat Greenfield, Disneyland, Doha and the WTO in Hong Kong: The Spectacle of Corporate Fear, Absurdity and The New Universalism: 2005
Mohammed Ikhwan
Penulis adalah Staff of Policy Studies and Campaign, Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI).