Tanggapan untuk Pramono Anung Wibowo
DALAM tulisannya di harian ini (Kompas, red), Pramono Anung menengarai sejumlah persoalan praktis dan sistemik di sekitar isu ”reshuffle” kabinet.
Disebutkan oleh Pramono bahwa salah satu kesulitan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam menghadapi isu tersebut adalah adanya tekanan partai-partai politik pendukung pemerintah (Kompas, 23/11/2005).
Satu ironi memang bahwa mereka yang menamakan diri sebagai partai ”pendukung” pemerintah justru akhir-akhir ini lebih merepotkan sang presiden, terutama dalam isu reshuffle kabinet, ketimbang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang memproklamasikan diri sebagai oposisi, yang membuatnya justru menolak ketika ditawari sejumlah jabatan menteri (Kompas, 23/11/2005).
Komplikasi di sekitar persoalan hubungan antara partai pendukung pemerintah dan presiden ini mendorong Pramono untuk mengusulkan ide penyederhanaan sistem kepartaian. Dalam usulan tersebut, kepartaian di Indonesia perlu disusun kembali secara demokratis berbanding lurus dengan pembagian aliran politik di Tanah Air, yaitu Islam konservatif, Islam modernis, nasionalis tengah, dan nasionalis kerakyatan.
Saya sepakat dengan ide penyederhanaan tersebut, tetapi dengan sejumlah catatan.
Penyederhanaan aliran?
Barangkali bisa dikatakan bahwa usulan penyederhanaan partai yang berbasis politik aliran memang bisa mempermudah proses transaksi politik, tetapi saya berpendapat bahwa itu belum sepenuhnya menjawab persoalan irasionalitas politik di Indonesia.
Saya cenderung berpendapat bahwa penyederhanaan partai dari aspek kuantitas semestinya juga mensyaratkan adanya proses rasionalisasi dalam aspek kualitas kepartaian. Karena itu, usulan penyederhanaan partai secara demokratis diharapkan tidak diletakkan dalam pengelompokan politik aliran.
Karena, jika penyederhanaan kepartaian itu dirancang tanpa melakukan reformasi cara pandang kita terhadap pembagian berdasar aliran politik, ketegangan politik yang emosional warisan aliran-aliran tersebut akan kian memperparah defisit demokrasi kita.
Sebagaimana kita ketahui, dalam jangka waktu yang sangat lama, mulai dari tahun 1945 sampai jatuhnya Orde Lama, politik aliran demikian mewarnai ketegangan politik yang begitu emosional. Ketegangan itulah yang akhirnya berujung pada penumpahan darah sekitar satu juta pendukung kelompok komunis dan sebagian kaum nasionalis kerakyatan yang terhimpun dalam konfigurasi Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis) di tahun 1965.
Demokratisasi yang terjadi sekarang—setelah era 32 tahun represi Orde Baru—rupanya belum sepenuhnya mengikis warisan politik aliran yang emosional tersebut. Warisan persoalan yang belum selesai itu kian ditingkahi oleh adanya apa yang disebut sebagai defisit demokratisasi substansial. Defisit ini ditandai dengan ketegangan atau semakin berjaraknya kepentingan kaum elite dengan demokratisasi rakyat (Tornquist, Olle: ”Defisit Politik Demokratisasi Substansial” dalam ”Politisasi Demokrasi”).
Saya mengkhawatirkan, jika penyederhanaan secara kuantitatif jumlah partai kemudian dikembalikan pada warisan aliran politik, kita tak akan melangkah ke depan.
Lantas apa alternatifnya?
Rasionalisasi
Jika aliran politik merupakan pengelompokan berdasar ikatan ideologis kultural yang kerap kali tak ada hubungannya dengan program maupun kepentingan politik yang rasional, rasionalisasi politik adalah jawabannya.
Menurut saya, rasionalisasi politik kepartaian merupakan resultante dari penyederhanaan jumlah partai secara demokratis plus reorientasi kualitas partai-partai tersebut.
Rasionalitas ini mengabdi pada upaya menjawab persoalan-persoalan hajat hidup rakyat. Tentu saja kita tidak menafikan adanya ideologi-ideologi dasar yang secara kultural sudah berurat-berakar (embedded) dalam jiwa kepolitikan kita. Namun, rasionalisasi justru merupakan sebuah sentuhan politik programatis, yang tak lain merupakan turunan dari ideologi-ideologi yang ada. Sebab, tanpa itu, kehidupan politik kita akan dingin dan tak jelas pemihakannya.
Rumusan programatik dari partai-partai, karenanya, merupakan terjemahan dari moralitas yang mengacu pada nilai-nilai (values) yang terdapat pada pengelompokan aliran ideologi politik yang ada. Hanya saja di sini aliran politik tidak lagi menjadi sebab sekaligus akibat dari politik kita yang menyebabkannya berjalan di tempat.
Acuan nilai tadi kemudian diubah menjadi satu kebajikan (virtue) politik praktis dan kelaikan (feasibility) sebuah program yang bisa dibaca oleh seluruh anatomi kehidupan politik, baik itu aktivis partai, politisi di parlemen, pemerintahan, masyarakat sipil, dan juga kalangan bisnis.
Karena itu, pemihakan yang muncul tak lagi disekat oleh sentimen kesukuan, budaya, maupun gaya hidup, melainkan lebih berorientasi pada pemecahan soal-soal alokasi sumber daya bagi kesejahteraan rakyat secara rasional.
Dengan demikian, partai-partai yang sudah disederhanakan jumlahnya itu akan menjawab persoalan hak-hak politik, hak-hak ekonomi, dan hak-hak sipil sesuai dengan ideologi yang lebih operasional (working ideology). Working ideology inilah yang menjadi jembatan penghubung antara aliran ideologi politik dan program kepartaian yang praktis.
Pengelompokan
Hanya setelah kita bisa membedakan dan menyambungkan antara aliran ideologi politik, working ideology, dan program, saya mengusulkan penyederhanaan partai dengan pengelompokan sebagai berikut.
Pertama, kita mengelompokkan pada working ideology konservatif moderat. Ini adalah sebuah kekuatan politik yang bisa menerima tata aturan demokrasi politik yang sekarang ada, yang memungkinkan terjadinya rotasi kekuasaan secara demokratis lewat pemilu (karenanya moderat). Namun, ia disebut konservatif karena kekuatan ini, misalnya, cenderung berhati-hati menanggapi isu besar hak-hak sipil tertentu, seperti isu kepemimpinan politik perempuan, sekularisasi, dan semacamnya.
Tentu, jika nantinya sebuah partai politik disepakati untuk merepresentasikan kecenderungan ini, ia merupakan sebuah partai Islam yang merupakan penggabungan dari partai-partai (bernuansa) Islam yang selama ini ada di era reformasi, seperti PKS, PBB, PPP, dan semacamnya. Ia berada di ujung kanan spektrum politik, tetapi bersifat moderat.
Partai kedua seyogianya merupakan sebuah partai yang working ideology-nya dirumuskan sebagai liberal moderat. Ini merupakan partai yang cenderung mendukung gagasan-gagasan liberalisme ekonomi (propasar bebas dan, tentu saja, prokalangan bisnis). Saya membayangkan partai ini merupakan sebuah partai hasil fusi Partai Golkar dan Partai Demokrat. Pengelompokan ini ada di sisi kanan-tengah dari spektrum yang ada.
Jika kita melihat pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla dan dukungan dari partai-partai yang ada terhadap pemerintahan sekarang, itu merupakan indikasi bahwa pemerintahan ini merupakan semacam koalisi kanan dengan kanan-tengah. Hal ini bisa kita lihat baik dari kebijakan-kebijakan ekonominya maupun konfigurasi partai-partai pendukungnya.
Kekuatan ketiga yang mesti mengisi sistem kepartaian kita merupakan penggabungan dari kekuatan-kekuatan partai politik nasionalis kerakyatan, religius kerakyatan, dan tradisi sosialis-demokrat. Ada baiknya mereka menghimpun diri, entah itu dalam satu partai atau setidaknya sebuah front bersifat progresif moderat. Turunan platformnya tentunya bersifat kebangsaan dan kerakyatan (pro-wong cilik), baik dalam isu-isu politik, ekonomi, maupun kebudayaan.
PDI-P dan PKB adalah dua wakil yang, saya kira, paling terkemuka dari pengelompokan ini dan bisa mulai merintis dialog historis bagi kemungkinan penggabungannya di masa depan. Dialog tersebut tentu saja dengan mengikutsertakan partai-partai nasionalis kerakyatan lain, cikal bakal partai sosialis demokrat yang sekarang sedang menghimpun diri dan juga kekuatan hijau/politik prolingkungan (green politics). Mereka tentu saja menempati sebuah posisi kiri-tengah dalam spektrum.
Dengan demikian, persoalan oposisi maupun mendukung sebuah pemerintahan bisa kita temukan rasionalitasnya dalam working ideology masing-masing partai. Diharapkan, jika ukuran ini bisa dijadikan acuan, maka bisa mempermudah pengelolaan kehidupan politik ke depan.
Tentu gagasan ini sangat terbuka untuk disanggah dalam batas-batas kejernihan sesuai dengan semangat dari ditulisnya artikel ini.***
Budiman Sudjatmiko, Direktur Eksekutif Res Publica Institute dan Anggota PDI Perjuangan