Ruang Publik Dulu dan Sekarang*
Ruang Publik Dulu dan Sekarang* Oleh Rianne Subijanto Jelang pemilu 2014, kita sering dengar berbagai keluhan akan rendahnya partisipasi publik dalam kehidupan demokrasi
HomeLembar Kebudayaan Indoprogress
Ruang Publik Dulu dan Sekarang* Oleh Rianne Subijanto Jelang pemilu 2014, kita sering dengar berbagai keluhan akan rendahnya partisipasi publik dalam kehidupan demokrasi
Berapa banyak dari kita yang mengira bahwa ranah keluarga adalah ranah pribadi yang tidak ada sangkut pautnya dengan politik? Keputusan untuk menikah setelah dapat kerja,
Setelah revolusi Oktober 1917 di Rusia, pergerakan politik di negeri-negeri jajahan terinspirasi untuk menjadi radikal, global, dan revolusioner. Di Hindia Belanda, lahir dari perkawinan antara partai sosialis ISDV (Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda) dan kaum merah partai Sarekat Islam, Partai Komunis Indonesia didirikan di Semarang pada Mei 1920. Pada tahun yang sama PKI bergabung dengan Komintern (Komunis International) yang berpusat di Rusia.
Mungkin tidak ada kata yang sepopuler istilah ‘critical’/’kritis’ dalam ilmu sosial dan humaniora dewasa ini. Selain ‘seksi’, istilah ini sering dipakai untuk memberikan nuansa ‘kebaruan’, ‘tidak ikut arus utama’ maupun ‘anti-tradisi.’ Mirip dengan penggunaan istilah-istilah lain—walau berbeda makna—seperti ‘interdisipliner’, ‘transdisipliner’ dll, kata ini menjadi paspor agar sebuah analisis dianggap ‘berkualitas’. Namun, seringkali kata ini kehilangan makna dan digunakan tidak lebih dari sekedar bungkusan belaka. Terutama di bawah payung postmodernisme, istilah ‘kritis’ ditelanjangi dari akar sejarahnya dan digunakan untuk semangat dekonstruksi tanpa rekonstruksi.
Pada bagian pertama tulisan ini, sudah dibahas perkembangan cultural studies sebagai salah satu pendekatan dalam kajian budaya yang berangkat dari kritik terhadap dikotomi superstruktur dan basis dalam sebuah aliran dalam Marxisme. Pendekatan lain dalam kajian budaya yang juga berangkat dari permasalahan yang sama adalah political economy. Namun, tidak seperti cultural studies yang lahir di Inggris, kajian political economy terhadap budaya pertama kali berkembang di benua Amerika. Basisnya pun tidak sama. Cultural studies lekat dengan aktivitas politik para pendirinya dalam gerakan kiri, terutama Workers Educational Association (WEA); sedangkan political economy dimulai sebagai kritik akademik terhadap sebuah pendekatanpenelitian. Political economy berkembang di universitas-universitas dan pusat-pusat penelitian, terutama tumbuh subur dalam bidang komunikasi dan kajian media. Sementara di dalam bidang cultural studies atau bidang-bidang sejenis, seperti kajian ras, agama, dan gender, penerimaannya cenderung minim, walau observasi ini tentu tidak bisa digeneralisasi.
TIGA pendekatan ‘kritis’ terhadap kajian budaya lahir beberapa dekade yang lalu sebagai kritik terhadap Marxisme yang dominan di Uni Soviet saat itu. Tiga pendekatan tersebut adalah cultural studies, political economy of culture dan critical theory. Ketiganya muncul sebagai reaksi terhadap dikotomi superstruktur dan basis yang dianut aliran ini dan juga terutama terhadap pandangannya yang ekonomistik dan positivistik. Klaim ‘kritis’ ketiga pendekatan ini berdasar pada dua hal: pertama, mereka lahir sebagai bentuk kritik terhadap sebuah tradisi dalam Marxisme, dalam hal ini tradisi yang dominan saat itu; kedua, agenda kritik ini dilakukan dalam semangat untuk kembali pada proyek intelektual Karl Marx, yaitu materialisme sejarah dan dialektika sebagai landasan metode berpikir dan praksis. Oleh karena itu, pemilihan ketiga pendekatan ‘kritis’ ini tidaklah sembarang karena ketiganya memiliki sejarah asal yang sama yaitu pemikiran Marxis dan lahir pada saat yang hampir bersamaan. Dalam kritik terhadap sebuah tradisi dalam Marxisme, ketiganya pada saat yang sama melanjutkan proyek kritik Marxisme.
Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.