Infrastruktur Listrik dan BBM, Papua Mau Dibawa Kemana?

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi gambar oleh Alit Ambara (Nobodycorp)

 

BEBERAPA waktu lalu, kita dikagetkan dengan kunjungan Jokowi bersama istrinya Iriana, Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki, Kepala Sekretariat Presiden Darmansjah Djumala, Sekretaris Militer Presiden Marsda TNI Hadi Tjahjanto, Komandan Paspampres Mayjen TNI (Mar) Bambang Suswantono, Staf Khusus Presiden Diaz Hendropriyono dan Kepala Biro Protokol Sekretariat Presiden Ari Setiawan ke Papua (istilah Papua secara keseluruhan, bukan Papua dan Papua Barat). Jokowi bersama rombongannya melakukan kunjungan selama dua hari dari tanggal 17 Oktober – 18 Oktober 2016.

Ada dua kebijakan dilakukan Jokowi di Papua, pertama: meresmikan 6 infrastruktur kelistrikan[1] dan kedua: diturunkannya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi.[2]

Peresmian 6 infrastruktur kelistrikan tersebut meliputi PLTA Orya Genyem (20 MW), PLTMH Prafi Manokwari (3 MW), SUTT 70 KV Genyem, Waena dan Jayapura (sepanjang WZS, 6 km sirkit), SUTT 70 KV Holtekam dan Jayapura (43,4 KM), Gardu Induk Waena dan Sentani 20 MVA, dan GI Jayapura 20 MVA. Pembangunan infrastruktur kelistrikan ini dimulai pada tahun 2008 lalu. PLN, dalam program Papua Terang, telah memetakan masalah kelistrikan yang akan dibangun hingga 2019 mendatang.

Dari 14.000 kota dan kabupaten di Indonesia, 14 daerah di Papua belum berlistrik PLN. Pada 17 Agustus lalu, tiga kabupaten di Papua—yakni Teluk Wondama, Raja Ampat dan Pegunungan Arfak—mulai dialiri listrik. Sementara di akhir bulan ini (Oktober 2016) di Yahukimo dan Deiyai.[3]

Di samping itu, harga bahan bakar minyak di wilayah Papua, khususnya daerah pegunungan, disesuaikan dengan arahan Jokowi yang menginginkan harga BBM di Papua sama dengan di wilayah Indonesia bagian barat.[4] Jokowi menerapkan kebijakan BBM satu harga di wilayah Papua, dengan alasan bahwa harga BBM yang tinggi di Papua adalah ketidakadilan bagi masyarakat Papua. Selama puluhan tahun, masyarakat di luar Papua telah menikmati harga BBM yang sama. Sementara, masyarakat Papua harus membeli BBM dengan harga Rp 50-60 ribu, bahkan ada yang mencapai Rp 100 ribu per liter.

Selama menjabat sebagai presiden dari Oktober 2014 lalu, Jokowi sudah empat kali berkunjung ke Papua. Dari empat kali kedatangannya, tidak ada kebijakan yang sesuai dengan keinginan rakyat Papua. Sejauh ini, tiga hal yang terus dilakukan pemerintah pusat: pertama: memperlancar masuknya para investor dan pemodal (kapitalis) asing dan nasional ke Papua, kedua: pembiaran atas kasus-kasus pelanggaran HAM, dan ketiga: membungkam aspirasi tuntutan Papua merdeka.

Pada 17 Oktober kemarin, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Dwi Soetjipto, mengatakan, kebijakan menyamakan harga BBM dengan harga di wilayah Indonesia bagian barat tidak akan mengganggu neraca keuangan perusahaan.[5] Ia mengklaim telah sukses melakukan efisiensi, bahkan bisa menghasilkan keuntungan. Keuntungan perusahaan itulah yang akan dipakai untuk mensubsidi harga BBM di Papua. Menurutnya, pertumbuhan ekonomi di Papua terganggu lantaran biaya untuk industri yang terlalu tinggi dan beragamnya harga BBM di Papua dengan wilayah lain akan menarik para investor. “Kalau satu harga jadi perangsang bagi investor untuk datang ke sini (Papua),” katanya.

Perihal diturunkannya harga BBM dengan menariknya para investor ke Papua, adalah bagian yang tak terpisahkan dengan proyek utama pemerintah, yaitu: MP3EI. Proyek MP3EI yang meliputi pertanian, pertambangan, energi, industri, kelautan, pariwisata, telematika, dan pengembangan kawasan strategis itu sudah jauh-jauh hari diperdebatkan (2011-2015) dan menuai pro-kontra. Dua kebijakan yang dilakukan Jokowi, antara meresmikan enam infrastruktur kelistrikan dan diturunkannya harga BBM subsidi mengerucut pada kepentingan para kapitalis untuk tetap melakukan investasi di kawasan atau wilayah-wilayah berpotensi sumber daya alam. Proyek pembangunan pemerintah ini konsisten dengan ekspektasi masuknya lebih banyak investor, yang dalam banyak kasus, telah memisahkan masyarakat Papua dari kerja dan sarana produksi yang ada.

Ketika pemerintah Indonesia masih terus memperlancar proyek dengan kekuatan investor-investor nasoinal dan asing, salah satu cara pemerintah untuk terus mempertahankan kepentingan mereka adalah dengan dikirimkannya beribu militer dan dibangunnya pangkalan-pangkalan militer[6] di Papua.

Ketidaknyamanan masyarakat terjadi dengan adanya usaha pemerintah dan militer untuk tetap melakukan praktik kapitalisasi tanah-tanah adat masyarakat. Usaha tersebut menuai penolakan keras masyarakat terhadap pemerintah dan militer di Papua, yang berakibat terjadinya pelanggaran HAM. Misalnya, beberapa masyarakat Degeuwo, Paniai[7] yang melakukan protes kepada PT Martha Mining karena terus menambang emas di sana hingga satu di antara mereka ditembak mati oleh aparat keamanan. Kasus Paniai ini sering sekali terjadi di seluruh tanah Papua.

Melihat seluruh tanah Papua dengan potensi kekayaan sumber daya alamnya yang berlimpah, tampak sekali bahwa komitmen pemerintah dan militer adalah menguasasi sumberdaya alamnya ketimbang memanusiakan sumber daya manusianya. Ini bisa dilihat pada begitu massifnya pelanggaran HAM di Papua oleh aparat militer dan kepolisian selama ini, tanpa adanya proses hukum yang adil dan fair dilakukan oleh pemerintah Indonesia.

Pada titik ini kita bisa bertanya lebih jauh tentang komitmen Jokowi terhadap masalah HAM Papua. Militerisasi masih berlangsung, pembungkaman hak-hak kebebasan bersuara dan berorganisasi masih terus terjadi, penangkapan dan pemenjaraan terhadap para aktivis Papua tetap berlangsung, dan para jurnalis belum bisa meliput dengan bebas. Bahkan di masa pemerintahan Jokowi-JK, kasus pelanggaran HAM terjadi di Papua, mulai dari yang terdata hingga yang tidak terdata (pembunuhan secara struktural)[8], tidak juga surut.

Di awal masa pemerintahannya, Jokowi menyatakan komitmennya untuk menyelesaikan kasus-kasus HAM di Indonesia. Namun hingga kini, apalagi di Papua, komitmen tersebut itu belum terbukti. Kasus pelanggaran HAM yang memicu perdebatan hingga sampai saat ini adalah kasus Paniai berdarah, dimana aparat militer Indonesia membunuh lima pelajar Paniai dan melukai beberapa pemuda lainnya. Keluarga korban masih menuntut pemerintah untuk segera menyelesaikan kasus tersebut, tetapi hingga hari ini belum ada respon positif dari pihak pemerintah pusat.

Seiring kedatangan Jokowi ke Papua kemarin, penyamarataan harga BBM dan elektrifikasi Papua tiba-tiba saja melenyapkan isu-isu pelanggaran HAM dan segudang masalah yang timbul akibat proyek-proyek infrasturisasi Papua yang dijalankan tanpa mendengar aspirasi masyarakat Papua. Pemerintahan Jokowi-JK dan militer mungkin berpikir bahwa masalah pelanggaran HAM di Papua, perampasan tanah-tanah adat untuk kepentingan bisnis, penyingkiran penduduk asli Papua dari tanah-tanah mereka, pembiaran penyakit mematikan, hingga aspirasi untuk merdeka, tidaklah penting untuk direspon. Mereka pikir, dengan membangun transportasi dan memberikan bensin murah, maka rakyat Papua akan melupakan penderitaannya selama bertahun-tahun lamanya itu. Mereka pikir, orang-orang Papua yang terhina dan teraniaya selama ini, bisa dibungkam dengan proyek-proyek infrastruktur itu.

Jika begitu cara berpikir dan bertindak pemerintahan Jokowi-JK dan militer, maka mereka salah besar. Berbagai proyek fisik yang ambisius dan melibatkan dana yang sangat besar itu, hanya menimbulkan pertanyaan buat orang Papua, ‘untuk kepentingan siapa pembangunan transportasi dan bensin murah itu?’ Sebab bukan itu yang kami butuhkan.***

 

Penulis adalah mahasiswa Papua yang aktif di Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Yogyakarta.

 

————-

[1] https://bisnis.tempo.co/read/news/2016/10/17/090812889/enam-infrastruktur-kelistrikan-di-papua-diresmikan

[2] https://m.tempo.co/read/news/2016/10/18/090813067/harga-bbm-di-papua-disamakan-dengan-indonesia-barat

[3] http://tabloidjubi.com/artikel-1185-pln-pastikan-yahukimo-dan-deyai-terang-oktober.html

[4] https://m.tempo.co/read/news/2016/10/18/090813067/harga-bbm-di-papua-disamakan-dengan-indonesia-barat

[5] https://m.tempo.co/read/news/2016/10/18/090813067/harga-bbm-di-papua-disamakan-dengan-indonesia-barat

[6] http://jakartagreater.com/pangkalan-militer-di-biak-akan-diperbesar/

[7] http://www.mongabay.co.id/2014/06/13/lahan-adat-di-degeuwo-terampas-tambang-emas-lingkungan-tercemar/

[8] http://suarapapua.com/2016/10/17/komnas-ham-pemerintah-lindungi-pelaku-paniai-berdarah/

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.