Jalan Raya Yogyakarta: Potret Masyarakat Beresiko

Print Friendly, PDF & Email

Foto diambil dari jogja.semberani.com

Sebuah Awalan

Di sekitar halaman depan Universitas Gadjah Mada, wajah Ponang terlihat gelisah. Sesekali ia mengeluarkan handphone dari sakunya untuk mengecek waktu. Empat puluh lima menit sudah berlalu, dan Layli Fajriani, kekasihnya yang ditunggu, tak kunjung datang. Padahal, sebelumnya mereka berjanji untuk bertemu.

Tiba-tiba handphone di sakunya berdering. Dilihatnya nomor si penelpon. Tak dikenal. Namun, ia angkat juga. “Apakah benar ini Mas Ponang?,” terdengar suara seorang laki-laki yang membuat dahinya berkerut.

“Benar, saya sendiri,” jawabnya.

“Teman anda, Layli, mengalami kecelakaan dan sekarang tengah dirawat di RSUD Sleman.”

Saat remaja berusia 20 tahun itu mengecek keadaan kekasihnya, hampir-hampir ia tidak mengenali. Pasalnya, pipi sebelah kanan Layli membengkak. Dagunya dibalut perban yang penuh bercak darah. Sementara itu, dari bibirnya yang agak terbuka, bentuk gigi mahasiswi Budidaya Tanaman Pangan APTA itu sudah tidak teratur. Ini menunjukkan luka akibat hantaman yang keras. Sesekali ia terlihat memuntahkan darah, tanda luka dalam. Beruntung, nyawa Layli masih bisa terselamatkan[1].

PERISTIWA di atas adalah potret tragis di jalan raya Yogyakarta. Tentu, banyak kisah “Layli-layli” lain yang mengalami hal serupa di luar sana. Bahkan barangkali dengan kondisi yang lebih parah. Dalam beberapa waktu terakhir ini, jalan raya di Yogyakarta memang terlihat begitu semrawut. Jalan raya di Yogyakarta menjadi sebuah arena yang semakin menegaskan identitas manusia sebagai homo homini lupus, serigala yang memangsa sesamanya. Bagaimana tidak, di jalan raya, orang-orang sudah tidak punya toleransi dan ingin menang sendiri. Karena alasan buru-buru, dikejar waktu khas masyarakat modern yang super sibuk dan semacamnya, mereka menunjukkan perilaku sebagai pengguna jalan, dengan tak ubahnya seperti binatang dan kehilangan humanitasnya. Saling sikut, misuh-misuh, mencet klakson berulang-ulang. Menerobos lampu Apill dan marka jalan adalah hal yang lumrah di jalan raya Yogyakarta[2].

Harus diakui, berkendara di atas jalan raya di Yogyakarta saat ini beresiko. Ya, penuh resiko. Sebuah resiko yang tak kecil, karena taruhannya adalah nyawa. Masyarakat Yogyakarta, pada penilaian tertentu, bisa dianggap sebagai masyarakat beresiko. Yogyakarta, sekalipun masih terlihat mempertahankan sebagian tradisionalitasnya, tapi sudah menjadi modern dalam dirinya. Dan modernitas, dalam kerangka pikir Anthony Giddens dan Ulrich Beck, adalah kultur resiko. Maka tak berlebihan, jika masyarakat Yogyakarta, terlebih dalam konteks persoalan di jalan rayanya, disebut sebagai masyarakat beresiko yang membawa “petaka-petaka” dan “resiko-resiko” tertentu. Giddens dalam bukunya yang terkenal “The Consequences of Modernity” menjelaskan dan memerinci profil resiko dari modernitas. Di dalamnya, Giddens juga membicarakan tentang resiko kerusakan lingkungan dan upaya penanganannya.[3] Tulisan ini akan fokus mengurai bagaimana persoalan jalan raya di Yogyakarta dalam terang perspektif Anthony Giddens dan Ulrich Beck, terlebih konsepsi keduanya mengenai masyarakat beresiko (the risk of society).

 

Sejarah Jalan dan Awal Industrialialisasi

Barangkali dengan sikap sinis, kita menganggap wajar adanya kondisi jalan raya di Yogyakarta yang begitu semrawut dan dipenuhi “kekerasan”, baik kekerasan fisik, psikis, maupun simbolik seperti ditegaskan di atas. Sebab, jika menengok kembali historisitas jalan, terlebih di Pulau Jawa, jalan memang dianggap awal dari sebuah modernisasi yang dibentuk di atas konsepsi kekerasan dan kolonialisme.[4] Proyek pembangunan jalan raya pos yang digelar oleh Deandels membuktikan hal itu. Sejak saat itu, ‘bayi’ industrialisasi dirasakan mulai merangkak, membesar dan menggurita di Hindia Belanda, dengan diikuti terbentuknya konsumerisme dalam kehidupan masyarakat di waktu belakangan ini. Meski sebagian pihak menganggap bahwa pada mulanya Indonesia belum sepenuhnya siap dengan modernisasi dan industrialisasi. Tapi apapun itu, diakui atau tidak, modernisme tetap melaju di Indonesia sampai saat ini. Barangkali persis seperti dikemukakan Giddens, modernisme itu seperti “lokomotif yang berlari sangat kencang”, dan membawa banyak perubahan besar dalam kehidupan umat manusia di seluruh dunia.

Dalam konteks persoalan di jalan, terlebih di jalan raya Yogyakarta, modernisasi dan industrialisasi yang terus melaju seolah tanpa banyak hambatan, mengakibatkan transformasi dalam pelbagai aspek kehidupan keseharian masyarakat di Yogyakarta. Kota ini sudah mengalami banyak perubahan. Jika dahulu, jalan-jalan raya di Yogyakarta masih dihiasi andong dan sepeda jadul di jalanan, misalnya, saat ini sudah berkurang digantikan alat angkut yang dianggap lebih modern: motor dan mobil. Jalan raya di Yogyakarta disesaki dan dipenuhi alat angkut modern itu. Motor dan mobil merayap, macet, dan tumpah-ruah di jalanan. Lihatlah, tubuh jalan raya di Yogyakarta yang semakin sesak dan sumpek dengan kemacetan yang panjang, nyaris hampir menyerupai Jakarta. Terlebih di beberapa titik, seperti perempatan Mirota Kampus, misalnya, dan lain sebagainya. Ini bukti bahwa modernisasi dan industrialisasi telah berhasil mengubah lanskap dan wajah Yogyakarta. Yogyakarta telah menjadi kota modern, meskipun tampak masih sok mempartahankan sebagian tradisionalitasnya untuk kepentingan pariwisata.

Konsumerisme telah mendorong masyarakat secara massif untuk membeli motor dan mobil sebagai bagian produk dari industri modern. Produksi pun terus digiatkan secara gila-gilaan. Setiap tahun, muncul pelbagai jenis motor dan mobil baru yang terus merayu lewat iklan-iklan. Lagi-lagi ini membuktikan keberhasilan modernisme yang memang menjanjikan kemudahan bagi umat manusia. Selain juga, janji kesejahteraannya. Tapi modernisme, layaknya lokomotif yang berlari cepat memberikan perubahan dalam kehidupan umat manusia, dalam dirinya juga mengandung konsekuensi-konsekuensi resiko, persis seperti yang ditegaskan Giddens dan Beck. Masyarakat modern, yang menumpang lokomotif yang bergerak cepat itu, berada dalam sebuah lingkaran resiko yang juga besar. Konsekuensi ini, kata Giddens, disebabkan karena beberapa elemen yang keliru dalam desain besar modernisme dan kesalahan operator dan orang yang menjalankannya. Elemen-elemen yang keliru, yang dimaksud Giddens itu, barangkali adalah melemahnya segi-segi moral, seperti keangkuhan manusia sebagai subjek dan kerakusannya.

Konsumerisme yang berlebihan, mengakibatkan kendaraan bermotor dan mobil melimpah di jalan raya, karena setiap orang berhasrat membeli dengan alasan untuk kemudahan mobilitas dalam kehidupan kesehariannya. Semantara ruas jalan di Yogyakarta sudah mulai tidak proporsional dengan jumlah kepadatan kendaraan bermotor di Yogyakarta. Data yang dilansir Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Yogyakarta menunjukkan bahwa jumlah kendaraan bermotor di Yogyakarta naik sekitar 14-15 persen setiap tahunnya. Pada tahun 2009, jumlah kendaraan bermotor di Provinsi DIY (meliputi kabupaten Sleman, Bantul, Gunung Kidul, Kulonprogro dan kotamadya Jogja) mencapai angka 1.059.974. Pada tahun 2013, jumlah angka kendaraan bermotor naik menjadi 1.396.967. Menurut Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset di Yogyakarta, dalam lima tahun terakhir, kabupaten Sleman menjadi daerah dengan penambahan terbanyak dari segi jumlah kendaraan bermotor, yakni sebanyak 2.346.437.[5]

Tak mengherankan. Bayangkan saja, setiap tahun Yogyakarta kedatangan ‘tamu’ mahasiswa-mahasiswi baru di perguruan-perguruan tingginya. Yogyakarta sendiri konon memiliki kurang lebih 100 perguruan tinggi, baik yang negeri maupun swasta, yang besar maupun yang kecil. Jika satu perguruan tinggi saja, dalam setiap tahunnya menerima mahasiswa-mahasiswi baru dengan ribuan jumlahnya, maka berapa jumlah motor dan mobil yang akan bertambah di jalan raya Yogyakarta? Tinggal dihitung dan dikalikan saja. Ini belum lagi jumlah masyarakat pekerja di Yogyakarta, yang setiap tahunnya juga dianggap terus meningkat. Para pekerja itu bukan hanya orang Yogyakarta sendiri, melainkan juga pendatang dari luar Yogyakarta. Artinya, pertumbuhan penduduk di Yogyakarta mengalami ledakan yang begitu tinggi. Mahasiswa-mahasiswi baru dan masyarakat pekerja di Yogyakarta itu (meski barangkali tidak semua), adalah bagian dari masyarakat modern yang konsumtif. Dengan alasan kemudahan mobilitas dan gengsi sosial, mereka membeli dan menggunakan motor dan mobil. Lihat faktanya, di kampus-kampus, atau di tempat-tempat tongkrongan seperti di kafe dan restoran, mobil-mobil berjejer seperti showroom mobil. Mungkin kita juga bagian darinya.

Tentu fenomena ini semakin menambah persoalan di jalan raya Yogyakarta menjadi sedemikian kompleks. Apalagi mengingat banyak jalan dengan kondisi rusak di Yogyakarta. Data PBS menunjukkan, hampir 20 persen jalan di Yogyakarta dalam kondisi rusak. Di dalam kondisi jalan yang seperti itu dan jumlah kepadatan kendaraan bermotor yang tinggi dan terus meningkat dari tahun ke tahun, membuat situasi jalan di Yogyakarta sering macet. Intinya, jalan raya di Yogyakarta sudah terasa tidak nyaman dan aman sekaligus. Dalam ketidaknyamanan dan ketidakamanan itu, dengan alasan keterpaksaan karena buru-buru ke kantor khas masyarakat modern, para pengguna jalan sering melanggar peraturan dan lalu lintas di jalan raya. Data dari Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta menunjukkan bahwa dalam 4 bulan terakhir, selama tahun 2010, tercatat lebih dari 15 ribu jumlah pelanggaran yang dilakukan para pengguna jalan. Masing-masing jumlahnya adalah Kodya Yogyakarta (3653 kasus pelanggaran), Bantul (3165 kasus pelanggaran), Kulon Progo (2982 pelanggaran), Gunung Kidul (1734 pelanggaran), Sleman (4212 pelanggaran), ditambah data dari DIT Lantas (71 kasus pelanggaran). Meskipun pada tahun 2015, angka pelanggaran lalu lintas di jalan raya di Yogyakarta diklaim oleh pihak Polda mengalami sedikit penurunan[6].

 

Resiko Mulai Tampak

Akhirnya, kini resiko itu—seperti dikemukakan Giddens dan Beck—mulai tampak begitu nyata dan jelas di depan mata kita. Di jalan raya Yogyakarta, kecelakaan sering terjadi. Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari ruang Pengelola Data dan Informasi Polda DIY Yogyakarta pada tahun 2010 yang lalu saja, terdapat 54 nyawa melayang akibat kecelakaan selama kurun waktu 4 bulan yakni dari bulan Januari sampai April. Sedangkan 321 korban mengalami luka berat dan 1786 korban menderita luka ringan akibat kecelakaan lalu lintas. Sementara itu, angka kerugian akibat kecelakaan lalu lintas juga mencengangkan: total angka kerugian materi mencapai hampir 1 milyar rupiah. Angka ini dipandang sangat tinggi mengingat rentang waktu kejadian yang terjadi begitu cukup singkat. Sampai saat ini, nyaris tiap hari ditemukan kecelakaan lalu lintas di jalan raya Yogyakarta. Kecelakaan lalu lintas di jalan raya Yogyakarta ini semakin memperkuat ‘tudingan’ WHO yang mengatakan bahwa kecelakaan lalu lintas di Indonesia menjadi pembunuh terbesar ketiga, setelah penyakit mematikan: jantung koroner dan TBC, pada tahun 2011.[7]

Dengan demikian, jalan raya Yogyakarta, saya kira, tak berlebihan dipandang sebagai potret masyarakat berisiko (the risk of society). Jika dalam modernisme klasik, yang menjadi isu sentral adalah persoalan kesejahteraan, yaitu bagaimana proses distribusi kesejahteraan dilakukan secara adil dan merata. Maka dalam modernisme dalam bentuknya yang baru, kata Beck, isu sentralnya adalah keamanan. Modernisme baru diasosiasikan dengan masyarakat beresiko. Dengan begitu, yang menjadi fokus pekerjaan dalam modernisme baru ini adalah mencegah dan meminimalisir sebuah resiko. Mereka mengusahakan bagaimana resiko dapat diatur dan dikontrol, sehingga tidak terlalu mencelakakan dan menuai petaka yang dahsyat dalam dan bagi kehidupan manusia modern.

Persoalan jalan raya di Yogyakarta sebagai bagian dari masyarakat beresiko, telah dibicarakan dan dirumuskan kerangka-kerangka solutif dan bentuk-bentuk penanganannya. Misalnya, pemerintah dituntut untuk memberikan layanan fasilitas transportasi massal yang ekonomis, aman dan nyaman. Dengan demikian, diharapkan, masyarakat lebih memilih untuk tidak menggunakan kendaraan pribadi saat bepergian, sehingga dapat mengurangi jumlah kepadatan pengendara bermotor. Selain itu, juga ada saran untuk membangun jalan layang dan jalan-jalan underground di beberapa ruas untuk memudahkan arus transportasi yang sering macet. Pembangunan jalan-jalan alternatif ini dipandang penting dan strategis. Sebab, pelebaran luas jalan raya di Yogyakarta dianggap sudah tidak bisa dilakukan.

Tetapi nampaknya, sampai saat ini, upaya-upaya yang dilakukan belum mampu sepenuhnya mengurangi secara signifikan “petaka-petaka” dan “resiko-resiko” modernitas di jalan raya di Yogyakarta. Keluh dan kesah soal realitas persoalan jalan raya di Yogyakarta, sampai detik ini, masih sangat santer terdengar dan diributkan banyak pihak (untuk tidak mengatakan bahwa resiko-resikonya kian mengancam). Saya tidak tahu, apakah karena ‘petaka-petaka’ dan ‘resiko-resiko’ yang kian mengancam di jalan raya Yogyakarta ini, membuat banyak orang, terlebih kelas menengah yang nge-hek, kemudian seolah-olah bertambah religius dan rajin berdoa saat hendak berangkat ke kantor, meski pada saat yang bersamaan, mereka tetap tidak terlihat mengupayakan etiket yang baik saat berkendara di jalan raya.***

 

Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Kajian Budaya dan Media UGM. Selain sibuk merampungkan tesisnya, sehari-hari ia juga mengelola media online dan bergiat di Pusham UII.

 

————–

[1] Penggalan kisah nyata di atas dikutip dari reportase mendalam (indept reporting), “Jalan Raya Jogja, Jalan Menuju Neraka karya Ahmad Alwajih, Noveri Faikar Urfan dan Kamil Alfi Arifin. Data-data statistik yang dipakai dalam tulisan ini sebagiannya juga diambil dari laporan tersebut.

[2] Lihat artikel Gutomo Priyatmono “Membisukan yang Lain: Yogyakarta City of Tolerance?” dimuat di Harian Kompas Jogja, dan kemudian dibukukan dengan artikel-artikel lain dirinya dalam buku berjudul “Ketakhadiran Negara”, Impulse, 2013, hal 51.

[3] Anthony Giddens, “The Consequences of Modernity”, Politi Press, 1990, hal, 124-125.

[4] Hani Raihana, Negara di Persimpangan Jalan Kampusku, Impulse, 2007, hal 37.

[5] Lihat berita berjudul “Laju Pertumbuhan Kendaraan Bermotor di Jogja Naik Tiap Tahun”, dalam www.dishub-diy.net. Berita ini diunggah pada Kamis, 09 Oktober 2014.

[6]Angka Pelanggaran Lalu Lintas Mengalami Penuruan”. Tribun Jogja, Rabu 22 Juli 2015.

[7] Lihat berita “Kecelakaan Lalu Lintas Menjadi Pembunuh Terbesar Ketiga” dalam situs www.bin.go.id.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.