Kebiadaban Negara Kapitalis Birokrat Orde Baru: 50 Tahun Genosida 1965

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi gambar oleh Dadang Christanto

 

RILIS Komnas HAM mengenai Hasil Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat Peristiwa 1965-1966 pada tanggal 23 Juli 2012 menyatakan, “Sesuai dengan laporan dari para korban maupun keluarga korban, pada peristiwa 1965-1966, telah mengakibatkan terjadinya berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia antara lain pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan (persekusi) dan penghilangan orang secara paksa. Selain itu, para korban maupun keluarga korban juga mengalami penderitaan mental (psikologis) secara turun temurun yakni berupa adanya tindakan diskriminasi di bidang hak sipil dan politik, maupun di bidang hak ekonomi, sosial dan budaya.”

Dengan Demikian area genosida sistematis pada masa 1965-1966 meliputi berbagai hal yang bisa kita bayangkan, ataupun yang tidak bisa kita bayangkan, karena kejamnya dan biadabnya gerakan pembasmian kelompok masyarakat yang dianggap sebagai anggota PKI, anggota organisasi-organisasi afiliasinya, simpatisannya, orang-orang yang tersangkut langsung atau tidak langsung dengan kegiatan-kegiatan PKI atau afiliasinya, orang-orang kiri baik dari kalangan Nasionalis, Sukarnois maupun ormas-ormasnya, dan orang-orang di pedesaan atau dimanapun yang berada di tempat dan waktu yang salah. Genosida ini sangat-sangat buruk dalam ukuran peradaban sebuah bangsa ataupun bangsa-bangsa di dunia. Dan anehnya, hingga saat ini, para penguasa dan elit Indonesia enggan untuk menyingkap tabir gelap sejarah bangsanya sendiri, seolah-olah masih hidup di zaman purbakala dengan ukuran-ukuran peradaban yang rendah dan hina.

Bahkan hingga kini kalangan terpelajar, mahasiswa, pelajar dan kebanyakan generasi muda masih tidak tahu-menahu mengenai apa yang terjadi di masa 1965-1966 tersebut dan sesudahnya. Seolah-olah mereka menganggap tidak ada masalah besar dalam 1965, dan bahwa kesadaran dan pikiran mereka sepenuhnya telah terbentuk oleh propaganda sistematis Orde Baru (Orba) selama ini. Orba yang dimaksud bukan saja era rezim Suharto sejak 1966 hingga 1998, tetapi juga era setelahnya hingga kini, yang cocok disebut sebagai neo-Orba. Orba dan neo-Orba telah sangat berhasil menjadikan peristiwa 1965 sebagai peristiwa sejarah yang tidak memalukan dan justru diperlukan untuk menyelamatkan Indonesia dari Komunisme. Versi Orba mengenai ini, yang merasuk di alam pikiran generasi muda hingga kini adalah “tindakan penyelamatan Indonesia dari kudeta yang dijalankan oleh pihak Komunis yang akan mengganti Pancasila dan menggantinya dengan pemerintahan komunis yang atheis”. Versi semacam ini telah berhasil menggiring pikiran dan kesadaran semua lapisan masyarakat Indonesia untuk tidak mau mengakui adanya genosida besar-besaran tersebut dan bahkan memastikan bahwa tindakan-tindakan pada saat itu oleh kalangan militer Jenderal Soeharto diperlukan untuk menyelamatkan eksistensi Republik Indonesia.

Padahal dapat dengan jelas kita simpulkan, dari semua fakta-fakta sejarah dan analisa-analisa sesudahnya mengenai peristiwa G30S 1965, bahwa akibat dari peristiwa itu telah menyingkirkan Soekarno dari kekuasaannya, dan menyingkirkan Partai terbesar saat itu (PKI) yang berpihak pada Soekarno dan menjadi pendukung utamanya, serta menerapkan shock-therapy sekeras-kerasnya pada masyarakat agar ajaran-ajaran Soekarno, Komunisme, Nasionalisme Kiri dan semua ideologi kiri yang ada di sekitarnya tidak hidup lagi atau musnah selamanya. Semua itu sangat jelas dan tidak memerlukan analisa muluk-muluk, untuk menjelaskan apa sebenarnya arti dari peritiwa 1965 tersebut, siapa-siapa yang diuntungkan dan siapa-siapa yang disingkirkan. Jelas sekali bagi kita untuk menyatakan bahwa peristiwa 1965 adalah sebuah kudeta terencana dari Jenderal Soeharto dan komplotannya untuk menggulingkan Presiden Soekarno dan menghabisi sekali dan selamanya PKI dan gerakan kiri Indonesia, agar tidak pernah hidup kembali. Dan tujuan-tujuan itu telah tercapai dengan gilang-gemilang, genosida terburuk dalam abad 20, tanpa rasa bersalah dan lewat pembenaran-pembenaran yang sempurna. Tangan-tangan berdarah dari para algojo-algojonya dan dalang-dalangnya masih ada sampai sekarang, sehingga menjadi pembenaran untuk semakin menutupi peristiwa tersebut dengan semua propaganda busuk tentang 1965. Sebuah pemutar-balikkan yang par-exellence dari rezim Soeharto dan konco-konconya hingga sekarang.

Dan yang luar biasa, bahwa pembantaian terbesar tersebut dilakukan secara resmi oleh sebuah institusi Negara, yaitu Negara Orde Baru dengan semua perangkatnya dari atas ke bawah, dan dengan semua aparat propagandanya sejak dari pendidikan, kebudayaan hingga ideologi Negara. Semua itu dipertahankan selama 32 tahun oleh rezim Soeharto secara masif, dan hingga kini oleh Negara neo-Orba, yang dalam banyak hal adalah kelanjutan dari Orba, meskipun banyak upaya pembersihan diri dan penyangkalan sebagai kelanjutan Orba. Tapi segala sesuatunya sebenarnya tidak banyak berubah. 1965 masihlah sebuah tabu politik, dan siapapun yang hendak membuka selubungnya dan seluruh kebusukan di dalamnya akan segera berhadapan dengan aparat kekerasan, mulai dari preman-preman berjubah, ormas-ormas Islam, tokoh-tokoh publik konservatif, sampai dengan aparat intelijen, polisi dan militer. Segala sesuatunya mengindikasikan bahwa isu 1965 adalah fondasi utama keberadaan Orde Baru, dan karenanya harus dijaga sedemikian kuatnya.

Memang benar sekali, bahwa 1965 adalah titik dimulainya kekuasaan Orba dan fondasi dasar sebuah rezim fasis-militeris yang hendak mempertahankan sebuah kekuasaan jahat dari para Kapitalis Birokrat (kapitalis rente). Sebagaimana diketahui, Kapitalis Birokrat (disingkat Kabir) adalah sisa-sisa feodalisme di Indonesia yang akumulasi modalnya (kekayaannya) didasarkan pada kekuasaan politik, bukan pada praktek bisnis kapitalisme modern. Karenanya Kabir tidaklah dapat disebut sebagai kapitalisme modern. Dia adalah sisa-sisa yang masih kuat dari para penguasa feodal politik, yang berwujud kelompok militer terutamanya para Jendral; penguasa-penguasa berlatar belakang kekuasaan tradisional yang memakai agama atau adat atau privilese feodal mereka sebagai topeng penggenggam kekuasaan, dan para birokrat pengendali kekuasaan yang berkepentingan untuk mengorupsi kekayaan Negara secara aman. Bahkanpun preman atau bandit merupakan bagian feodalisme yang dipakai penguasa untuk melestarikan kekuasaan mereka. Semua ini mudah dijumpai dalam politik sehari-hari di Indonesia, karena terjadi setiap harinya. Karenanya, tidak heran bahwa sejak fenomena rezim Kabir itu ada di tahun 1950an, maka sampai kini rasanya tidak banyak perubahan yang terjadi. Rezim Kabir terus berkuasa di Indonesia, mempertahankan kekuasaan fasis militerisnya dengan sedikit modifikasi reformasi kelembagaan maupun citra politik di tahun 1998, dan mempertahankan wacana 1965 sebagaimana yang telah dilakukan Soeharto dan komplotannya.

Selama pendefinisian peristiwa 1965 masih seperti di atas, dimana PKI dijadikan tertuduh utama atas alasan sebagai pelaku kudeta dengan sifatnya yang anti-agama dan anti-Pancasila, maka Kabir masih akan terus berjaya. Dengan definisi itu, mereka merasa akan selalu mendapat klaim sebagai pembela utama negeri ini dan bahwa proyek-proyek yang lahir darinya akan selalu absah dalam politik Indonesia. Mereka lupa bahwa jaman terus bergerak dan berubah. Mereka bisa saja terus mengelabui dan membodohi generasi mudanya, akan tetapi mereka juga telah menempatkan diri mereka sendiri dalam keterbelakangan dan ketidakberadaban berpikir. Era informasi saat ini sesungguhnya tidak akan bisa mereka lawan. Kini tidak ada lagi instrumen atau sistem pengawasan atau sensor jenis apapun yang bisa menghalangi dibukanya berbagai informasi baru atau informasi alternatif atas peristiwa 1965. Dan generasi muda masa kini, yang lebih dekat dengan arus informasi tersebut, tidak bisa lagi dipengaruhi atau dibohongi.

1965 adalah sebuah genosida memalukan dari bangsa ini yang hendak ditutup-tutupi terus, dengan kebodohan dan kepicikan rezimnya. Akan tetapi mereka tidak akan bisa berhasil lagi. Zaman akan menghadapi mereka dengan lebih keras. Kaum Kabir merasa dunia adalah milik mereka dan praktik-praktik korupsi-kolusi-nepotisme serta penindasan hendak mereka lestarikan. Dan itu tidak akan bisa dipertahankan lagi, karena mereka menghadapi dunia yang lebih besar, arus informasi yang lebih kuat dan kemerdekaan berpikir yang lebih luas. Kabir adalah sebuah anakronisme. Kabir juga adalah musuh kapitalisme modern. Sudah saatnya semua gerakan demokrasi dan progresif menghabisi Kabir untuk selama-lamanya.***

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.