Revolusi Agustus, Revolusi Sosial

Print Friendly, PDF & Email

DALAM beberapa hari, Indonesia akan merayakan hari ulang tahun kemerdekaannya yang ke-70. Kalimat selanjutnya dari tulisan kali ini bisa saya mulai dengan sejumlah basa-basi yang sudah basi seperti berikut:

  • ’Bagi sebuah bangsa 70 tahun ibarat umur seorang remaja; ia tidak lagi muda tetapi juga belum tua-tua amat.’ (Pantesan labil terus akhir-akhir ini. Terus, rupanya sejarah Indonesia ‘dimulai’ ketika kemerdekaan ‘diproklamirkan’ dalam buku-buku sejarah, dan sebelum itu tidak ada yang namanya ‘Indonesia’).
  • ‘Perjalanan Indonesia sebagai sebuah bangsa begitu berat, tetapi sejauh ini ia berhasil menghadapi berbagai tantangan, mulai dari agresi militer penjajah, pengaruh Komunisme (tentunya), otoritarianisme Orde Baru (OrBa), hingga ancaman disintegrasi bangsa di tengah-tengah proses reformasi. Kedepannya Indonesia akan terus maju sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar sedunia yang demokratis dengan pertumbuhan ekonomi yang fantastis.’ (Oke Sip).
  • ‘Kita musti menuntaskan janji-janji kemerdekaan.’ (Entah janji yang mana dan dengan cara apa).

 

Daftar tersebut di atas hanyalah sebagian contoh dari panggilan-panggilan nasionalisme yang kabur, yang tiap tahunnya diulang-ulang menjelang peringatan Hari Kemerdekaan.

Kita perlu beranjak dari narasi-narasi kopong semacam itu. Apabila kita mendaku sebagai seorang materialis historis yang militan, maka sudah sepatutnya kita melacak sejarah aspirasi kemerdekaan kepada sumbernya: pengalaman historis massa-rakyat.

 

Revolusi Sosial, 1945-1949

Masa-masa awal kemerdekaan begitu bergejolak. Ada kekosongan rezim, kekalutan, dan kebingungan. Tetapi orang lupa, ada banyak hal-hal lain di luar itu. Ada upaya-upaya independen untuk mengisi kekosongan politk. Ada usaha-usaha untuk menggerakkan roda ekonomi dan kemudian mengelolanya secara demokratis. Ada harapan yang membuncah tentang dunia yang baru, a world turned upside down, dunia yang lebih baik.

Epos sejarah ini tercatat dalam sejarah versi OrBa sebagai masa ‘revolusi fisik’. Sejarah versi ini, yang kita pelajari di sekolah-sekolah, menyatakan bahwa masa revolusi fisik adalah masa ‘perjuangan bersenjata’ melawan ‘penjajah asing’ yang terkadang eksesnya bisa ‘mengerikan’ – pejabat dan bangsawan lokal menjadi korban ‘amarah rakyat’, misalnya. Dari sini kita tahu sumber satu varian nasionalisme Indonesia yang begitu picik, yang militeris dan anti ‘asing-aseng’. Versi sejarah ini juga merupakan suatu penggambaran sejarah yang bermasalah, dan kita tahu, ada lebih banyak cerita di balik itu.

Anton Lucas (1989) dalam Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi, mencatat bahwa masa-masa ‘revolusi fisik’, yang ia sebut sebagai revolusi sosial, bukanlah sekedar kekacauan dan avonturisme politik. Ia mencatat bahwa:

“Peristiwa Tiga Daerah adalah suatu peristiwa dalam sejarah revolusi Indonesia yang terjadi antara Oktober sampai Desember 1945 di Kabupaten Brebes, Tegal, Pemalang, di Keresidenan Pekalongan (Jawa Tengah), di mana seluruh elite birokrat, pangreh praja, (residen, bupati, wedana, dan camat), dan sebagian besar kepala desa, “didaulat” dan diganti oleh aparat pemerintahan baru, yang terdiri dari aliran-aliran Islam, Sosialis, dan Komunis.” (hal. 1).

Dalam bukunya, Lucas memaparkan bagaimana kondisi rakyat di tiga daerah tersebut di masa-masa terakhir penjajahan Belanda di Indonesia. Di tengah-tengah cengkeraman kolonialisme dan imperialisme, massa rakyat tidak punya suara. Jangankan untuk berbicara, untuk makan saja susah karena hasil panen sering diambil secara semena-mena. Tentu tetap ada yang beruntung dalam kondisi seperti itu: para elit lokal yang kedudukannya tetap terjamin dalam masyarakat kolonial. Ditambah lagi Fasis Jepang datang dan merampas segala sumber daya rakyat dan memobilisasi tenaga mereka untuk keperluan ekspansionisme militerisnya.

Di dalam kondisi seperti itulah, massa rakyat berusaha bertahan dan berlawan, baik secara langsung dan konfrontatif maupun secara diam-diam. Dan ketika momen kemerdekaan datang, maka momen itu segera dilihat sebagai sebuah kesempatan politik. Lucas mencatat massa rakyat, para penduduk desa yang merupakan bagian dari lapis-lapis paling tersubordinasi dan termarginalkan dalam struktur sosial masyarakatnya, berhimpun, mengadakan rapat-rapat umum, menunjuk secara langsung wakil-wakil terpercaya dari masing-masing golongan mereka – baik Islam, Nasionalis, Sosialis, maupun Komunis, dan melakukan redistribusi kekayaan desa.

Membaca cerita-cerita tersebut, sejenak saya merenung dan berpikir: Bukankah ini model tatanan politik dan ekonomi yang Marx dan Engels amati dalam Komune Paris? Bukankah pengaturan masyarakat seperti ini yang disebut-sebut sebagai tatanan ekonomi-politik yang ideal bagi kaum Kiri, di mana rakyat pekerja dapat berpartisipasi secara langsung dalam politik dengan menunjuk wakil-wakil mereka yang terpercaya dan dapat diganti sewaktu-waktu dan berpartisipasi secara mandiri dalam ekonomi melalui free association of producers?

Ternyata apa yang menjadi cita-cita Revolusi Perancis – Kebebasan, Kesetaraan, dan Persaudaraan – menemukan gaungnya dalam Revolusi Indonesia, yang diamalkan berdasarkan satu aksiom politik progresif: percaya kepada massa.

Saya teringat anjuran E.P. Thompson, sejarawan dan aktivis Marxis terkemuka dari Inggris itu, bahwa kita perlu mencari ‘akar-akar lokal’ dari tradisi Kiri-radikal di masyarakat kita sendiri. Thompson melakukannya dalam konteks masyarakat Inggris. Dalam konteks kita, anjuran Thompson juga perlu kita amalkan: kita perlu senantiasa menggali kembali tradisi radikal dalam masyarakat kita.

Apa yang dibahas secara mendalam oleh Lucas dan banyak sejarawan lain hanyalah sebagian dari berbagai cerita mengenai cita-cita universal emansipasi dan pembebasan yang dapat ditemukan dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia. Mengapa mempelajari pengalaman ini begitu penting? Karena sejarah menunjukkan bahwa pengalaman-pengalaman tersebut merupakan gugatan, baik bagi historiografi ‘nasionalis’ OrBa maupun ortodoksi historiografi liberal. Baik apologis OrBa maupun komentator liberal memandang upaya-upaya revolusi sosial dengan sebelah mata. Yang pertama memandangnya sebagai sumber kekacauan yang mengganggu order, ‘stabilitas’ tatanan ipoleksosbudhankam, yang solusinya adalah menghadirkan kembali Leviathan bagi para pendukung stabilitas dan pembangunan – dengan kata lain kaum militeris dan oligark. Yang kedua memandangnya sebagai sumber ‘totalitarianisme’, yang merongrong ‘kebebasan individu’, yang solusinya adalah revitalisasi ‘negara minimal’, sembari abai terhadap tendensi koersif dari proyek pembentukan negara itu sendiri dan totalitarianisme pasar. Sejarah Revolusi Sosial Indonesia – sebuah revolusi (dengan ‘r’ kecil) dalam Revolusi Nasional (dengan ‘R’ besar) – meskipun singkat, menunjukkan bahwa ada jalan lain menuju kemajuan yang mungkin bisa kita tempuh.

Sayangnya, sejarah revolusi sosial tidak berlangsung lama. Sebagai Republik muda, pemerintah pusat yang baru harus mengukuhkan otoritas dan kedaulatannya. Alhasil, upaya-upaya ‘spontan’ dari bawah kerap kali harus ditertibkan dan diredam, agar tidak mengganggu keamanan nasional. Sebagaimana upaya-upaya historis eksperimen politik emansipatoris yang lain, Revolusi Indonesia menemukan kontradiksi dan kesulitan-kesulitan pada dirinya sendiri. Apabilla Revolusi Bolshevik harus berhadapan dengan momen politis yang sulit, seperti Pemberontakan Kronstadt misalnya, maka Revolusi Indonesia juga berhadapan dengan momen yang serupa tatkala dihadapkan dengan eksperimen-eksperimen sosial di tingkat bawah. Siapakah yang benar? Sukarno-Hatta dan Lenin-Trotsky? Atau para massa rakyat yang menuntut pelaksanaan revolusi sekonsisten mungkin dan berusaha mengambil ‘aksi sepihak’ sebagai konsekuensi logis dari cita-cita revolusi yang mereka amini dan perjuangkan tersebut? Siapakah yang salah? Para pemimpin revolusi atau anak-anaknya? Saya tidak tahu. Tidak ada jawaban yang mudah atas pertanyaan tersebut. Tetapi kita tahu, bahwa kedua-duanya memperjuangkan cita-cita yang sama, dengan cara yang berbeda dan terkadang berseberangan. Tetapi kedua-keduanya merupakan bagian dari suatu perjuangan panjang, a long, protracted struggle, yang bertujuan menciptakan masyarakat baru yang bebas dari penindasan yang lama, yang terlepas dari perbedaan mereka, warisan-warisannya perlu kita hargai.

Tetapi, adakah yang tersisa sekarang dari warisan tersebut? Lagi-lagi saya ragu. Konsep ‘Indonesia’ sekarang tidak lagi identik dengan cita-cita pembebasan nasional, demokrasi rakyat, dan dunia yang baru. Ketika mendengar kata ‘Indonesia’, yang segera terbayang dalam benak saya adalah suatu bangsa di mana para oligark dan militeris tetap berkuasa dan sisa-sisa rezim lama masih bercokol di puncak-puncak kekuasaan. Ketika mendengar kata ‘Indonesia’, saya teringat oleh mereka yang suara-suaranya dibungkam selama puluhan tahun, kepada ratusan ribu nyawa yang melayang dalam katastrofi 1965, kepada jutaan rakyat yang ditindas di Aceh, Papua, dan Timor-Leste.

Mungkin saya terlalu pesimis. Tetapi pesimisme yang realistis lebih baik dari selubung ideologis optimisme yang kosong***

 

Penulis adalah kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitland dengan id @libloc

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.