Kegalauan Kritik Terhadap Pendidikan Tinggi di Indonesia

Print Friendly, PDF & Email

Respon untuk Oki Alex Sartono dan Yoga Prayoga

 

PENDIDIKAN adalah medan pertarungan ideologi yang menentukan masa depan sebuah komunitas.

Dua tulisan terakhir di IndoPROGRESS yang membicarakan soal pendidikan, yang masing-masing ditulis Oki Alex Sartono[1] dan Yoga Prayoga[2] memiliki beberapa kekeliruan yang secara mendasar mesti diluruskan. Hal ini penting untuk kembali meletakkan perdebatan soal dunia pendidikan di Indonesia, khususnya wajah pendidikan tinggi dalam pendekatan yang radikal dan holistik. Sekaligus berupaya untuk membebaskan kritikan terhadap pendidikan di Indonesia dari asumsi-asumsi prematur yang menyesatkan secara filosofis dan akademis.

Tulisan ini berupaya melakukan fungsi kritis seperti yang dijelaskan di atas dengan terlebih dahulu memberikan batasan geografi kritik yang secara khusus menyasar kepada sistem pendidikan tinggi di Indonesia. Menyoal pendidikan dasar dan menengah di Indonesia, membutuhkan kajian serius lainnya yang tidak mungkin dapat dirangkum dalam artikel singkat ini. Alasan kedua adalah perbedaan basis filosofis dan karakter psikologis di Indonesia dari dua level pendidikan ini, membuat kritikan yang dibangun tidak dapat diletakkan dalam premis-premis umum yang bertendensi mengaburkan. Tulisan ini juga berupaya mencegah diri untuk merepetisi argumen-argumen kritis terkait pendidikan tinggi di Indonesia yang sudah hadir sebelumnya dan dipublikasikan oleh IndoPROGRESS.

Untuk mempermudah, tulisan ini akan dibagi ke dalam poin-poin utama kritik baik terhadap kedua tulisan yang disebutkan di atas, maupun terhadap sesat pikir mengenai kondisi terkini pendidikan tinggi di Indonesia.

 

Tentang Mahasiswa

Mahasiswa adalah istilah yang paling kontroversial dalam catatan pendidikan di Indonesia. Secara harafiah, ia diartikan sebagai ‘siswa besar’ yang ditujukan untuk membedakannya dengan ‘siswa kecil’. Penamaan ini telah sejak awal membelah secara mental dan fisik pendidikan di Indonesia ke dalam dua medan utama; zona untuk ‘siswa kecil’ dan zona untuk ‘siswa besar’. Kesesatan filosofis ini kemudian ditegaskan oleh presiden terpilih Joko Widodo, dengan pembelahan Kementerian Pendidikan Nasional dan Kebudayaan menjadi dua unit kerja kementerian yang berbeda. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah dengan Anies Baswedan yang menjadi menteri, dan kemudian Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi dengan M. Nasir sebagai nakhoda.

Gelar sebagai ‘siswa besar’ bagi para pelajar di bangku pendidikan tinggi Indonesia, melahirkan konsekuensi sosial yang secara moral melegalisir posisinya sebagai ‘kelas’ baru dalam masyarakat. Untuk membenarkan hal tersebut, maka lahirnya pelabelan-pelabelan dengan tendesi heroisme seperti ‘agen perubahan’, ‘harapan nusa dan bangsa’, ‘kaum terdidik’, ‘kaum intelektual’ dan masih banyak yang lain. Selain sangat herois, label-label tersebut justru merupakan catatan historis kekalahan pelajar di universitas dalam mendefinisikan posisi kelasnya dalam masyarakat pasca-industri hari ini.

Mahasiswa di satu sisi, merepresentasikan latar belakang ekonomi keluarganya, namun juga secara perlahan membentuk identitasnya yang kemudian menjauh atau menegaskan kondisi-kondisi material sebelum ia masuk ke dalam perguruan tinggi. Hal ini tentu saja secara historis beririsan dengan kenyataan bahwa hadirnya institusi pendidikan, merupakan penampakan wajah pendidikan yang dipisahkan dari aktivitas harian (daily life activities) dan menjadi sebuah aktifitas khusus dan tersendiri.[3] Itu mengapa, sejarah berdirinya universitas merupakan penanda tercerabutnya pengetahuan dari masyarakat yang merupakan pemilik pengetahuan itu sendiri.[4]

Singkatnya, sejarah berdirinya perguruan tinggi lengkap dengan keberadaan ‘siswa besar’ sebagai penghuninya adalah wajah alienasi pendidikan itu sendiri. Itu mengapa persoalan-persoalan yang dihadapi pelajar di perguruan tinggi seperti kebijakan kampus, kurikulum, kualitas dan kuantitas tenaga pengajar, rendahnya kapasitas dan kapabilitas siswa, tidak bisa dipandang sebagai peristiwa aktual. Cara analisis tersebut justru menjauhkan pendidikan tinggi di Indonesia dari basis historis dan basis filosofis yang justru sangat penting agar kita dapat memahami akar persoalan hari ini. Permasalahan-permasalahan tersebut mesti dilihat dalam konteks historis bagaimana pendidikan berakar, dikreasikan, dijalankan dan berproses hingga hari ini.

Sejak pertama memasuki dunia perkuliahan pun, para mahasiswa diharuskan untuk mengikuti pelatihan penanaman karakter budak yang dinamakan ‘pendidikan berkarakter’. Hal ini bertujuan untuk mendegradasi potensi kritis para mahasiswa, mengimplan semangat dan hasrat berkompetisi serta penerimaan total terhadap seluruh pola operasi kapitalisme kognitif yang berjalan di dalam institusi pendidikan. Reorganisasi aturan-aturan dalam kampus pun mulai menjadi salah satu senjata utama dalam menciptakan ruang kerja yang kondusif dan bebas dari kritikan dan tekanan para pekerjanya. Beberapa kasus kekerasan akademik, termasuk kasus pemecatan yang menimpa empat mahasiswa UMI Makassar, menjadi bukti konkret bahwa pekerja mesti bekerja selagi berada dalam penjara.

Pengalaman yang didapat selama masa studi di kampus pun, baik formal maupun non-formal, seperti berpartisipasi proyek riset yang dikerjakan oleh dosen-dosen, bakti sosial, kegiatan ekstrakurikuler dan kelompok hobi semata-mata bukanlah sekadar ruang untuk mempraktikkan keterampilan yang di dapat dalam ruang kelas, melainkan sebagai bentuk akumulasi dan integrasi holistik untuk menjadi bagian dari pekerja kerah putih. Para sarjana ini kelak akan merawat kekuasaan negara dan kapital atas seluruh dimensi kehidupan masyarakat, dan terus mereproduksi bentuk masyarakat kapitalis modern.

 

Tentang Institusi Pendidikan Tinggi

Pandangan bahwa kampus adalah wahana pendidikan untuk ‘memanusiakan manusia’ perlahan memudar. Hal ini seiring terkuaknya berbagai macam kontroversi di dalamnya, seperti proyek-proyek kerjasama dengan berbagai macam perusahaan, waktu studi yang semakin ketat dan singkat, serta upaya-upaya menormalisasi kehidupan kampus agar sesuai dengan karakter produk yang akan dihasilkannya: pekerja yang patuh dan terampil.

Berubahnya kapitalisme dari bercorak industri menjadi pasca-industri, turut mengubah tatanan global. Pasokan tenaga kerja ‘kerah putih’ dibutuhkan secara besar-besaran. Karena itu peranan universitas dan lembaga pendidikan sejenis menjadi semakin vital sebagai pemasok. Dalam posisi ini, kampus senantiasa berusaha mengintegrasikan diri ke dalam tatanan ekonomi global sebagai perusahaan sektor pendidikan. Ini kemudian menempatkan mahasiswa ke dalam dua posisi yang saling berhubungan: sebagai pekerja, sekaligus komoditi.

Berbeda dengan kapitalisme industrial yang hanya menekankan kerja-kerja kampus sebagai sarana produksi pasokan pekerja cadangan semata, di dalam kapitalisme-kognitif kampus berperan memapankan bentuk masyarakat baru yang berbasis informasi, komunikasi, teknologi canggih. Hal ini ditempuh melalui aspek-aspek immaterial (kreativitas, ekspresi, ilmu pengetahuan, dsb), dimana komputerisasi, proses digitalisasi, bioteknologi, serta ilmu-ilmu sosial lainnya mampu mendukung aktivitas pasar dan menjadi semakin dibutuhkan oleh industri.

Karenanya, kampus berperan sebagai pabrik yang mengolah pasokan tenaga kerja untuk semakin cerdas dan cenderung sesuai dengan tatanan masyarakat baru ini. Sederhananya, di dalam tatanan ekonomi global yang berbasiskan informasi dan teknologi, para pekerja yang menguasai aspek-aspek kognitiflah (immaterial) yang paling dibutuhkan.

Kecenderungan berkembangnya kapitalisme-kognitif pun mengharuskan kampus untuk bisa segera mengatur ulang dan memastikan posisinya di dalam tatanan ekonomi global. Konsepsi mengenai Research University pun mulai diterapkan di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Sistem pendidikan pun lantas berbasis penelitian, mengingat hasil-hasil riset pun turut menjadi salah satu produk kampus yang bakal laku keras di pasaran.

Konsep ini merupakan hasil privatisasi dan korporatisasi kampus yang akhirnya bertransformasi menjadi perusahaan yang bergerak dalam industri pendidikan yang juga menghasilkan komoditi berupa sarjana, instruktur, dan pekerja kerah putih yang kompeten dan teralienasi satu sama lain. Untuk menunjang terciptanya atmosfir tersebut, maka diadakanlah berbagai macam pelatihan-pelatihan yang dianggap membantu tertanamnya aspek-aspek kognitif ke dalam diri para pelajarnya. Mulai dari diadakannya maka kuliah berbasis bisnis seperti kewirausahaan, seminar-seminar MLM (Multi-Level Marketing), dan rutinnya kegiatan ‘bursa kerja’ (job fair).

Itulah mengapa kurikulum, aturan-aturan akademik, serta para fasilitator menjadi salah satu instrumen yang dibutuhkan dalam menciptakan kondisi yang sesuai untuk memroduksi komoditi. Kerasnya aturan beserta sanksi akademik di kampus, yang terlihat jelas dalam beberapa tahun belakangan ini, merupakan indikasi bahwa lingkungan kampus memang didesain sedemikian rupa untuk menyamai lingkungan kerja, layaknya pabrik-pabrik yang memiliki jam kerja dan pengawasan yang ketat.

Di sisi lain, teknologi dan informasi menjadi salah satu modal utama kapitalisme abad ini, maka keberadaan teknologi canggih (termasuk di dalam lingkungan kampus) pun tak dapat dipandang sebagai penerapan kemajuan teknologi semata. Efisiensi, digitalisasi data, pengawasan-kontrol dan berkurangnya ruang-ruang interaksi langsung adalah tujuan utama.

Di dalam sistem pendidikan di level perguruan tinggi, penggunaan KRS elektronik, sentralisasi data, merupakan salah satu penerapan sistem pengawasan dan sistem kontrol. Perlahan dominasi dan kontrol birokrasi kampus semakin menguat, sementara ruang-ruang interaksi pun semakin menyempit. Hal ini semakin memacu agar suasana di kampus semakin mudah terkontrol; dengan memastikan orang-orang di dalamnya lebih terasing satu sama lain.

Layaknya pabrik, kampus mesti menyediakan kondisi yang menopang terciptanya atmosfir serupa dunia kerja, disertai pengawasan yang ketat. Kurikulum disusun sedemikian rupa agar bisa membentuk pekerja yang mampu bersaing di dunia kerja, kompeten dan menerima kapitalisme dengan baik. Tak pelak, beberapa jurusan dan mata kuliah yang tidak selaras dengan dunia eksploitasi pun dihapuskan. Jam-jam kuliah semakin diperpadat, masa studi pun kian dipersingkat. Pembatasan waktu studi menjadi patokan efisensi produksi, semuanya bertujuan untuk memastikan bahwa pasokan pekerja cadangan yang intelektual mampu diperoleh dalam jangka waktu yang singkat.

Penggunaan sistem penilaian pun semakin memacu persaingan, dan kelak akan mendorong dan menopang pola interaksi sosial yang mudah terkontrol. Pada titik ini, mahasiswa telah dilibatkan di dalam proses produksi dan karenanya dijadikan sebagai pekerja tidak diupah (unpaid labour) dalam menghasilkan komoditi berupa dirinya sendiri.

Melihat pergeseran posisi kampus di dalam tatanan ekonomi global, maka melihat kampus sebagai pabrik pun telah menjadi alternatif dalam analisis gerakan melawan otoritas kampus. Pandangan mengenai mahasiswa sebagai ‘borjuasi kecil’ juga mesti ditinjau kembali, mengingat di dalam ‘pabrik’ ini, mahasiswa merupakan pekerja yang bekerja untuk mempersiapkan diri sebagai pasokan tenaga kerja intelektual, dan memastikan bahwa dirinya terintegrasi dengan baik dalam sistem kapitalis.

Dengan universitas sebagai pabrik, maka mahasiswa maupun siapapun yang dinyatakan lulus dari institusi ini adalah produknya. Sebagai pekerja, para mahasiswa atau kader universitas bekerja dalam kurun waktu yang telah dibatasi untuk menciptakan komoditi berupa dirinya yang lebih berpendidikan, lebih ahli dalam suatu bidang, sesuai dengan kebutuhan ‘gizi’ perekonomian.

 

 

andre2Gambar diambil dari http://thecommune.files.wordpress.com

 

Kebuntuan Kebijakan Pendidikan Tinggi di Indonesia

Kebanyakan kritik terhadap dunia pendidikan tinggi di Indonesia datang dengan melihat kebijakan sebagai ‘hasil’. Cara pandang ini jelas adalah sebuah kesalahan, karena kebijakan pendidikan (educational policy) adalah ‘proses’ dan ‘hasil’ itu sendiri.[5] Ia sistematik, memiliki struktur dan pola yang dapat terbaca meski mengandung kompleksitas dalam penjabaran praktek dan tak jarang saling tumpang tindih. Bahwa kebijakan pendidikan tidak dapat dilepaskan dari tekanan politik dan merupakan bagian dari sistem politik itu sendiri, yang tujuannya adalah untuk mentransformasikan ‘konflik antar kelompok terkait sumber daya sosial dan nilai-nilai publik ke dalam bentuk kursus-kursus otoritarif yang akan menentukan perbandingan akses mereka’.[6]

Penunjukan menteri pendidikan misalnya, adalah sebuah transaksi politik. Ia tidak berlaku acak, namun sebaliknya hal tersebut memiliki pola yang dapat digambarkan. Lengkap dengan potensi konflik yang dikandungnya yang kemudian memiliki parameter yang dapat digambarkan dalam diagram.[7] Hal yang sama juga berlaku untuk setiap posisi struktural administratif dalam lembaga pendidikan. Hal ini menegasikan apa yang diyakini publik sebagai ‘profesionalisme’, ‘peluang kemungkinan’ dan ‘proses pemilihan yang adil’ sebagai faktor-faktor yang menentukan distribusi aktor-aktor administratif pemegang kekuasaan dalam dunia pendidikan. Singkatnya, tidak ada yang adil dan jujur dalam penentuan figur di institusi pendidikan.

Akses terhadap institusi pendidikan tinggi di contoh yang lain. Ia menggambarkan kompetisi yang tidak adil dari individu-individu yang datang dari berbagai kelompok sosial yang berbeda. Besar kecilnya kemungkinan untuk dapat diterima di sebuah perguruan tinggi sangat ditentukan dari seberapa besar akses yang dimiliki oleh kelompok sosial dari mana seorang pelajar berasal. Pilihan institusi pendidikan, fakultas hingga pemilihan jurusan oleh seorang pelajar di perguruan tinggi bukanlah sebuah pola acak yang terjadi karena unsur ‘ketidaksengajaan’.

Sebaran jumlah pelajar di Universitas Gadjah Mada yang berbanding jauh dengan jumlah pelajar di Universitas Cenderawasih atau Universitas Halu Uleo, harus dilihat sebagai gambaran numerik tentang gambaran dominasi dan konsentrasi modal dalam institusi pendidikan. Hal yang sama juga berlaku ketika kita menganalisis persoalan mengapa jumlah tenaga pengajar dengan kualifikasi doktor di Institut Teknologi Bandung jauh lebih tinggi dibanding jumlah doktor di Universitas Pattimura atau di Universitas Tirtayasa. Ketimpangan distribusi di atas bukanlah kecelakaan statistik, tapi merupakan hasil langsung dari cetak biru kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia.

Memandang contoh-contoh kasus di atas sebagai sebuah ketidaksengajaan justru menunjukkan lemahnya analisis kritis akan pola dan gerak dunia pendidikan di Indonesia.

Itu mengapa kemudian kritikan terhadap kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia, diarahkan untuk tidak menyasar figur. Sebaliknya, ia mesti menargetkan kerangka filosofis yang berdiri di belakang ‘sistem distribusi nilai’ yang kemudian dijalankan oleh aktor-aktor tersebut.

Ambil contoh adalah bagaimana lemahnya kritik terhadap keputusan Jokowi soal pendidikan di awal pemerintahannya. Bagaimana ia kemudian bersikukuh untuk membagi kementerian pendidikan di Indonesia menjadi dua kementerian terpisah secara administratif. Hal yang jika disikapi secara kritis, maka tampak jelas bahwa keputusan ini sebagai bentuk implementasi politik pendidikan di Indonesia yang makin menegaskan garis pengabdian institusi pendidikan sebagai pabrik penyedia tenaga kerja dan bukan sebagai ruang produksi pengetahuan. Dengan membagi kementerian ke dalam dua unit terpisah, Indonesia telah mengambil langkah maju untuk melakukan pemetaan pasar tenaga kerja. Pendidikan Dasar dan Menengah bertugas menyuplai pekerja dengan kemampuan teknis (buruh), serta Pendidikan Tinggi yang bertugas menyiapkan pekerja dengan kemampuan non-teknis (mandor).

Absennya dialog publik terkait transformasi radikal dalam anatomi pendidikan Indonesia tidaklah mengejutkan. Hal ini berjalan beriringan dengan degradasi serius terkait pemahaman bahwa pendidikan adalah sektor publik yang seharusnya mensyaratkan pelibatan publik dalam setiap pengambilan keputusan.[8] Pasifikasi dan pelumpuhan partisipasi publik dalam menentukan arah pendidikan menjadi bukti sejauh mana sukses privatisasi pendididikan. Menegaskan bahwa pendidikan telah benar-benar tidak lagi menjadi urusan bersama, namun telah menjadi persoalan untung-rugi.

Kritik-kritik parsial yang diajukan dan dipersoalkan Sartono dan Prayoga dalam artikel mereka, adalah bukti bagaimana ternyata kita masih gagal melihat secara holistik dan radikal persoalan pendidikan di Indonesia. Bahwa hal-hal yang mereka sebutkan dalam tulisan-tulisan tersebut merupakan bagian-bagian dari perangkat perilaku yang merupakan hasil langsung dari kebijakan pendidikan. Degradasi kapasitas dan kapabilitas pelajar di perguruan tinggi dalam memenuhi tugas kesarjanaannya adalah buah dari persoalan historis dan filosofis pendidikan di Indonesia.

Melihat persoalan pendidikan tinggi di Indonesia secara holistik dan radikal akan membuat kita bisa memahami, misalnya, mengapa dalam sepuluh tahun terakhir, kualitas skripsi sarjana muda[9] kita semakin merosot secara drastis? Mengapa dalam sepuluh tahun terakhir, riset-riset tesis sarjana di Indonesia justru semakin sedikit yang memberi manfaat terhadap komunitas-komunitas? Mengapa kemudian semakin jarang menemukan ‘siswa besar’ yang mampu mengartikulasikan pendapatnya secara lisan dan tulisan? Mengapa kemudian gerakan ‘siswa besar’ justru cenderung makin terjun bebas baik secara kuantitas dan kualitas?

 

Merumuskan Pedagogi Kritis Indonesia

Ketika Freire menulis Pedagogia do Oprimido, ia berangkat dari kenyataan faktual dengan pendekatan historis terkait kondisi pendidikan di Brazil dan Amerika Latin yang miskin secara akses dan kualitas. Tujuan pamflet Khayati yang berjudul De la misère en milieu étudiant, adalah kritik yang dialamatkan terhadap mahasiswa Prancis. Saat Giroux mulai menulis Theory and Resistance in Education: A Pedagogy for the Oppressed hingga kemudian menyelesaikan On Critical Pedagogy: Critical Pedagogy Today, ia mendasarkan kritiknya pada kondisi pendidikan di USA yang selalu dianggap jauh lebih maju, lebih terkemuka dan menjadi mercusuar bagi negara-negara di dunia ketiga. Atau ketika Callinicos merumuskan kritiknya dalam Universities in a Neoliberal World, ia sedang melihat kenyataan faktual secara radikal dan holistik dari perguruan-perguruan tinggi di negara-negara maju dan relasi eksploitatifnya dengan perguruan-perguruan tinggi di negara-negara dunia ketiga.

Artinya adalah, kita perlu berhenti untuk memakai kacamata orang lain untuk melihat pendidikan kita sendiri! Hari ini kita membutuhkan sebuah rumusan kritis tentang bagaimana dan apa yang dimaksudkan dengan pedagogi kritis dalam konteks Indonesia. Yang sejarah panjang pendidikannya terentang jauh sebelum Islam datang, seperti bagaimana Karsyan[10] berdiri dan kemudian menjadi basis awal berdirinya pesantren di masyarakat Islam pra-Indonesia. Bagaimana juga ke-Kristen-an yang dibawa oleh bangsa Eropa memberi warna dominan terhadap pendidikan di Indonesia. Bagaimana kekayaan pengetahuan masyarakat adat menjadi hal yang secara unik namun diacuhkan karena dianggap sebagai ancaman laten bagi penguasa. Bagaimana negara ini mendiamkan begitu saja ketika lebih dari 500.000 orang jadi korban pembantaian di akhir dekade 1960-an. Ini belum termasuk soal-soal kontemporer yang kita hadapi seperti Aceh, Papua, Alifuru dan ribuan kasus tanah yang merupakan konflik asimetris namun menjadi seperti pemandangan harian.

Kegalauan terhadap dunia pendidikan kita memang penting. Kegalauan itu mengandung sifat yang reformis. Namun ia perlu diasah agar menjadi revolusioner. Yaitu dengan mendorong kegalauan tersebut ke level yang lebih radikal dan holistik. Menggunakan pembacaan yang historis dan dialektik terhadap kegalauan tersebut, akan jauh lebih bermanfaat untuk memperkaya diskursus kritis kita terhadap kondisi pendidikan hari ini.

Sebab galau-galau yang hanya sekedar curhat artifisial, tidak akan membawa kita ke manapun. Itu yang saya temukan dalam artikel Sartono dan Prayoga!***

 

Penulis adalah peneliti lepas, mahasiswa pasca-sarjana di Mahasarakham University, Thailand.

 

————–

[1] Gerakan Mahasiswa, Riwayatmu Kini https://indoprogress.com/2014/12/gerakan-mahasiswa-riwayatmu-kini/

[2] Mahasiswa, Lembaga Bimbel dan Menteri Pendidikan https://indoprogress.com/2015/01/mahasiswa-lembaga-bimbel-dan-menteri-pendidikan/

[3] Raoul Vaneigem (2000), A Warning to Students of All Ages, New York: Not Bored lihat: http://www.notbored.org/avertissement.html

[4] Musthapha Khayati (1966), De la misère en milieu étudiant. http://www.esprit68.org/misere.html

[5] S. Taylor, F. Rizvi, B. Lingard, and M. Henry, (1997) Educational Policy and the Politics of Change, London: Routledge.

[6] G. Harman, (1984). “Conceptual and theoretical issues”, dalam J.R. Hough (ed.) Educational Policy: An International Survey, London: Croom Helm. (pp.16)

[7] Less Bell & Howard Stevenson. (2006). Education Policy: Process, Themes and Impact. London: Routledge

[8] Tarli Nugroho & Andre Barahamin (September 2014), “Regarding Research and Our Higher Education”. Materi diskusi di ASEAN Classroom Program (ACP) Faculty of Education, Mahasarakham University, Thailand.

[9] Sarjana muda yang saya maksud adalah mahasiswa strata-1

[10] Karsyan adalah jenis institusi pendidikan yang marak hadir di masyarakat Hindu-Buddha pra-Islam di Indonesia. Lebih jauh baca: S. Nasution (2001), Sejarah Pendidikan Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.