Blusukan, Ilusi Kedaulatan Rakyat di Media?

Print Friendly, PDF & Email

BEBERAPA waktu lalu (27/12/2014), penulis menyaksikan liputan khusus akhir tahun dari sebuah TV swasta tentang perkembangan politik kenegaraan di tahun 2014 ini. Di salah satu bagian liputannya, stasiun TV tersebut menyebut bahwa ada pergeseran paradigma pemerintahan dari pemerintahan berbasis laporan ke arah pemerintahan berdasarkan aspirasi rakyat. Motor pergeserannya tidak lain adalah pola pengurusan negara yang dipraktikkan oleh Presiden Joko Widodo dengan mengandalkan blusukan.

Penulis melihat ada lompatan logika yang mendelegitimasi banyak hal dalam susunan premis yang disusun oleh stasiun TV tersebut untuk mengambil kesimpulan bahwa ada pergeseran paradigma pemerintahan. Pertama dapat kita uji dengan kebijakan yang paling dirasakan rakyat, yaitu pengalihan subsidi bahan bakar minyak (BBM). Istilah pengalihan subsidi di sini mengikuti istilah resmi yang dikeluarkan pemerintah, walaupun entah pengalihan subsidi, pengurangan subsidi atau pencabutan subsidi tetap sama saja: bermuara pada kenaikan harga bahan bakar minyak lalu menjalar pada melonjaknya biaya produksi dan distribusi barang dan jasa hingga menjadi alasan kenaikan harga barang dan jasa, lalu pada akhirnya menaikkan inflasi dan menggerus daya beli masyarakat. Pengambilan pengalihan subsidi BBM sebagai penguji logika pemerintahan berbasis blusukan penting, karena apakah memang presiden telah mengumpulkan aspirasi beratus juta warga negara Indonesia atau bisa saja diwakili oleh puluhan juta rakyat miskin sebagai legitimasi kebijakan? Atau masih mengandalkan laporan akan hitungan para pakar tentang pola perekonomian yang sehat dan baik untuk masyarakat?

Jika dirunut secara kronologis, kebijakan pengalihan subsidi BBM Presiden Joko Widodo, sudah tercantum dalam daftar program yang akan dilaksanakan jika terpilih. Makin nampak niatannya itu saat dia masih berstatus presiden terpilih yang belum dilantik menjadi Presiden Indonesia. Saat itu, presiden terpilih ini meminta presiden yang masih menjabat, yakni Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengurangi beban subsidi BBM pada APBN 2014. Alasannya, subsidi itu telah menguras anggaran serta mempersempit ruang fiskal sebagai modal untuk membangun infrastruktur.

Bisa dikatakan, rumusan kesimpulan stasiun TV tentang tentang kembalinya kedaulatan rakyat melalui blusukan sebagai legitimasi kebijakan, tergusur dengan sendirinya dengan rangkaian realitas yang disusun dalam rangka mendeteksi perjalanan ide dari sebuah kebijakan. Hasil perbincangan para pakar di ruang diskursif politiklah yang masih menjadi ruh kebijakan. Sedangkan posisi rakyat masih menjadi pihak yang dibicarakan dalam pembicaraan tanpa diajak bicara. Rakyat tetap berada pada posisi subdiornat.

Kedua, stasiun TV swasta tersebut telah alpa meninjau aspek infrastruktur kekuasaan dalam menilai kebijakan. Kebijakan politik pasti lahir pertarungan kekuasaan. Kekuatan infrastruktur kekuasaan itulah yang menentukan menang tidaknya gagasan otentik sang presiden dalam pertarungan tersebut.

Presiden tidak dapat dinilai semata dengan prerogratifnya dalam menjalankan pemerintahan. Presiden berada dalam struktur politik yang di dalamnya terdapat banyak agen kekuasaan dengan beragam motif keberadaannya. Kehadiran partai politik sebagai agen kekuasaan paling kuat, karena seseorang semata-mata dapat menjadi presiden jika dia diusulkan dari partai politik. Semakin banyak partai politik tergabung dalam struktur kekuasaan, semakin kita harus menakar keberpengaruhan sikap politik dari partai politik tersebut. Tentu saja bukan sikap politik yang hadir dalam permukaan berita media massa, tetapi sikap politik yang kita rekonstruksi dari rekam jejak partai politik, rekam jejak agen di dalam partai politik, dan pemegang saham mayoritas di tubuh partai politik. Kita pun harus menakar posisi presiden dalam proses pengambilan sikap politik partai politik sebagai pemegang saham mayoritas atau berada pada posisi yang rentan dibajak oleh struktur kekuasaan partai politik?

Politik biaya tinggi menyisakan ruang kesempatan bagi pemegang kekuatan kapital untuk menyimpan sahamnya di kekuasaan politik. Sumbangan pemegang kekuatan kapital ini diberikan kepada calon-calon penguasa politik yang membutuhkan biaya dalam rangka menyelenggarakan usaha-usaha meraih kekuasaan. Usaha-usaha berbiaya mahal tersebut bukan saja mengarah pada upaya menyuap calon pemilih dengan uang, membajak penyelenggara pemilihan umum untuk bertindak curang atau mengondisikan arus informasi yang diterima oleh calon pemilih, tetapi hanya dengan melihat keadaan geografis Indonesia yang luas dengan dipisahkan lautan dan persebaran penduduknya yang harus dijangkau pun sudah dapat diterka betapa mahalnya ongkos itu. Maka pemegang kapital adalah agen yang harus dimasukkan dalam infrastruktur kekuasaan, sebagai pihak yang ikut bertarung dalam menentukan kebijakan.

Pemegang kapital tentu tidak dapat dipisahkan dari motif akumulasi kapital. Kepentingan mereka semata-mata adalah persaingan memperebutkan konsumen dan investasi dengan memanfaatkan infrastruktur yang paling mendasar dalam kehidupan ekonomi sebuah negara, yaitu regulasi yang dikeluarkan oleh pemegang kekuasaan politik. Tidak heran, pemegang kapital dengan ringan tangan mengalirkan dana tak terbatas untuk merebut ruh dari sebuah regulasi yang seharusnya menjadi alat distribusi kemakmuran ke seluruh rakyat menjadi alat untuk mengakumulasi kapital. Robert Reich menyebutnya sebagai supercapitalism, sebuah konsep yang melukiskan kompetisi bisnis telah merambah dunia politik. Dengan kata lain, kapitalisme telah membajak demokrasi. Pada saat kapitalisme diam-diam menjalarkan tentakel-tentakelnya menghisap kekayaaan negeri, demokrasi justru terjangkit penyakit lumpuh layu dalam menghadirkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dibanding dua agen yang telah dibahas sebelumnya, kehadiran rakyat dalam pertarungan kekuasaan adalah paling lemah. Dalam demokrasi prosedural, kehadiran rakyat senyatanya hanya terbatas pada momen perebutan kekuasaan seperti pemilu, sedangkan pada momen penggunaan kekuasaan, seperti perumusan kebijakan atau paripurna pembahasan rancangan undang-undang, rakyat hanya menjadi objek yang dibicarakan tanpa bisa menjadi subjek yang dapat melakukan sesuatu. Suara rakyat di Pemilu pun bukanlah suara Tuhan yang benar-benar menentukan, seperti slogan asal bangsa Latin, karena suara rakyat telah mengalami proses pengkondisian yang rumit, tidak jarang dibajak oleh suap berupa uang beberapa puluh ribu, belum lagi saluran suaranya rentan dibajak (banyak penyelenggara dan pengawas pemilu dipenjara karena penyalahgunaan kewenangan dengan melakukan kecurangan) atau saluran informasi yang ada memang dimaksudkan untuk menggiring opini agar bertindak sesuai agenda setting (hal ini dapat terjadi jika kepemilikan kapital di industri media telah menjadikan media sebagai alat kekuasaan). Jadi suara rakyat adalah suara Tuhan hanya menjadi slogan romantis pelipur lara agar keadaan psikologis rakyat tetap dengan ilusi kedaulatannya.

Penjelasan aspirasi rakyat yang dilakukan dengan metode blusukan yang dilakukan Presiden Joko Widodo pun akan menjadi tuna guna, jika dalam pertarungan kekuasaan presiden berada dalam posisi yang bukan pemegang saham mayoritas di infrastruktur kekuasaan, sebagai arena perumusan kebijakan dan rentan dibajak kepentingan kelompok sempit seperti partai politik dan kelompok kapital. Rupanya stasiun TV yang berkesimpulan bahwa blusukan telah menggeser pola pemerintahan menjadi berbasis aspirasi rakyat hanya ingin menciptakan slogan pelipur lara lainnya, setelah suara rakyat adalah suara Tuhan sudah terlalu usang dan mainstream. Ya, memang sedang musimnya media massa, terutama stasiun TV (sebagai media massa paling banyak diakses oleh masyarakat) mereproduksi slogan-slogan romantis agar rakyat tetap tergenang dalam lautan ilusi kedaulatan. Hal itu bisa dimaklumi jika menengok kepemilikan kapital di grup media telah membajak alat keempat demokrasi ini menjadi sekedar alat kekuasaan, bukan alat pemantau kekuasaan sebagaimana seharusnya.

Jika televisi keterlaluan dalam memaksakan kesimpulan dalam menyajikan informasi atau keterlaluan merekayasa kebenaran, bolehlah kita belajar dari masyarakat kota Swidnik di Cekoslavia, yang selalu berjalan-jalan di kota dengan anjingnya setiap pukul 19.30, ketika berita pemerintah disiarkan. Atau di kota Gdanks di Polandia, dimana warganya mem balikkan televisi ke arah jendela menghadap jalan. Mereka mengirim pesan bahwa ‘Kami tidak sudi menonton. Kami menolak kebenaran versi Anda’. Aksi itu merupakan protes harian dan solidaritas tanpa kata-kata. Protes mereka begitu sunyi.

Begitulah aksi protes itu diriwayatkan oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku Sembilan Elemen Jurnalisme, agar di kemudian hari kita cerdas dalam menerima informasi dan tegas dalam bersikap pada ketidakbenaran.***

 

Penulis adalah alumni Fakultas Ilmu Budaya Unsoed dan Mantan Pemimpin Umum LPM Sketsa

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.