Widodo: Mengabaikan Hal-hal Kecil adalah Kesalahan Besar

Print Friendly, PDF & Email

KONFLIK lahan dan perampasan tanah petani dalam beberapa tahun belakangan ramai terjadi di Indonesia. Tak jarang konflik tersebut diwarnai kriminalisasi hingga kekerasan terhadap petani yang memakan korban jiwa. Berbagai komunitas petani kemudian tak hanya pasrah melihat tanah mereka dijarah. Pelawanan harian, berorganisasi, hingga menggalang kekuatan dari luar komunitas dilakukan oleh para petani. Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) Kulon Progo merupakan salah satu bentuk upaya petani melawan penjarahan tanah.

Pada 1 April lalu, PPLP merayakan ulang tahunnya yang ke delapan. Artinya, sudah delapan tahun para petani di pesisir Kulon Progo bertahan dari gempuran proyek tambang PT Jogja Magasa Iron (JMI) yang disokong pemerintah. Proses para petani pesisir Kulon Progo mempertahankan lahannya diwarnai berbagai dinamika. Widodo, selaku koordinator bagian eksternal PPLP, mencatat dinamika tersebut dalam bukunya yang berjudul Menanam adalah Melawan (2013). Kontributor IndoPROGRESS Azhar Irfansyah dan Ferdhi Putra menemui Widodo di sela fundraising Sekolah Tani,  Forum Komunikasi Masyarakat Agraris (FKMA) yang dihelat di Jakarta pada 27-29 Maret lalu. Widodo menceritakan rencana penerbitan Menanam adalah Melawan jilid 2 dan perkembangan di pesisir Kulon Progo. Ia juga menegaskan pendapatnya tentang posisi politik akar rumput dalam menghadapi Pemilu 2014. Berikut adalah petikan wawancaranya.

Apa kabar Mas Wid? Dengar-dengar akan terbit Menanam adalah Melawan (MaM) jilid 2 setelah MaM jilid 1 suskes menyentil banyak orang? Kira-kira apa bahasan baru yang akan diangkat dalam buku berikutnya?

Kabar baik. Kami masih upayakan penerbitan buku itu. Ini pekerjaan rumah saya, teman-teman PPLP, dan solidaritas untuk menerbitkan MaM jilid 2.

Banyak kegalauan seperti dalam MaM jilid 1. Tapi banyak juga yang belum tertuang dan belum saya tuliskan. Saya ini kan petani yang harus ngurus lahan. Saya juga harus terlibat dalam PPLP agar menang dalam perjuangannya.  Jadi waktu saya banyak terbagi.  Garis besar dalam MaM jilid 2 tetap sama dengan MaM jilid 1, yaitu bagaimana petani di pesisir Kulon Progo olah tani dan memperjuangkan lahannya.

Ada dari perkembangan terbaru di pesisir, ada juga kegalauan masa lalu yang luput kutulis dalam MaM jilid 1. Selain itu ada juga otokritik atas bangunan gerakan petani di Indonesia yang banyak menemui kegagalan. Yang terakhir ini menjadi salah satu kegelisahan saya juga. Kenapa sih petani ini selalu dikorbankan, tak bisa menentukan hidupnya, selalu ditekan oleh kekuatan besar. Sebetulnya petani itu bisa melawan kekuatan besar itu tapi seringkali perlawanan tak dilakukan. Ini jadi cara kami untuk belajar dari pengalaman. Nanti kalau ada yang baca monggo, tapi kalau nggak ada yang baca juga tak apa. Ini kan catatan harian pribadi.

Ada juga kegagalan di salah satu desa kami yang akhirnya melepas lahan ke PT JMI, yaitu desa Karangwuni. Artinya dalam catatanku juga ada kegagalan gerakan kami sendiri. Jadi kami berharap kegagalan yang terjadi dalam gerakan kami tak terjadi di gerakan lain, kegagalan gerakan lain tak terjadi pada kami.

Selain itu saya juga mencatat teman-teman jaringan solidaritas yang melakukan bentuk-bentuk gerakan konkret dalam membantu perjuangan petani di Kulon Progo. Karena biarpun kecil, solidaritas tersebut jadi motivasi bagi kami. Bagi saya kampanye yang menyebarkan keberhasilan dan keresahan kami itu penting.

Apa bentuk konkret dari solidaritas yang Mas Wid maksud?

Dulu sudah dibahas dalam MaM jilid 1, tapi dalam MaM jilid 2 akan diangkat kembali. Contohnya membuat karya-karya dengan tema perlawanan di pesisir Kulon Progo, atau menyuarakan apa yang terjadi di Kulon Progo. Bagi kami itu penting karena kami tidak bisa melakukan itu sendirian. Solidaritas melengkapi kami. Biarpun orang lain mungkin menganggap solidaritas tersebut hanya kecil-kecilan saja. Justru mengabaikan hal-hal kecil adalah kesalahan besar. Karena saya meyakini hal-hal besar pasti diawali dengan hal kecil. Nggak mungkin kita tiba-tiba jadi besar, pasti diawali dengan hal kecil.

Sejauh ini, bagaimana Mas melihat perkembangan di pesisir Kulon Progo belakangan ini?

Nah, soal Kulon Progo saya mau cerita tentang bagaimana Karangwuni lepas. Ternyata di Karangwuni banyak intimidasi. Ini saya ketahui setelah banyak ngobrol dengan teman-teman dan saudara-saudara saya di Karangwuni. Intimidasi-intimidasi tersebut dilakukan oleh pemerintah dan kaki tangan PT JMI.  Karena intimidasi itu juga akhirnya banyak warga melepas lahannya. Itu akibat dari gerakan akar rumput tak mengetahui arti perjuangannya sendiri. Sejak awal warga dari Karangwuni memang kurang solid dengan perjuangan PPLP. Ketika kami gelar acara-acara, yang datang itu-itu saja. Akhirnya yang menolak melepas lahannya ya itu-itu saja. Ini pukulan bagi kami, tapi juga pelajaran. Kami mengaku melakukan kesalahan di Karangwuni. Tapi kami jadikan pelajaran yang serius. Dalam tulisan saya, saya bilang agar kesalahan semacam ini jangan sampai terjadi baik di Kulon Progo maupun di komunitas lain.

Mas Wid tadi bilang, mengabaikan hal kecil adalah kesalahan besar. Hal kecil apa yang PPLP abaikan sehingga Karangwuni akhirnya lepas?

Kami terlalu santai karena beranggapan situasi di Karangwuni kondusif. Tapi ternyata ada penyusup yang merupakan warga Karangwuni sendiri. Di sini kami merasa kecolongan, karena pada awalnya kami tidak terlalu merespon. Artinya, kami juga kurang berkomunikasi dengan warga Karangwuni secara langsung. Si penyusup itu banyak melakukan provokasi. Dia bahkan bisa membuat warga tak percaya pada PPLP. Argumen penyusup itu: berjuang dengan PPLP itu nggak dapat apa-apa. Kami pun tidak merespon provokasi-provokasi itu sampai akhirnya Karangwuni lepas. Sampai sekarang saya masih merasa terpukul lantaran ada salah satu warga Karangwuni yang menangis di teras rumah saya lantaran terlanjur melepas lahannya.. Tapi ya mau apa lagi?

Mas Wid sering mengatakan bahwa agenda PPLP adalah mempertahankan ruang hidup. Apa makna ruang hidup bagi mas Wid?

Ruang hidup adalah kehidupan itu sendiri. Di dalamnya, kita memenuhi kebutuhan, berinteraksi dengan makhluk hidup lain. Tidak hanya sesama manusia tapi juga semua makhluk hidup. Inilah ruang hidup yang kita pertahankan. Ruang hidup itu bagi kami adalah tanah. Bahkan kalau nanti kami mati pun akan kembali ke tanah. Kami nggak bisa membayangkan bagaimana jika tanah kami dirampas oleh korporasi atau pemodal. Apapun itu bentuknya, tidak hanya korporasi tambang. Nantinya 100 tahun lagi akan jadi apa kehidupan setelah semuanya tergusur oleh korporasi?

Ruang hidup itu juga leluhur. Sejarah bagaimana kita menjadi ada. Kalau semuanya sudah direbut oleh korporasi, semuanya akan hilang. Sehingga bagi kami, ruang hidup harus dipertahankan sampai kapan pun dan dengan cara apa pun.

Menurut Mas Wid, bagaimana cara mempertahankan ruang hidup itu?

Cara yang paling efektif bagi kami para petani adalah menanam. Tapi persoalan ruang hidup itu bukan hanya persoalannya petani saja. Semua kita yang hidup ini terancam ruang hidupnya oleh korporasi. Bahkan pelakunya pun terancam juga. Nanti jika tanah tak ada lagi yang bisa ditanami, lalu mau apa lagi? Kalau pohon terakhir ditumbangkan, akan seperti apa? Kalau ikan yang terakhir sudah ditangkap dari sungai atau laut, akan seperti apa? Apakah uang bisa menjawab semua itu? Makanya, sampai kapan pun saya akan melakukan sesuatu untuk mempertahankan apa yang namanya ruang hidup.

Dalam waktu dekat, kita akan menyelenggarakan pemilu.  Jokowi yang diributkan di sosial media sebagai calon presiden yang merakyat. Bagaimana pengaruh pemilu menurut mas wid dalam agenda petani mempertahankan ruang hidup?

Itu pertanyaan keliru . Jangan tanya hal semacam itu kepada saya, tapi kepada mereka yang membutuhkan Pemilu. Saya ini tidak butuh Pemilu. Yang saya butuhkan adalah cangkul, tanah, arit, dan bibit. Itu saja. Saya tidak butuh Pemilu, jadi saya nggak bisa jawab pertanyaan soal Pemilu.  Soalnya, politik akar rumput itu hanya berbicara soal apa yang paling dibutuhkan masyarakat tertindas. Dan kami ini sebagai masyarakat akar rumput sering dipaksa. Sebagai petani saya dipaksa menjual tanah, kami juga dipaksa mengikuti skema pasar, sekarang kami juga dipaksa memilih dalam Pemilu 2014 karena katanya nasib saya ditentukan lewat situ. Jadi kalau menurutku Pemilu 2014 itu pemaksaan. Persetan lah jargon-jargon demokrasi itu. Soalnya, ini bukan kesepakatan bersama, saya tiba-tiba disuruh memilih oleh negara. Bahkan ada yang menyebut golput itu kriminal. Ini kan jelas makin ketara kalau Pemilu 2014 itu pemaksaan. Akhir-akhir ini kan banyak gerakan di Indonesia adalah gerakan elit. Banyak yang berhasil pada awalnya tapi akhirnya hanya jadi sebuah cerita. Karena pada akhirnya keberhasilan itu dimanfaatkan oleh kepentingan-kepentingan yang sifatnya elitis. Kejadian seperti itu banyak sekali. Elit punya banyak cara untuk memanfaatkan gerakan di akar rumput. Kami bertahun-tahun bergerak tanpa ikut-ikutan Pemilu. Kami adalah bukti konkret bahwa kebijakan para pemimpin itu tidak pernah mewakili kami.

Apa Mas Wid sendiri percaya Jokowi yang selama ini dipandang merakyat?

Tidak. Kalau percaya Jokowi, saya jadi musyrik namanya. Hahaha..

Harapan mas Wid terhadap gerakan petani setelah 2014 ini bagaimana?

Saya tidak mau muluk-muluk. Gerakan petani harus sadar dengan apa yang dilakukan, itu saja. Misalnya harus sadar bertani untuk siapa. Ketika tanahnya dirampas juga sadar akan konsekuesinya. Ketika melawan harus sadar siapa yang dilawan dan apa yang dipertahankan. Ketika aktivis-aktivis itu hanya sekedar gagah-gagahan dan tidak dengan kesadaran apa yang dilakukan para petani, maka petani akan selalu ditindas dan disingkirkan. Karena petani, terlebih kami ini petani gurem, adalah musuh kapital yang sebenarnya.

Bagaimana maksud Mas Wid bahwa petani gurem adalah musuh Kapital yang sebenarnya?’

Petani gurem ini tak bisa dikendalikan secara langsung. Makanya, kapital mengendalikan petani gurem lewat kebijakan. Kapital juga pasti berupaya merebut tanah petani gurem. Kalau pertanian korporasi itu hanya memikirkan keuntungan dengan memenuhi kebutuhan komoditas pasar global. Mereka tidak memikirkan masyarakat sekitar dan keluarganya itu makan apa. Petani korporasi itu mudah sekali dikendalikan kapital. Sementara petani gurem adalah mereka yang tanahnya terbatas, sehingga mereka pertama-tama bukan berpikir hasil yang dijual tapi pemenuhan kebutuhan keluarganya. Sayangnya generasi muda sekarang jarang ada yang mau bertani karena bertani itu dianggap susah dan menderita. Seringkali dibilang lebih enak jadi tentara, artis, atau presiden. Padahal kalau nggak ada petani kita ini mau makan apa.

Terakhir, Mas. Ini di luar konteks agraria. Apa pesan untuk Pemilu 2014?

Saya nggak punya pesan. Karena saya nggak butuh pemilu, nggak butuh presiden, nggak butuh legislatif. Yang saya butuhkan hanya tanah.***

 

Azhar Irfansyah, Pegiat Sekolah Rabu Buruh Yogyakarta

Ferdhi Putra, pegiat Solidaritas Tolak Tambang Besi Kulonprogo

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.