Saya Ingin Pulang

Print Friendly, PDF & Email

Kisah Pengungsi Ahmadiyah Yang Merindu Keluarga

‘SAYA INGIN PULANG. Bagaimana caranya?’ Itu kalimat pertama yang menyambut saya ketika bertemu Sutarno bin Mattori, akrab dipangil Tarno, muslim Ahmadiyah di Cikeusik, yang menjadi korban serangan 6 Februari 2011.

Hampir delapan bulan Tarno mengungsi di sebuah rumah milik jemaat Ahmadiyah di pinggiran Jakarta, terpisah dari istri dan kedua anaknya, Hendra dan Asrip. Kerinduannya tak tertahankan, terutama pada bungsu yang dilihat terakhir kali ketika baru berusia 40 hari.

Nggak tahu saya sekarang sudah bisa apa dia. Pasti lagi lucu-lucunya,’ ujar Tarno. Matanya menerawang, memandang ke suatu titik di mana ingatannya membayang. Mungkin, dengan begitu, pandangannya makin lekat dengan Asrip.

 

Tarno mendapati dirinya tak bisa pulang dengan bebas setelah sekitar 1,500 orang menyerang, menghancurkan rumah, dan membunuh tiga Ahmadi: Roni Pasaroni, Warsono dan Tubagus Chandra. Pagi, Minggu, awal Februari itu, rumah Ismail Suparman, mubaligh Ahmadiyah Cikeusik, pusat kegiatan 25 Ahmadi di desa Umbulan, jadi sasaran kemarahan dan kebencian. Para penyerang menyasar 20 Ahmadi, termasuk Tarno, yang berusaha mempertahankan rumah tersebut.

Dia diminta Suparman, kakaknya sendiri, untuk jaga rumah dua hari sebelum serangan. Polisi membawa Suparman ke Polres Pandeglang pada 5 Februari dengan alasan ‘keamanan.’

Tarno tinggal selama lima tahun terakhir di desa Pasir Gebang, kecamatan Wanasalam, berjarak 3 kilometer dari Umbulan. Anak sulungnya, Rosanti, tinggal di rumah Suparman. Belakangan, setelah penyerangan, Rosanti ikut mengungsi bersama dia, lantas dipindahkan ke tempat lain agar bisa meneruskan sekolah. Pada saat kejadian, Tarno tengah sarapan nasi kuning ketika para penyerang mendatangi pekarangan depan rumah Suparman. Bingung dan panik, dia keluar rumah yang justru disambut lemparan batu diselingi hujatan dan, dalam menit-menit penyerangan, sebagian dari para penyerang mengambil golok dari balik jaket, mengejar-ngejar para Ahmadi.

‘Saya berusaha melawan, tapi mana bisa?! Kita cuma segitu,’ ucapnya.

Kalah jauh dalam jumlah, Tarno memilih menyelamatkan diri.  Semua terpencar. ‘Saya nggak tahu kondisi saudara yang lain.’

Dia sempat bersembunyi dua hari di hutan, sebelum akhirnya ditemukan Nayati, adik iparnya, dan akhirnya ikut bersama korban Cikeusik yang lain.

Demi alasan keamanan, Tarno terpaksa menitipkan istri dan kedua anak ke rumah mertua di desa Sumur Batu, sekitar 2,5 kilometer dari Umbulan. Kata Tarno, kelompok penyerang masih mencari-cari dia dan keluarga.

‘Istri sebetulnya pingin nyusul saya ke sini. Biar kita bisa kumpul lagi. Tapi nggak bisa. Istri dan keluarga istri saya ditekan sama warga dan kyai di sana. Katanya, ‘Kalau nyusul saya, berarti ikut jadi jemaat Ahmadiyah, kalau gitu jangan berharap bisa pulang lagi.’ Istri Tarno bukan anggota jemaat Ahmadiyah. Istrinya bersikap wajar atas pilihan keyakinan Tarno.

Pengikut Ahmadiyah menyebut dirinya ‘Muslim’ dan percaya Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Ahamdiyah dari Qadian, sebagai Imam Mahdi, yang melaksanakan ajaran atau syariat Nabi Muhammad—nabi terakhir umat Muslim. Sebagian besar mazhab Islam, terutama kalangan Wahabi,  menganggap Ahmadiyah ‘kafir.’ Organisasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia diakui pemerintahan Sukarno pada 1953. Pada 2005, Majelis Ulama Indonesia, sebuah badan semi-pemerintah yang dibentuk rezim Soeharto, mengeluarkan fatwa anti-Ahmadiyah pada 2005, meneruskan fatwa serupa pada 1980. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan surat keputusan bersama tiga menteri pada 2008, yang melarang kegiatan Ahmadiyah di depan publik, dengan ancaman lima tahun penjara. Banyak peristiwa kekerasan anti-Ahmadiyah di daerah-daerah, termasuk pembunuhan di Cikeusik, didorong oleh keputusan bersama tiga menteri tersebut.

Muslim Ahmadiyah merasa tak ada yang salah dan keliru dengan keyakinannya—jika pun alasan itu yang dipakai untuk penyerangan, pengusiran, dan pembunuhan.

‘Mereka sebetulnya nggak punya alasan nyerang keluarga saya. Apa dasarnya? Keluarga saya selalu baik pergaulannya dengan tetangga,’ kata Tarno dengan raut muka muram.

Delapan bulan di pengungsian, tanpa anak-istri, tanpa pekerjaan tetap, ‘cukup sudah,’ kata Tarno. Dia ingin pulang. Kerinduannya mengalir deras. Dinding itu runtuh.

‘Sebagai suami tugas saya melindungi istri saya. Sebagai bapak, saya harus ada buat melindungi anak-anak saya. Gimana nasib mereka kalau bapaknya di sini terus?!’

‘Saya juga mesti menyelamatkan aset keluarga saya. Rumah, sawah, dan kebun.’

Kekhawatiran Tarno memuncak saat saudaranya, Maryani dan Miun, menelpon. Mereka bilang rumah keluarga di desa Umbulan dijarah, perabot rumah tangga hilang, kusen-kusen dipreteli.

Kisah warga Ahmadiyah di Lombok jadi cermin Tarno. Hingga enam tahun berlalu, muslim Ahmadiyah di Lombok terasingkan di tempat penampungan Transito, sebuah bangunan pemerintah di Mataram. Hidup mereka terberai dari sanak keluarga. Mereka sudah tak bisa pulang. Setiap upaya pulang selalu diganjar penyerangan oleh kelompok anti-Ahmadiyah. Pemerintah abai.

Keinginan melindungi anak-istri dan menjaga aset keluarga jadi pendorong kuat bagi Tarno untuk segera pulang. Apalagi Hendra, anak keduanya, sering bertanya ’Kapan bapak pulang?’ tutur Tarno setiap anaknya itu menelpon dirinya. Saya cuma bisa bilang, ’Sabar ya. Nanti bapak pulang.’

Hendra sempat bertanya kepada ibunya, kenapa bapak tak kunjung pulang? ‘Istri saya nggak cerita kejadian sebenarnya. Dia cuma bilang, ’Bapak takut’. Anak saya tanya, ‘Takut kenapa?’ Ibunya bilang, ’Bapak takut pulang soalnya dikejar-kejar orang’,’ cerita Tarno. Senyum tipis tersungging di bibirnya.

‘Terus anak saya nelpon. Dia bilang, ’Kalau pulang lewat hutan aja, Pak, kalau takut ketemu orang mah. Kan di hutan nggak ada orang,’ ujar Tarno, kali ini sambil tertawa lebar, teringat celoteh polos Hendra.

Telpon ditutup dengan janji yang tak kunjung dipenuhi Tarno, ‘Nanti bapak pulang lebaran.’

Nyatanya lebaran dilewati Tarno di sebuah rumah milik jemaat Ahmadiyah di pinggiran Jakarta. Ini lebaran pertamanya tanpa keutuhan keluarga.

‘Saya pingin pulang. Saya minta perlindungan biar aman, minta jaminan kalau saya pulang ke Umbulan, nggak akan ada lagi demo-demo, nggak ada serangan. Saya mau minta ke Mabes Polri. Kalau perlu saya dianter, supaya yakin aman.’

Meski hanya sekitar 6 jam dengan mobil menuju kampungnya dari Jakarta, tetapi, bagi Tarno, kata pulang seolah membentang jarak dan waktu tanpa perhentian; terlipat dalam ingatannya.

Dia mengenang ucapan Hendra, ‘Bapak, kapan pulang?  Kalau pulang beli kurma, sepeda, beli jeruk ya, Pak…”***

Liza Desylanhi, penulis lepas, mantan jurnalis radio ABC, Australia

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.