Bisnis Pahit Kelapa Sawit (2-Selesai)

Print Friendly, PDF & Email

Kasus Sumatera Utara

Dampak negatif ekspansi perkebunan kelapa sawit:

Dampak negatif ekspansi perkebunan kelapa sawit di Nusantara, meliputi sedikitnya lima bidang, yaitu (a) penyerobotan tanah penduduk; (b) tergusurnya plasma nuftah dan budaya-budaya lokal; (c) persaingan dengan sumber-sumber pangan lokal; (d) pengurasan air tanah; (e) pemanasan global karena pelepasan gas-gas rumah kaca; khususnya gas karbon mono-oksida; (e) eksploitasi buruh, khususnya buruh perempuan.

(A). Penyerobotan Tanah Penduduk Setempat:

Seperti terjadi pada kasus PT Nauli Sawit, pengadaan tanah untuk korporasi perkebunan kelapa sawit sering kali dimulai dengan penyerobotan tanah rakyat. Jumlah “ganti rugi” bagi pemilik tanah sebelumnya sangat merugikan rakyat setempat, sehingga meninggalkan kebencian rakyat setempat terhadap pemilik-pemilik baru yang jauh lebih kuat.

Kebencian rakyat setempat dapat disembunyikan selama masa kediktatoran Soeharto, namun siap meledak setelah kejatuhan sang diktator. Setahun sesudah lengsernya sang diktator, masyarakat di seputar perkebunan PT Socfindo Seunagan di Kec. Kuala, Kab. Nagan Raya (dahulu bagian dari Kab. Aceh Barat) berdemo di depan rumah Administrator perkebunan di sebelah barat bandara Tjut Nyak Dhien, kemudian membakar rumah itu. Beberapa rumah Asisten di dekatnya ikut terbakar. Letupan kemarahan itu mencerminkan kebencian rakyat sepuluh desa yang bermukim di lahan hak guna usaha (HGU) perkebunan bermodal Belgia itu. Tampaknya mereka tidak lupa bagaimana perluasan perkebunan itu di tahun 1960-an melibatkan kekerasan polisi dan militer.

(B). Tergusurnya Plasma Nuftah & Budaya-Budaya Lokal:

Kawasan-kawasan yang sudah, atau mau ditanami kelapa sawit, harus dibersihkan dari tanaman atau tetumbuhan setempat. Berarti, jenis-jenis palma lain yang sudah membudaya, seperti kelapa di Sulawesi dan Merauke, Papua, serta pinang di pesisir timur NAD, harus ditebang untuk diganti dengan sawit. Sedangkan di daerah perbukitan, sawit akan menggusur flora lokal yang besar manfaatnya bagi rakyat setempat, seperti cemara, kemenyan (haminjon), dan banyak pohon buah, seperti durian, nangka, dan sukun.

Tergusurnya plasma nutfah setempat tidak hanya menimbulkan erosi gizi, tapi juga erosi budaya. Dalam sistem ekologi tradisional suku Marind di Kab. Merauke, setiap marga punya tanggungjawab tradisional untuk menjaga kelestarian flora atau fauna tertentu. Marga Gebze, punya tanggungjawab menjaga kelestarian kelapa. Mahuze, menjaga kelestarian sagu dan anjing; Basik-basik, menjaga kelestarian babi hutan; Samkakai, menjaga kelestarian kanguru; Balagaize, menjaga kelestarian buaya; Kaize, menjaga kelestarian kayi, sejenis burung kasuari; Ndiken, menjaga kelestaran burung ndik; dan Yolmen, menjaga kelestarian burung elang. Makanya, proyek MIFE (Merauke Integrated Food and Energy) untuk membuka perkebunan sawit, ekaliptus, dan padi secara besar-besaran, dapat memotong basis kultural suku Marind. Khususnya rencana kelompok Sinar Mas untuk menanam sawit di Kab. Merauke, serta kelompok Korindo, yang ingin melebarkan sayap dari Kab. Boven Digoel ke Kab. Merauke juga.

Orang Batak Toba, juga punya ikatan kultural dengan flora tertentu, misalnya dengan pohon enau (bagot) penghasil nira, untuk membuat tuak. Pembabatan pohon enau untuk digantikan dengan kelapa sawit, dapat menurunkan penyadapan nira. Hal ini dapat mengurangi frekuensi para lelaki ber-lisoi-lisoi, tapi tidak tertutup kemungkinan miras lokal akan digantikan oleh miras pabrik, bahkan oleh miras impor.

Sementara itu, pembukaan hutan dan pembakaran semak belukar di awal penanaman kembali yang memicu kebakaran besar di Sumatera dan Kalimantan, telah menggugah kepedulian para konsumen di Eropa, karena kelestarian orang utan jadi terancam. Sampai-sampai Unilever, maskapai raksasa Belanda yang banyak mengimpor minyak kelapa sawit dari Indonesia, memutuskan kontraknya dengan Sinar Mas. Ini bermula dari kampanye Greenpeace bertema Burning Up Borneo, yang menggugah para konsumen Unilever. Peristiwa ini mendorong Derom Bangun, ketua umum GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia), turun tangan menjalankan operasi damage control terhadap Unilever (Bangun 2010: 23-32).

Selain oleh Unilever, boikot terhadap CPO Indonesia juga dilakukan oleh Nestle dan Kraft, karena pengusaha-pengusaha Indonesia dianggap telah melanggar prinsip pengelolaan sawit lestari sesuai kaidah-kaidah RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) (Investor, Feb. 2011: 53).

Juga, selain terhadap Sinar Mas, boikot Unilever juga dilakukan terhadap PT Dutapalma Nusantara (Darmex Group), dengan perkebunan sawit seluas 11,2 ribu hektar di Indragiri Hulu, Riau. Hal ini pasti sampai bergema ke Cikeas, sebab presiden komisaris (preskom) perusahaan ini, MayJen (Purn) Sardan Marbun, adalah putra Humbahas, Sumut, yang pernah jadi sekretaris militer SBY, dan juga menjadi preskom anggota Darmex Group yang lain, yakni PT Wana Jingga Timur, yang menguasai 4136 hektar kebun sawit di Riau (Bangun 2010: 25; CIC 2007: D32-D33, J14-J15, W4-W5; Investor, Feb. 2011: 53).

Selain mengganggu habitat orang utan, perkebunan-perkebunan sawit di Sumatera terbukti juga mengganggu habitat gajah dan harimau Sumatera, yang pada gilirannya membahayakan penduduk desa di kawasan sekitar perkebunan sawit. Contohnya, konflik segitiga antara penduduk, perusahaan perkebunan sawit (PTPN III dan PT Torganda) dan kawanan gajah di Desa Sigajah-gajah, Kec. Torgamba, Kab. Labuhan Batu Utara, Sumatera Utara (Lentera & Bakumsu 2010).

(C). Persaingan Dengan Sumber-Sumber Pangan Lokal:

Penggunaan minyak sawit untuk bahan bakar minyak alternatif juga mendorong perluasan perkebunan, yang memperparah perambahan hutan. Ini selanjutnya dipengaruhi dua faktor: satu, ancaman akan konversi lahan tanaman pangan menjadi perkebunan sawit; dua, meningkatnya kebutuhan bahan bakar minyak sehingga perlu dilakukannya penananaman kelapa sawit. Kedua hal ini memungkinkan kenaikan harga-harga pangan sebagai bahan pokok. Berbagai sumber pangan lokal jelas-jelas terancam oleh ekspansi sawit, terutama anggota-anggota keluarga palma yang lain, seperti kelapa, pinang, dan sagu. Masalah ini sangat mencemaskan di Tanah Mori di Sulawesi Tengah dan di Tanah Papua, di mana sagu sebagai makanan pokok bisa terganggu oleh ekspansi perkebunan kelapa sawit kelompok Sinar Mas.

(D). Pemanasan Global Karena Pelepasan Gas-Gas Rumah Kaca:

Seperti yang telah disinggung di depan, kelapa sawit hanya mampu menyerap 180 ton gas karbon mono-oksida, sedangkan gas karbon mono-oksida yang dikeluarkannya hampir tiga sampai tujuh kali lipat, atau 625 sampai 1357 ton. Sekarang bayangkan saja, berapa banyak pohon sawit terdapat di seluruh areal perkebunan kelapa sawit di seluruh Nusantara, yang berjumlah 7,32 juta hektar, yang merupakan porsi terluas dari seluruh perkebunan sawit di dunia yang total luasnya 12 juta hektar (Bangun 2010: xiii, 18; Ghani 2011).

Jadi bayangkan saja, berapa juta ton gas karbon mono-oksida merupakan “kontribusi” industri sawit di Nusantara. Kalau setiap hektar kebun sawit ditanami 143 batang pohon seperti di India (Kallarackal, Jeyakumar & George 2004: 46), maka 7,2 juta hektar dapat ditanami 1.029.600.000 atau lebih dari 1 milyar pohon. Maka seluruh areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia dapat menyemprotkan 625 sampai 1.357 milyar ton gas karbon mono-oksida ke udara!!!

(E). Pengurasan Air Tanah & Pencemaran Air Permukaan:

Perkebunan kelapa sawit, sangat mengganggu persediaan air tanah untuk tanaman lain, di luar kebun sawit, sebab pengurasan air tanah oleh perkebunan sawit sangat banyak. Satu batang pohon kelapa sawit, menyedot 20 sampai 40 liter sehari, dan dapat menyedot air sampai kedalaman 5,2 meter, seperti diamati di Pantai Gading, Afrika Barat (Kallarackal, Jeyakumar & George 2004: 52). Lalu, bagaimana dampak satu milyar batang pohon kelapa sawit, terhadap tata air tanah di sekitarnya???

Yang jelas, banyak penduduk di sekitar kawasan perkebunan mengeluh bahwa sungai di kampung mereka telah berkurang derasnya, bahkan mengering, dan kotor airnya, setelah bertetangga dengan perkebunan sawit. Air sumur mereka semakin dalam, seperti yang dialami penduduk di daerah Sanggau, Kalbar, serta frekuensi dan intensitas banjir semakin meningkat, seperti terjadi di bagian timur dan selatan Aceh dan daerah tetangga di provinsi Sumut, setelah masuknya perkebunan-perkebunan sawit di daerah-daerah itu (Marti 2008: 94-101).

(F). Eksploitasi Buruh, khususnya Buruh Perempuan:

Walaupun saya cantumkan ini yang terakhir, tidak berarti masalah ini tidak penting. Malah sebaliknya, kalau masalah-masalah di atas lebih bersifat makro dan punya dampak bagi orang banyak, malah sedunia, masalah perburuhan adalah apa yang sehari-hari terjadi di kebun sawit dan kilang pengolahan tandan buah segar (TBS) menjadi minyak sawit mentah alias crude palm oil (CPO).

Dari pengamatan Sus Yanti Kamil, mantan deputi direktur WALHI Sulawesi Tenggara (Sultra) di di perkebunan PTPN XIV, PT Sultra Prima Lestari, PTCelebes Agro Lestari, dan PT Damai Jaya Lestari seluas ribuan hektar di Kab. Konawe Utara di Sultra ada dua dimensi utama eksploitasi buruh perempuan, yakni (a) lemahnya perlindungan dan jaminan ketenagakerjaan buruh perempuan; dan (b) beban ganda dan pelabelan yang dialami buruh perempuan. Pelabelan yang dimaksud adalah alpanya pemberian cuti haid dan cuti melahirkan serta tidak tersedianya toilet bagi buruh perempuan, maupun buruh pada umumnya. Juga, buruh perempuan mendapatkan tugas-tugas sama seperti buruh laki-laki, seperti pembersihan semak belukar (land clearing), bahkan dalam keadaan haid dan hamil sekalipun, yang sangat berisiko terhadap kesehatan reproduksi mereka (Kamil 2010).

Eksploitas buruh, dan khususnya eksploitasi buruh perempuan selama Orde Baru dan sesudahnya, ikut difasilitasi oleh penindasan kebebasan dan hak-hak buruh yang dimulai sejak lahirnya rezim kediktatoran Jenderal Soeharto, dengan pembantaian ratusan ribu buruh, dengan dalih terlibat dalam organisasi buruh serikat organisasi buruh seluruh Indonesia (SOBSI) yang bernaung di bawah PKI. Khusus di Sumatera Utara, penindasan buruh perkebunan dirintis tahun 1966, dipicu oleh konflik antara buruh perkebunan dan petani yang menuntut haknya, di mana perusahaan-perusahaan perkebunan dilindungi oleh tentara, yang meletus dalam konflik berdarah di Bandar Betsy di Kabupaten Simalungun. Pembantaian ratusan buruh tani dan petani tak bertanah di Bandar Betsy, seperti di tempat-tempat lain di Jawa dan Bali, bercampur baur dengan pembunuhan-pembunuhan terhadap orang sekampung, yang sama sekali bukan anggota ormas-ormas progresif, seperti SOBSI dan ormas tani, BTI.

Penumpasan kebebasan berserikat dan hak-hak buruh ini, yang di sektor perkebunan tadinya sangat kuat di era Bung Karno (lihat Hasibuan 1968), kemudian menjadi pembuka jalan masuknya maskapai-maskapai perkebunan, di mana komoditi perkebunan berangsur-angsur diganti dari tembakau dan karet, ke kelapa sawit, demi memenuhi permintaan pasar internasional.

Selanjutnya, di era pemerintahan SBY I dan II, buruh PTPN kemudian dikembangkan menjadi komoditi politik, yang siap untuk dimobilisasi dalam aksi-aksi mendukung SBY. Ini difasilitasi antara lain dengan penempatan kroni-kroni SBY menjadi komisaris dari berbagai PTPN, yakni Heri Sebayang di PTPN III, Aam Sapulete di PTPN VII di Lampung, dan Mayjen Irvan Edison di PTPN IX di Jawa Tengah (CIC 2009: P49, P58; Aditjondro 2010: 86).

Elaeis Guineensis
Elaeis Guineensis

Kesimpulan

(1). Ekspansi perkebunan kelapa sawit di Nusantara selama dasawarsa terakhir, telah berjalan dengan gegap gempita, tanpa mempertimbangkan dampaknya bagi petani yang tergusur, tanpa mempertimbangkan bagaimana kaum buruh, khususnya buruh perempuan, dieksploitasi untuk mempertahankan produktivitasnya, serta tanpa mempertimbangkan daya dukung ekosistem setempat maupun pemanasan global yang timbul akibat produksi bermilyar-milyar ton gas karbon mono-oksida yang dilepas ke udara.

(2). Ekspansi yang begitu menggebu-gebu, terdorong oleh kekuatan politik para pebisnis yang menikmati kekebalan politik yang begitu tinggi, berkat kedekatan para kapitalis dengan penguasa politik, atau lewat ketumpangtindihan sebagian kapitalis kelapa sawit dengan partai-partai politik yang termasuk elit yang berkuasa di negara kita.

(3). Ekspansi perkebunan sawit di Indonesia, yang sudah mencapai lebih dari separuh luas perkebunan sawit di dunia, antara lain didukung oleh politik pintu terbuka bagi ekspansi perkebunan sawit dari Malaysia, di mana lahan untuk perkebunan ini, baik di Semenanjung maupun di Malaysia Timur, sudah sangat terbatas, sementara pulau-pulau besar di luar Jawa dianggap masih “kosong”.

Maklumlah, dalam konteks politik Indonesia, rakyat desa dan suku-suku kecil di luar Jawa dianggap masih terbelakang, tidak dapat memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia, dan apa yang mereka punya, termasuk budaya pangan, dianggap lebih “inferior” dari pada apa yang “diajarkan” pemerintah pada mereka. Sebagai contoh, seorang pengusaha besar, Arifin Panigoro, yang sudah mengincar “tanah kosong” di Kab. Merauke, bisa kasih ceramah pada mahasiswa-mahasiswa di Jawa, bagaimana ia”membangun” Tanah Papua, tanpa sedikitpun memahami bagaimana ia sebenarnya merusak ekosistem dan budaya lokal masyarakat Marind di Kab. Merauke dengan perkebunan ekaliptus dan pabrik pulpnya.

Contoh lain adalah bagaimana PT Toba Pulp Lestari milik Sukanto Tanoto, menuduh petani Batak di daerah Pollung, Humbahas, mencuri kemenyan (haminjon) dari areal konsesi PT TPL. Padahal kalau dilihat dari sudut hukum adat Batak, PT TPL lah pencuri kayu dari tombak haminjon yang sudah 13 generasi dirawat oleh marga-marga yang tinggal di sana.

(4). Makanya, ilusi “tanah kosong” yang dapat “diisi” dengan perkebunan-perkebunan sawit atau monokultur tanaman komersiil apapun, sudah harus ditinggalkan dengan mengangkat kembali martabat masyarakat-masyarakat pribumi yang sudah lebih dulu bermukim di kepulauan ini, jauh hari sebelum Republik Indonesia diproklamasikan.

(5). Di pihak lain, masyarakat-masyarakat pribumi yang berdiam di kepulauan ini, juga perlu menyadari diri sebagai bagian dari penghuni planet ini, yang juga perlu sama-sama merawat bumi ini, dengan mengurangi produksi gas-gas rumah kaca, yang dihasilkan oleh perkebunan sawit dan monokultur lainnya.

(6). Perkebunan-perkebunan skala besar dengan monokulturnya, pada dasarnya merupakan perkosaan terhadap kebhinekaan ekosistem dan sistem-sistem budaya kita, sehingga perkebunan-perkebunan besar hanya dapat diintroduksi dan dijaga, dengan mengandalkan ancaman kekerasan aparatur negara. Selanjutnya, aparatur negara yang menjadi “anjing herder” perkebunan-perkebunan raksasa itu, perlu diberi iming-iming bisnis kelabu yang dapat dijalankan di kawasan-kawasan perkebunan itu. Padahal, kebanyakan bisnis kelabu itu, apakah berupa bisnis ikan arwana di perbatasan Papua-PNG, bisnis kayu hitam di Sulteng, ataukah bisnis kayu gaharu di Papua, justru memperparah perkosaan lingkungan di kawasan perkebunan itu.

Makanya, sebaiknya sistem perkebunan besar yang merupakan suatu bentuk penjajahan ekonomi dan budaya dari kapitalis-kapitalis besar ditinggalkan, dan diganti dengan perkebunan rakyat yang sesuai dengan niches ekologi dan budaya masyarakat setempat, yang tidak memerlukan pengamanan dari ratusan aparat ke(tidak)amanan.***

Yogyakarta,
Kamis, 24 Februari 2011.

Penulis adalah Sosiolog dan Pengajar pada Program Studi Religi, Ilmu dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

Artikel ini sebelumnya merupakan makalah yang disampaikan dalam Konferensi Alternatif Peringatan 100 Tahun Sawit di Indonesia, Medan, Sumatera Utara, 26-29 Maret 2011, dengan judul: “Sesudah cemara, haminjon, kelapa, pinang, Bagot, dan sagu tergusur oleh sang tamu dari afrika, yang menyemprotkan bermilyar-milyar ton gas karbon mono-oksida ke udara.” Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.

Kepustakaan:

Aditjondro, George Junus (2007). Profiting from Peace: The Political Economy of Aceh’s Post-Helsinki Reconstruction. Working Paper No. 3. Jakarta: INFID (International NGO Forum on Indonesian Development).

—————— (2009). “Menyongsong Era Soeharto Babak II.” Suara Pembaruan, 10 Maret.

——————- (20100. Membongkar Gurita Cikeas: Si Balik Skandal Bank Century. Yogyakarta: Galangpress.

AAL (2003). Melangkah Maju untuk Pertumbuhan/Progressing for Growth: Laporan Tahunan/Annual Report 2003. Jakarta: PT Asta Argo Lestari Tbk.

Bangun, Derom (2010). Derom Bangun: Memoar “Duta Besar” Sawit Indonesia: Dari Kampus ITB sampai ke Meja Diplomasi Sawit Dunia, Sebagaimana diceritakan kepada Bonnie Triyanto. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

 

CIC (2007). Indonesian Agribusiness Directory, 2009. Jakarta: PT Capricorn Indonesia Consult Inc.

Fatubun, Wempie (2007). Hilangnya Rasa Aman: Situasi Militer dan Ekosob Perbatasan RI-PNG di Kab. Merauke. Merauke: Sekretariat Keadilan dan Perdamaian, Keuskupan Agung Merauke (SKP-KAM).

Ghani, Muhammad A. (2011), “100 Tahun Kelapa Sawit Indonesia: Disparitas Fakta dan Prasangka.” InfoSawit. Maret, hal. 32-33.

Hasibuan, Sayuti (1968). Political Unionism and Economic Development in Indonesia: Case Study, North Sumatera. Disertasi Ph.D. di bidang Business Administration. Berkeley, California: University of California.

 

Kallarackal, Jose, P. Jeyakumar, and Suman Jacob George (2004). “Water Use of Irrigated Oil Palm at three Different Arid Locations in Peninsular India,” Journal of Oil Palm Research, No. 1 Vol. 16, hal. 45-53.

Kamil, Sus Yanti (2010). Eksploitasi Buruh Perempuan di Perkebunan Sawit, Praktek Nyata Ketimpangan Gender di Masyarakat Pedesaan: Studi Kasus Perkebunan Kelapa Sawit Kab. Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Makalah dalam Konferensi “Perempuan Bicara Hukum dan Penghukuman”, kerjasama Program Studi Kajian Wanita (Kajian Gender), Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia dan Komnas Perempuan di Depok, 28 November – 1 Desember,

Lentera & Bakumsu (2010). The Social and Environmental Impacts of Large Scale Oil Palm Plantations: Four Case Studies in Labuhan Batu, Medan: Lentera and Bakumsu.

Marti, Serge (2008). Losing Ground: The human rights impacts of oil palm plantation expansion in Indonesia. London, Edinburg & Bogor: Friends of the Earth, LifeMossaic & Sawit Watch.

Pambudi, A. (2009). Kalau Prabowo Jadi Presiden. Yogyakarta: Penerbit Narasi.

Sitanggang, J. P. (2010). Raja Na Pogos. Penerbit Jala Permata Aksara.

Subianto, Prabowo (2004). Kembalikan Indonesia! Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Yudhistira, Geradi (2010). Presentasi dalam diskusi Mengintegrasikan Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Kelapa Sawit, yang diselenggarakan oleh Sawit Watch, tanggal 3 September.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.