Pada edisi kali ini, Jurnal IndoProgress mengurasi artikel-artikel yang mencoba menggunakan kerangka metodologis yang ditawarkan oleh Marxisme. Namun tidak hanya sekedar menggunakan, melainkan menggunakan secara kritis. Pula tidak hanya sekedar kritis, melainkan turut kontributif dalam menyumbangkan arah perkembangan Marxisme ke depannya. Menjadi kritis terhadap Marxisme tidaklah susah hari-hari ini. Kenyataan bahwa tulisan-tulisan Marx ditulis dua abad yang lalu, belum lagi banyak buku-buku pengantar dan komentator populer media sosial yang menyajikan gambaran “bonsai” akan pemikiran-pemikiran Marx—bahwa Marx menyederhanakan hidup sebagai “ekonomi” belaka, bahwa Marx hanya fokus pada pekerja industri saja sehingga teorinya tidak relevan dengan sektor-sektor lain seperti pekerja informal dan kerja reproduktif/perawatan, dst. Ini semua berkontribusi dalam “menyebarkan” Marxisme dalam versinya yang amat distortif. Namun ironisnya, kritik-kritik mudah seperti ini cenderung terjerembab dalam pusaran pasir hisap nalar borjuis: tak pelak “tawaran” kritik-kritik ini malah meneguhkan lagi kepercayaan terhadap negara kapitalis itu sendiri, pada keluhuran pemimpin, atau malah seruan nanar akan ketidak-adilan hidup dalam kapitalisme.
Para penulis di edisi kali ini menggunakan Marxisme secara kritis tidak dalam rangka berpartisipasi dalam arak-arakan intelektualisme borjuis memojokkan pemikiran subversif terhadap kapitalisme dengan mengedepankan perspektif kelas pekerja. Pasalnya, seluruh penulis ini faham, membuang Marxisme berarti membuang satu-satunya piranti nalar berharga untuk, tidak hanya memahami kapitalisme, melainkan juga meraba titik-titik kontradiksinya, dan terlebih memandu upaya memikirkan cara mengeksploitasi kontradiksi tersebut bagi upaya perlawanan terhadap dan pembebasan dari kapitalisme.
Dalam tradisi Marxisme, kritik bukanlah hal yang jarang. Marx sendiri terkenal dengan seruannya “kritik tanpa ampun akan segala sesuatu” (ruthless criticism of all things exist). Berbeda dengan kontrarianisme yang mengritik sekedar untuk berbeda dan berlawan belaka, kritik akan segala sesuatu yang dimaksud Marx ini merujuk pada kondisi yang mana kapitalisme sudah mentotal (totalizing), khususnya lewat apa yang disebutnya sebagai “penundukan riil” (real subsumption). Berbeda dengan ‘penundukan formal’ (formal subsumption) yang mana di dalam kapitalisme masih terdapat zona “di luar” kapital, dalam penundukan riil, seluruh aspek relasi sosial tunduk dalam logika kapital. Yang kita kira tidak larut dalam relasi pertukaran nilai atau hubungan kerja, justru malah menjadi garda utama penciptaan nilai lebih kapital, suka atau tidak suka, disadari atau tidak. Boleh-boleh saja kita mengira bahwa membesarkan anak dengan cinta kasih tidaklah berlandaskan logika kapital. Namun pada akhirnya, saat anak tercinta tersebut dewasa dan bekerja dengan gemilang bagi kejayaan perusahaan yang mempekerjakannya, adalah kapitalisme yang diuntungkan karena ia “memanen” nilai kerja tak berbayar dari kerja-kerja tahunan dalam membesarkan sang anak dengan cinta kasih. Begitu pula dengan passion dan kreativitas yang konon menentukan inovasi dalam kapitalisme. Kapitalisme tidak membayar proses-proses sosial, emosional, edukasional dan inspirasional di balik upaya mencari mood dan menjemput momen aha! Kapitalisme hanya membayar cakupan kerja sesuai kontrak saja, umumnya berdasarkan jam kerja belaka. Lagi-lagi, kapitalisme memanen kerja-kerja yang mungkin bagi sang pekerja tidak terbedakan dari sekedar menjalankan hidup sehari-hari. Dalam penundukan riil, kritik segala sesuatunya menjadi urgen karena segala sesuatunya sudah diam-diam tertundukkan dalam logika kapital.
Pula kritik dalam tradisi Marxisme bukanlah kritik dengan sekedar menghadirkan kontra-faktual, data tandingan, atau akrobat logika dekonstruksional. Kritik dalam Marxisme adalah kritik yang sifatnya imanen, dalam artian ia tidak terlepaskan dari kenyataan historis bahwa Marxisme adalah lawan dari kapitalisme itu sendiri. Artinya, saat sebuah analisis menemukan celah dalam teori Marx dalam menelaah satu situasi tertentu dalam kapitalisme, alih-alih membuang dan mencari teori lain, analisis justru bergegas memeriksa kembali teori Marx itu sendiri dan menawarkan pembacaan-pembacaan baru yang dapat lebih jitu menelaah konteks kapitalisme spesifik yang dihadapinya. Dengan kata lain, membaca ulang karya-karya Marx di luar puspa ragam teks pengantar dan sajian penulis terdahulu, menjadi tidak terelakkan dan semakin relevan justru dalam upaya mendorong relevansi Marx di masa kini dan masa yang akan datang, selama kapitalisme belum tumbang.
Tim redaksi dengan senang hati memuat tulisan-tulisan dari Brigitta Isabella, Rangga Kala Mahaswa, Dedy Kristianto, Semmy Tyar Armandha, Taufik Poli, dan ulasan buku dari Nandito Oktaviano. Gita menawarkan pembacaan teori nilai Marx dalam konteks seni dengan menunjukkan bagaimana nila guna karya seni sejatinya merupakan apa yang disebutnya guna-guna, selubung mistis dari kapitalisme yang mengaburkan kenyataan bahwa nilai karya seni sejatinya tidak bersumber dari kerja produktif jenius sang seniman, melainkan dari kesatuan kerja reproduktif dari penghuni ruang sosial yang mana sang seniman juga berada. Berbekal kritik ini, Gita memberikan arahan dalam memikirkan upaya merebut nilai seni dari guna-guna kapitalisme. Rangga memberikan pembacaan kritis terhadap karya-karya marxis populer mengenai ekologi. DI tulisannya, Rangga seakan “menagih” janji materialisme dari materialisme historis yang seharusnya menjadi dasar pijakan refleksi marxis akan ekologi. Tidak puas dengan pemikiran marxis tentang antroposen, Rangga menawarkan pendasaran materialis-geologis bagi refleksi eko-sosialisme dan eko-marxisme ke depannya melalui ide mengenai Kapitalinian sebagai sub-kala (sub-age) dalam epos Antroposen.
Dedy menunjukkan relevansi cara berpikir Marx, bahkan salah satu pemikirannya yang paling awal, dalam kehidupan kontemporer. Melalui kajiannya mengenai komunitas pekerja domestik migran Katolik di Hong Kong, Dedy menunjukkan bahwa landasan metodologis yang ditulis Marx sejak 1859, bahwa “bukan kesadaran manusia yang menentukan keberadaannya, melainkan keberadaan sosialnya yang menentukan kesadarannya,” ternyata masih terpampang nyata dalam subjek kajiannya. Dedy bahkan menunjukkan bagaimana Ensiklik Fratelli Tutti, yaitu seruan Paus mengenai persaudaraan dan persahabatan di tengah ketimpangan akibat neoliberalisme, sendirinya mengacu pada gagasan Marx mengenai kesadaran ini. Demikian pula tulisan Semmy dan Taufik. Semmy menunjukkan bagaimana apa yang disebutnya sinisme ideologis, yaitu salah satu buah kesadaran manusia, dalam masyarakat platform hari ini terbentuk sebagai korelat model bisnis kapitalisme platform itu sendiri yang bahkan mengeruk profit dari upaya kritik terhadap kapitalisme itu sendiri. Dalam studinya mengenai pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus Likupang, Taufik menunjukkan bagaimana asumsi-asumsi pembangunan yang digunakan para teknokrat justru malah menjelmakan logika predatoris kapitalisme neoliberal yang diametral dengan ide luhur pembangunan itu sendiri. Kalau Taufik menarik pembacaannya untuk memproblematisasi Kembali debat teori negara sejak Miliband-Poulantzas, Semmy membawa implikasi amatannya pada teori ideologi Marx.
Artikel ulasan buku dari Nandito juga membahas karya Jose Ricardo Lira berjudul Marxism and the Origins of International Relations: A Hidden History. Melalui ulasan tersebut, Nandito coba menunjukkan bahwa bukan hanya Marxisme memiliki peran krusial dalam sejarah disiplin ilmu Hubungan Internasional (HI), melainkan bahkan bahwa penulisan sejarah (atau historiografi) disiplin HI itu sendiri tanpa disadari mereproduksi cara berpikir negara yang berkesesuaian dengan kebutuhan kapitalisme neoliberal. Nandito pun menjajal dugaan ini dengan mengerling perkembangan dan historiografi disiplin HI di Indonesia.
Akhir kata tim redaksi mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang sudah membantu seluruh proses sampai penerbitan ini. Proses dimulai sejak peluncuran panggilan menulis yang dilakukan secara hibrid di Rumah Kunci Study Forum & Collective, Yogyakarta, dan secara daring di media IndoProgress (Ferry). Kepada kawan-kawan Kunci dan tim media IndoProgress, kami menyampaikan terima kasih. Kemudian proses gestasi ide juga didorong lewat presentasi publik dari para penulis yang sudah lolos proses editorial awal. Kali ini kami dibantu tim workshop Jurnal IndoProgress (Tiara, Lulu, dan Salma) dan lagi-lagi tim media IndoProgress. Di luar rangkaian acara, tim redaksi juga berterima kasih pada Nieke dan Setya yang turut mengawal proses-proses administrasi dan kelembagaan. Demikian pula Shilfina Putri yang memfasilitasi proses-proses publikasi. Dan akhirnya, tim juga berterima kasih pada seluruh pengulas yang sudah memberikan komentar dan masukan bagi para penulis, pada penyunting yang sudah menyelaraskan redaksi dan juga substansi artikel, dan pada desainer yang memoles rupa akhir seluruh tulisan ke dalam format jurnal yang berterima bagi pembaca sekalian. Salam.
Referensi
Anievas, Alexander, dkk. (2015). “Confronting the Global Colour Line: An Introduction,” dalam Race and Racism in International Relations: Confronting Global Colour Line. Routledge: Britain
Ashworth, Lucian. (2002). “Did the Realist-Idealist Great Debate Really Happen?a Revisionist History of International Relations,” dalam International Relations, Vol. 16(1), hal. 34-51
Benneyworth, I.J. (2011). The ‘Great Debates’ in International Relations Theory, dalam https://www.e-ir.info/2011/05/20/the-%e2%80%98great-debates%e2%80%99-in-international-relations-theory/, diakses pada 20 Maret 2024
Christe, Clive. (2001). Ideology and Revolution in Southeast Asia 1900-1980. Curzon Press:Britain
Dharmaputra, Radityo. (2022). Mengapa Banyak Pakar Indonesia cenderung Pro-Russia?, dalam https://theconversation.com/mengapa-banyak-pakar-di-indonesia-cenderung-pro-rusia-182053, diakses tanggal 25 Maret 2024
Hadiwinata, Bob. (2009). “International Relations: Historical Legacy, Political Intrusion, and Commercialization”, dalam The Changing Perspective of International Relations in Indonesia, Vol. 9, hal. 55-81
Hobson, M. John, dkk. (2011). “ The Big Bangs of IR: The Myths That Your Teachers Still Tell You About 1648 and 1919,” dalam Millennium Journal of International Studies, Vol. 39(3), hal. 735-758
Schmidt, Brian. (2012). The First Great Debate, dalam https://www.e-ir.info/2012/09/28/the-first-great-debate/, diakses pada 20 Maret 2024
Suwandi, Intan. (2019). Value Chain: The New Economic Imperialism. Monthly Review Press: London
Vigneswaran, Darshan dan Quirk, Joel. (2004). International Relations First Great Debate:Context and Tradition. Working Paper, 2004/1, Canberra.
Weinstein, Franklin. (2007). Indonesian Foreign Policy and Dilemma of Dependence: from Sukarno to Suharto. Equinox: Jakarta
Wicaksana, Wahyu. (2018). “The Changing Perspective of International Relations in Indonesia,” dalam The Changing Perspective of International Relations in Indonesia, Vol. 18(2), hal. 133-159
Wilson, Peter. (1998). “The Myth of the ‘First Great Debate’”, dalam Review of International Studies, Vol. 24.
Wilson, Peter. 2012. “ Where are We Now in the Debate about the First Great Debate,” dalam International Relations and the First Great Debate, Bab 2. Routledge: Britain