Bagaimana mereka yang mengharapkan berakhirnya kapitalisme memahami dampak krisis virus korona?
Pada edisi kali ini, Jurnal IndoProgress Marxis Indonesia bermaksud memahami dan merefleksikan dampak COVID-19 di kawasan Asia. Kami melakukan ini dengan agenda yang dekat dengan simpati politik kami. Tetapi kami juga menyadari bahwa organisasi donor internasional yang berpengaruh—yang berada di episentrum ekonomi global neoliberal kita—mengakui bagaimana pandemi telah mengekspos jenis-jenis ketimpangan baru dan memperburuk yang lama (Ferreira, 2021). Para sarjana di negara demokrasi kapitalis “Barat” mempersoalkan hubungan antara populis sayap kanan dan surutnya keahlian dalam menangani krisis sembari berargumen mendukung kehadiran Negara (Fukuyama, 2020). Melihat kegagalan Bolsonaro dan Trump memimpin, para “liberal” itu pun berharap populisme akan berakhir.
Tetapi harapan semacam ini adalah salah satu yang lepas dari realitas kelas pekerja, yang banyak di antaranya adalah pekerja vital serta borjuasi yang semakin rawan situasinya (Standing, 2011). Dalam tiga dekade terakhir, setidaknya, transformasi neoliberal ekonomi kapitalis di seluruh dunia dan kawasan Asia telah semakin melanggengkan eksploitasi kelas pekerja. Meskipun posisi sosial kita berbeda dalam hal kelas, ras, etnis, jenis kelamin, agama—dan daftarnya terus berlanjut—kita semua tersangkut erat dalam jejaring rumit kapitalisme neoliberal abad ke-21 dengan cara yang nyata-nyata eksploitatif. Dengan pikiran inilah kami memutuskan untuk menerbitkan jurnal ini dalam dua bahasa: Indonesia (untuk membuat karya para penulis dikenal di berbagai wilayah di negara ini) dan Inggris (untuk membuat karya mereka dikenal dan terlibat secara regional). Kami memosisikan jurnal ini dalam persaudaraan yang lebih luas, juga lokal.
Negara-negara maju, seperti AS, pernah menghadapi krisis dan dampaknya pada 2008, dan pandemi global COVID-19 saat ini telah mendorong ekonomi dunia ke moda bertahan hidup. Sementara pandemi telah berdampak pada semua negara, masyarakat, dan kelas secara bersamaan, bagaimana ia memengaruhi kita semua jauh dari homogen. Mungkin saja pandemi ini mengambil bentuk krisis kesehatan, tetapi kami melihatnya sebagai gejala masalah yang lebih dalam dari bagaimana kapitalisme mampu bersalin rupa merespons dan menunggangi reformasi nilai-nilai sosial (Harvey, Seventeen Contradictions and the End of Capitalism, 2014) untuk mempertahankan akumulasi modal. Hal ini menjelma dalam cara-cara sosial yang kompleks, khas, heterogen, dan, kadang-kadang, saling berbenturan, sejauh yang diizinkan oleh pasar neoliberal.
Memetakan kontradiksi internal dalam logika spasial akumulasi modal memang merupakan tugas utama para sarjana dan aktivis yang risau tentang bagaimana laba dan perburuan rente berlangsung dalam “momen-momen” yang khas ini, seperti yang dikatakan Marx. Bagaimanapun, kita hidup dalam suasana historis di mana produksi, konsumsi, dan distribusi manusiadan barang berjalan secepat modal ditanam dan diinvestasikan kembali di pasar tenaga kerja yang semakin digital.
Di sini pengamatan David Harvey tentang politik anti-kapitalis di masa pandemi tampaknya berguna. Dia mengungkapkan bahwa:
“Hal ini menjadi rumit karena dielaborasi melalui, misalnya, lensa persaingan geopolitik, perkembangan geografis yang tidak merata, lembaga keuangan, kebijakan negara, rekonfigurasi teknologi dan jejaring pembagian kerja dan hubungan sosial yang senantiasa berubah. Akan tetapi, saya membayangkan model ini sebagai sesuatu yang tertanam dalam konteks reproduksi sosial yang lebih luas (dalam rumah tangga dan masyarakat), dalam relasi metabolik yang terus berlangsung dan terus berkembang dengan alam (termasuk “sifat bawaan” urbanisasi dan lingkungan terbangun) dan segala bentuk formasi budaya, ilmiah (berbasis pengetahuan), agama dan sosial terkait yang biasanya diciptakan oleh populasi manusia lintas ruang dan waktu” (Harvey, 2020).
Bersama para penulis dalam edisi ini, kami merenungkan bagaimana wabah telah menyebar di medan sosial yang memang sudah tidak setara, memobilisasi ketimpangan sosial dengan kecepatan yang belum pernah terlihat sebelumnya di abad ke-21. Hal ini berlangsung dalam hierarki kekuasaan dan sengketa antara elit politik dalam proses respons kebijakan Negara terhadap COVID-19, dengan sumber daya yang tidak merata di sektor kesehatan masyarakat yang sudah ditunggangi oleh kekuasaan yang terkonsentrasi di tangan segelintir orang. Keadaan ini, tentu saja, telah meresap, dan terinternalisasi, dalam tindakan para penyelenggara Negara dari generasi ke generasi.
Kami melihat kasus di Indonesia, India, dan Filipina. Dalam edisi ini, para penulis membahas bagaimana pemerintah kapitalis Indonesia memanfaatkan pandemi untuk menemukan cara baru untuk mengeksploitasi pekerja dan pengorganisasian diri sebelum dan selama pandemi. Panimbang (2021), dengan mempelajari strategi organisasi pekerja transportasi daring di Jakarta, berpendapat bahwa strategi perlawanan yang inovatif telah mengembangkan bentuk partisipasi baru di antara para pengemudi. Mereka adalah pekerja vital yang didikte oleh mekanisme pasar untuk tetap bergerak selama pandemi, namun, di tengah eksploitasi ekstrem, berhasil menemukan cara untuk mengatur diri sendiri berdasarkan komunitas, asosiasi, dan serikat. Praktik kolektivitas ini penting dalam membayangkan dan mengonseptualisasi politik anti-kapitalis, di mana strategi baru untuk solidaritas buruh—yang difasilitasi justru oleh platform digital yang sedianya dirancang untuk mengeksploitasi mereka—membantu kita merenungkan gerakan buruh yang lebih luas di luar Indonesia.
Yang juga penting, pekerja vital dieksploitasi dengan cara yang spesifik secara sosial; cara yang juga menelusur garis kasta. Vyas dan Jha (2021), menggunakan ekonomi politik ruang Harvey dan biopolitik dan teknologi Foucault, membuat pengalaman pekerja sanitasi Dalit sebagai pejuang garis depan selama pandemi di India diketahui oleh kita. Semua pekerja sanitasi di India adalah Dalit—kasta paling terpinggirkan di negeri itu. Bekerja dalam sistem sanitasi lingkungan warisan kolonialisme Inggris, segregasi sosial ini bertaut dengan bagaimana limbah dikelola di perkotaan dan perdesaan, yang secara historis merupakan ruang fisik untuk mengendalikan penyakit sekaligus penduduk pribumi. COVID-19, menurut pendapat penulis, telah memperluas ruang kontrol tenaga kerja dan akumulasi modal, seraya mensegregasi dan mensegmentasi wilayah kota dengan mengorbankan pekerja Dalit.
Lalu apa yang harus dilakukan para intelektual dan aktivis Kiri dengan latar sosial historis ini? Refleksi Tadem (2021) tentang gerakan Kiri yang dipimpin kelas menengah di Filipina, kami rasa, sangat berguna dalam diskusi internal kami mengenai tuduhan kegagalan borjuasi liberal Indonesia dalam mereformasi sistem politik demokrasi kita (Mudhoffir, 2021) serta maknanya dalam analisis kelas yang lebih luas (Pontoh, 2021). Tadem (2021) menelaah komposisi kepemimpinan kelas menengah di Partai Komunis Filipina (CPP) dan Tentara Rakyat Baru (NPA), serta kendaraan politiknya, Front Demokratik Nasional (NDF). Bersama-sama, mereka menentukan arah gerakan revolusioner, di mana keterampilan borjuasi berperan. Ini tidak berbeda dengan defisit profesionalisme dan keahlian dalam respons kebijakan pandemi dari pemerintah populis sayap kanan yang dipermasalahkan oleh para sarjana liberal. Yang penting di sini, Tadem berpendapat bahwa kecakapan kelas menengah telah mendorong demokratisasi, sementara juga memperingatkan pembaca tentang batasan metode ini dalam perubahan struktural yang radikal.
Sebagai bagian dari harapan para intelektual dan aktivis Kiri untuk memperluas ruang sosial diskusi Marxis di kawasan ini, kami meluncurkan Call for Papers untuk merekrut para sarjana muda dan membimbing mereka untuk melakukan analisis empiris berdasarkan masalah akumulasi modal. Di sini, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada Hizkia Yosie Polimpung, Diatyka Widya Permata Yaasih, dan Abdil Mughis Mudhoffir yang telah menyisihkan waktu dan upaya untuk berpartisipasi dalam strategi politik dan intelektual kami ini. Kami sangat menghargai kerja keras mereka dan redistribusi akses ke pengetahuan dalam lingkup yang kecil, namun tak kurang maknanya ini.
Polimpung bekerja dengan Wilujeng (2021) yang meneliti bagaimana pemerintah Indonesia bangkit dari krisis multidimensi dengan mengkatalisasi platform teknologi. Platform-platform ini, menurutnya, melanggengkan pasar yang mengaburkan batasan antara tenaga kerja manusia dan moda produksi. Ruang seperti itu tidak hanya tunduk pada permintaan konsumen kelas menengah yang semakin bergantung pada sektor swasta untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, tetapi juga mempercepat eksploitasi pekerja melalui legitimasi kewirausahaan dan mundurnya Negara dari penyediaan pekerjaan yang aman.
Yasih bekerja dengan Wirman (2021) yang menjalankan studi tentang internalisasi subjektivitas neoliberal melalui program magang di industri jasa. Dia berpendapat bahwa program semacam itu telah meningkatkan kemampuan pekerja muda beradaptasi di pasar tenaga kerja yang semakin tidak stabil dan dibuat semakin genting oleh pandemi. Kerisauan Wirman terkait erat dengan kekhawatiran Wilujeng (2021), karena pekerja muda dan alumni dibiarkan berjuang sendiri tidak hanya untuk mencari pekerjaan, tetapi juga untuk bertahan hidup dalam iklim kerawanan tenaga kerja yang dibuat semakin normal oleh pandemi.
Sementara itu, Mudhoffir bekerja dengan Rainditya (2021) dalam diskusinya tentang penyusunan dan percepatan Undang-Undang Omnibus Cipta Kerja yang disahkan selama pandemi. Dia berpendapat bahwa undang-undang ini melindungi surplus oligarki dengan mengamankan akses industri ekstraktif ke sumber daya dan melegitimasi kasualisasi tenaga kerja. Memanfaatkan krisis kesehatan yang multidimensi, undang-undang ini disahkan dengan dalih pemulihan ekonomi nasional agar Indonesia dapat memulihkan diri dari dampak pandemi. Yang penting di sini adalah bagaimana dia mengamati konvergensi kepentingan neoliberal dan oligarki selama pengalaman Indonesia dengan COVID-19.
Edisi ini ditutup dengan ulasan buku karya Slavoj Žižek berjudul Pandemic! Covid-19 Shakes the World (2020) oleh Anugrah (2021). Dia mempersoalkan bentuk baru Komunisme yang ditawarkan Žižek dengan mengadunya dengan pelajaran sejarah “Komunisme Perang” Bolshevik: Perlunya konstruksi sosialis. Di masa ketika biaya kesehatan masyarakat tinggi dan kekuasaan negara sewenang-wenang, Anugrah secara kritis mempertanyakan apakah usulan komunis seperti itu tidak lebih dari peremajaan demokrasi sosial Keynesian, dengan persoalan-persoalan seperti strategi demokrasi yang jelas, pasar neoliberal dan perusakan ekologi alam olehnya yang tetap tidak tertangani. Ulasan ini begitu baik menutup edisi ini, menyatukan sudut pandang, kasus, dan konteks yang berbeda dengan materialisme sejarah. Genaplah sudah lingkaran kita.
Menutup catatan editorial ini, kami ingin berterima kasih secara khusus kepada Marcello Musto, Profesor Sosiologi di York University, Kanada, yang telah memberikan saran untuk arah edisi pertama ini, serta menghubungkan kami dengan Ranabbir Samaddar, Direktur Calcutta Research Group, yang melaluinya kami dapat mengkurasi karya Vya dan Jha. Kami juga berterima kasih kepada Vedi Hadiz, Direktur Asia Institute, University of Melbourne, yang telah memperkenalkan kami kepada Eduardo Tadem dari Center for Integrative and Development Studies, University of the Philippines Diliman, yang melaluinya kami juga dapat mengkurasi karya Tadem. Kami sangat menghargai persahabatan ini dan berharap bahwa membaca refleksi ini memberikan sedikit kelegaan dari pengalaman heterogen kita dengan alienasi yang tak terhindarkan.
Dewan redaksi
Jurnal IndoProgress
Agustus 2021
Bibliografi
Anugrah, I. (2021). Ulasan Buku: Slavoj Žižek, Pandemic! Covid-19 Shakes the World. Jurnal IndoProgress, 1(1).
Ferreira, F. G. (2021, June). Inequality in the Time of COVID-19. Retrieved August 2021, from International Monetary Fund: https://www.imf.org/external/pubs/ft/fandd/2021/06/inequality-and-covid-19-ferreira.htm
Fukuyama, F. (2020, July/August). The Pandemic and Political Order It Takes a State. Retrieved August 2021, from Foreign Affairs: https://www.foreignaffairs.com/articles/world/2020-06-09/pandemic-and-political-order
Harvey, D. (2014). Seventeen Contradictions and the End of Capitalism. Oxford: Oxford University Press.
Harvey, D. (2020, March 22). Anti-Capitalist Politics in the Time of COVID-19. Retrieved August 2021, from Reading Marx’s Capital with David Harvey: http://davidharvey.org/2020/03/anti-capitalist-politics-in-the-time-of-covid-19/
Mudhoffir, A. M. (2021, June 6). Aktivisme Borjuis: Mengapa Kelas Menengah Reformis Gagal Mempertahankan Demokrasi? Retrieved August 2021, from Project Multiatuli: https://projectmultatuli.org/aktivisme-borjuis-kelas-menengah-reformis-gagal/
Panimbang, F. (2021). Proses Kerja Berdasarkan Algoritme dan Perlawanannya dalam Ekonomi Platform di Indonesia: Kasus GO-JEK dan GRAB. Jurnal IndoProgress, 1(1).
Pontoh, C. (2021, June 16). Menginvestigasi Kelas Menengah: Tanggapan untuk Abdil Mughis Mudhoffir. Retrieved August 2021, from IndoProgress: https://indoprogress.com/2021/06/menginvestigasi-kelas-menengah-tanggapan-untuk-abdil-mughis-mudhoffir/
Rainditya, D. R. (2021). Transformasi Kapitalisme di Indonesia: Konvergensi Kepentingan Neoliberal dan Oligarki Semasa Pandemi. Jurnal IndoProgress, 1(1).
Standing, G. (2011). The Precariat: The New Dangerous Class. London and New York: Bloomsbury Academic.
Tadem, T. S. (2021). Politik Pergerakan Kiri yang Dipimpin Kelas Menengah di Filipina. Jurnal IndoProgress, 1(1).
Vyas, M., & Jha, M. K. (2021). Pandemi, Kesehatan Publik, dan Pekerja sanitasi di Mumbai: Krisis Pekerjaan dan Kehidupan. Jurnal IndoProgress, 1(1).
Wilujeng, E. P. (2021). Komodifikasi Subsistensi: Profit, Platformisasi, dan Pandemi di Indoneia Masa Neoliberal. Jurnal IndoProgress, 1(1).
Wirman, E. R. (2021). Normalisasi Prekarisasi dalam Neoliberalisme di Indonesia: Memahami Program Magang pada Masa Pandemi. Jurnal IndoProgress, 1(1).