
Antara Sartre dan Soeharto: Intelektual PSI dan Politik Eksistensialisme di Indonesia, 1947-1968
Mengapa para pelopor teknokrasi Indonesia tertarik pada filsafat anti-sistem yang sering dianggap irasional?
HomeArtikel
Mengapa para pelopor teknokrasi Indonesia tertarik pada filsafat anti-sistem yang sering dianggap irasional?
Kediktatoran proletariat, ketika dipahami dalam kerangka Marxis yang otentik, muncul bukan sebagai momok totaliter, tetapi sebagai konsep yang secara fundamental demokratis dan membebaskan.
Kekuatan sanksi Barat bertumpu pada dominasi mereka atas mata uang cadangan global (dolar AS dan Euro), kendali terhadap sistem pembayaran internasional (SWIFT), serta monopoli atas teknologi esensial (misalnya satelit, komputasi awan, dan perangkat lunak).
Sudah saatnya bagi kita untuk mengorganisir serikat yang menghimpun pengguna teknologi digital sebagai pekerja produktif. Pembicaraan mengenai strategi kebijakan dan pertarungan wacana yang ingin ditawarkan dapat termediasi melalui serikat pekerja ini.
Jika kita masih memandang kerja semata-mata sebagai aktivitas produktif di pabrik, kantor, atau sawah, maka kita telah terjebak dalam dogma terbesar kapitalisme: bahwa nilai hanya lahir dari kerja produksi formal. Inilah ilusi besar yang justru memperkuat kekuasaan kapital atas kehidupan kita sehari-hari.
Sebagaimana digambarkan dalam lirik lagu The Internationale bahwa dunia telah berganti rupa, demikian pula strategi dan taktik untuk mewujudkan sosialisme hari ini harus menyesuaikan diri.
Dari semua tuntutan demonstran, rupanya ada yang luput disebut, yaitu pejabat yang kedudukannya lebih tinggi dari anggota DPR dan belum dikuak penghasilannya; dan yang berhak mengajukan dan mengesahkan Undang-undang.
Dalam menghadapi kapitalisme ekstraktif, kita perlusuatu bentuk organisasi perlawanan yang memiliki struktur yang jelas, terkelola dengan baik, memiliki kepemimpinan yang solid, serta berjalan secara demokratis.
Terlepas dari bagaimana ujung konflik antar elite, gerakan protes yang organik mesti mewaspadai adanya risiko kooptasi oleh faksi-faksi elite yang berkompetisi.
Apakah kita ingin terus hidup dalam kediktatoran kapital, yang kini menawarkan demokrasi perwakilan sebagai cara untuk merawat kehidupan politik?
Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.