Bagi masyarakat pesisir Cirebon, khususnya para nelayan, ritual Nadran adalah bagian dari siklus hidup mereka yang kehidupannya bergantung pada lautan. Ritual ini merupakan kesatuan dari suatu rangkaian kegiatan: melarung sesajen ke tengah laut, pementasan wayang purwa disertai ruwatan, dan makan-makan bersama. Selain ritual, kegiatan lainnya berupa pertunjukan berbagai kesenian siang dan malam. Namun, dalam konteks ritual komunitas nelayan tersebut, perhatian kami tertuju pada pementasan wayang purwa dengan lakon Budug Basu.
Lakon Budug Basu menuturkan kisah Dewi Sri, sang dewi padi, dengan jodohnya yang bernama Budug Basu, sang raja ikan. Ditinjau dari perspektif folklor, cerita ini adalah cerita rakyat yang dikelompokkan sebagai mitos. Transmisi cerita ini terdapat dalam dua cara; pertama, secara lisan: dituturkan oleh dalang dalam sarana pertunjukan wayang purwa di upacara Nadran. Kedua, secara tertulis dalam lembaran naskah-naskah kuno yang ditulis sendiri oleh anggota dari masyarakatnya.
Sebagai teks yang ditulis pada sebuah media, cerita Budug Basu sebagai folklor artinya, secara tidak langsung, telah didokumentasikan dalam naskah-naskah oleh anggota masyarakat pemilik folklor tersebut. Seperti kita ketahui, masyarakat Cirebon dengan pemerintahan negara yang berpusat di keraton adalah masyarakat dengan tradisi menulis. Pada umumnya, para penulis tersebut berasal dari kalangan keraton atau bangsawan.
Sejauh ini, kami telah memiliki enam buah naskah yang memuat teks cerita Budug Basu. Dari enam naskah tersebut, dijumpai dua nama penulis. Satu nama tertera jelas disertai dengan jabatan sebagai Wakil Sultan Sepuh II, yakni Pangeran Adipati Mohamad Alaida dalam naskah Lampahan Ringgit Budug Basu. Naskah lain dengan judul Serat Satriya Budug Basu memuat nama Ratu Mas Ugnyana Resminingrat beserta keterangan bahwa naskah ini diperoleh dari orang tuanya bernama Pangeran Sujatmaningrat. Berkenaan dengan naskah cerita Budug Basu, tulisan ini berusaha untuk mengetahui informasi tentang penulis naskah dari kalangan keraton yang, secara tidak langsung, mengambil peran dalam dokumentasi khazanah folklor masyarakatnya. Tulisan ini bertolak dari kajian tesis filologi Ridwan berjudul Serat Satriya Budug Basu: Mitos Masyarakat Pesisir Cirebon (2011). Penelitian tersebut menggunakan enam naskah kuno sebagai bahan kajian. Dari bahan-bahan itu, didapatkan dua versi penulisan yang ditulis oleh penulis dari kalangan keraton, yaitu Pangeran Sujatmaningrat dan Pangeran Adipati Mohamad Jamaludin Alaida.
Gagasan mendasar dalam tulisan ini berangkat dari pendapat Ikram[i] tentang peran naskah-naskah kuno sebagai dokumentasi folklor di Nusantara. Menurut Ikram, karya sastra lama di Nusantara yang ditulis dalam naskah-naskah kuno merupakan dokumentasi folklor masyarakatnya karena karya sastra yang ditulis itu pada dasarnya adalah sastra yang beredar secara lisan. Hal itu dikarenakan dalam dunia tradisional, hubungan antara sastra dan masyarakat tempat sastra itu lahir amat erat. Maka, batas antara sastra lisan dan tulisan menjadi samar. Para penulis lama yang menulis sastra lisan tidak akan merasa dirinya sebagai pencipta karena cerita yang ia tulis merupakan tradisi lisan yang beredar pada masa itu.
Budug Basu: Penulis dan Teks
Sejauh ini, telah ditemukan enam buah naskah kuno dengan teks Budug Basu. Cerita ini berasal dari tradisi lisan, yang biasanya dituturkan dalam lakon wayang. Teks-teks Budug Basu ini, dengan demikian, bisa dibaca sebagai bentuk dokumentasi awal dari tradisi lisan yang berkembang dalam masyarakat Cirebon. Dari enam naskah kuno tersebut, diketahui dua penulis keraton dan satu orang Belanda yang menyalin teks-teks tersebut dalam aksara latin. Teks-teks tersebut umumnya ditulis dalam bahasa Jawa-Cirebon.
Salah satu naskah kuno berjudul Serat Satriya Budug Basu (SSBB) yang ditulis oleh Pangeran Sujatmaningrat, tersimpan di Museum Sanabudaya Yogyakarta, dengan aksara dan bahasa Carakan (aksara Jawa-Cirebon) yang digunakan di wilayah pesisir utara Pulau Jawa, di antaranya Cirebon dan Indramayu. Bahasa Jawa yang digunakan ini memiliki dialek yang khas, yakni dialek pesisiran. Naskah ini disertai ilustrasi-ilustrasi yang menggambarkan sebagian cerita Budug Basu dalam bentuk wayang, berwarna-warni. dan berukuran besar. Naskah ini ditulis dalam bentuk tembang macapat, bentuk puisi Cirebon. Pada naskah ini terdapat informasi dari kolofon[ii] yang menyebutkan asal naskah kuno dari Cirebon[iii].
Pangeran Adipati Mohamad Alaida menulis tiga versi cerita ini; Lampahan Ringgit Budug Basu (LRBB), Lampahan Budug Basu (LHBB), dan Cerita Budug Basu (CBB). Ketiga naskah tersebut ditulis dalam bahasa Jawa-Cirebon. Naskah LHBB dan CBB berbentuk prosa, sementara hanya satu lembar dari naskah CBB yang berhasil ditemukan, dan teks tersebut berbentuk puisi.
Pada awal abad ke-20, C.M. Pleyte (1863-1917) banyak membuat salinan cerita rakyat Tatar Sunda yang ditulis dengan huruf latin[iv]. Ia menulis dua salinan atas cerita Budug Wasu. Pertama, naskah dalam bahasa Jawa-Cirebon berjumlah 50 halaman dengan judul Carios Kanda Budug Basu (CKBB), dengan teks yang sama persis dengan naskah kuno LRBB yang tersimpan di Keraton Kasepuhan; dan kedua, naskah dalam bahasa Sunda setebal 20 halaman bertajuk Lalakon Budug Basu (LKBB), dengan cerita yang berbeda dari beberapa naskah sebelumnya. Kedua naskah ini ditulis pada tahun 1913.
Dua penulis keraton yang kita ketahui ini berasal dari jalur silsilah berbeda, Pangeran Adipati Mohamad Jamaludin Alaida dari silsilah Kasepuhan, dan Pangeran Sujatmaningrat dari silsilah Kanoman. Pangeran Adipati Mohamad Jamaludin Alaida adalah Wakil Sultan Sepuh XI Raja Aluda Tajul Arifin yang bertakhta sejak tahun 1899—1942 di Keraton Kasepuhan Cirebon. Masa takhta sultan tersebut merupakan periode yang menarik sebab dalam waktu itulah Nusantara sedang bergerak meninggalkan abad ke 19 menujuu abad ke-20, dari masa pemerintahan kolonial sampai awal pendudukan Jepang.
Di pihak lain, Pangeran Sujatmaningrat adalah anak dari Pangeran Susila Rahadia dengan Nyi Mas Paku. Ia bersaudara kandung dengan Pangeran Sujananingrat, Pangeran Wasitaningrat, dan Pangeran Kusumaningrat. Ia merupakan keturunan dari Kanoman sebab Pangeran Susila Rahadia sendiri adalah anak dari Sultan Imanuddin yang juga Sultan Kanoman ke V (1803—1811). Menurut penuturan Elang Hilman, ada kemungkinan bahwa Pangeran Sujatmaningrat adalah seorang guru atau mursyid yang kemudian tinggal di luar keraton. Ia adalah mursyid dari tarekat Baddariyah. Menurut keluarganya, tujuan ia menulis naskah yaitu sambil membuat kelakuan, laku, atau nglakoni tapa. Jadi, ia berpuasa sambil menulis. Mungkin juga ia keluar dari keraton untuk pergi ke tengah rakyat dalam rangka syiar agama. Memang kebanyakan pangeran tua dari keraton bergiat melakukan syiar di daerah-daerah kecil seperti Ciledug, Sindang Laut, Sindang Kempeng, dan sebagainya. Saudara kandung Sujatmaningrat juga demikian, Pangeran Wasitaningrat pergi ke Ciledug, sementara Pangeran Kusumaningrat ke Sindang Laut. Menurut keterangan Elang Hilman, Sujatmaningrat termasuk penikmat pertunjukan lakon Budug Basu saat upacara Nadran berlangsung di Gebang. Ia menuliskan cerita Budug Basu dengan tujuan pendokumentasian cerita atau lakon yang diceritakan oleh dalang.
Perbedaan antara naskah Budug Basu yang ditulis dua pangeran tersebut terdapat dalam alur cerita serta kemunculan nama-nama tokoh serta latar tempat. Perbedaan nama tokoh dan tempat itu barangkali bukan perbedaan yang substansial sebab yang lebih diperhatikan adalah kedudukan serta relasi antara tokoh dan tempat atau struktur cerita yang bisa kita katakan sebetulnya tetap atau sama.
Dari dua penulisan ini, kita ketahui bahwa pada dasarnya cerita Budug Basu berkisah mengenai tokoh Dewi Sri dan Budug Basu yang kemudian dipertemukan sebagai jodoh oleh Batara Guru. Namun demikian, perjodohan tersebut tidak berjalan lancar. Ketika Dewi Sri yang cantik jelita mengetahui bahwa Budug Basu adalah orang yang telah dikutuk dan budugan, penyakitan, di sekujur badannya, sang dewi menolak Budug Basu sampai-sampai memutuskan mati untuk menghindari perjodohan tersebut. Karena patah hati, Budug Basu pun akhirnya memilih mati agar tetap bisa bertemu Dewi Sri di alam lain.
Dalam versi SSBB yang ditulis oleh Adipati Mohamad Jamaludin Alaida, cerita diawali dari genealogi (keturunan, leluhur) Budug Basu (Lingling Sukma) serta latar belakang kutukan seribu penyakit yang diterima Budug Basu. Dalam versi LRBB Pangeran Sujatmaningrat, cerita diawali dengan kisah kelahiran Dewi Puwaci (Dewi Sri) sampai diangkatnya menjadi bidadari di Suralaya. Selanjutnya, di bagian tengah, sama-sama bercerita mengenai pertemuan Budug Basu dan Dewi Sri yang dilanjutkan pada kisah kematian mereka. Dalam versi LRBB, cerita ditutup dengan kisah dari abdi-abdi Budug Basu yang mengganggu tanaman padi dan petani, sementara versi SSBB ditutup dengan menjelmanya jasad atau kuburan Dewi Sri menjadi aneka tumbuhan dan Budug Basu menjadi aneka hewan, termasuk ikan-ikan di lautan.
Budug Basu sebagai Folklor
Cerita Budug Basu dapat digolongkan pada kategori mitos, yakni “cerita prosa rakyat yang ditokohi oleh dewa atau makhluk setengah-dewa yang berkisah tentang masa lampau serta dalam alam dunia yang berbeda dengan dunia tinggal manusia; biasanya mitos berkisah tentang asal-usul alam semesta, bumi, tumbuhan, hewan, dan sebagainya. Mitos juga diyakini oleh sang empunya cerita”[v].
Dalam cerita Budug Basu, tokoh-tokohnya diperankan oleh dewa, raksasa, dan manusia (petani). Latar cerita sebagian besar berada di Kahyangan, dunia tempat tinggal pada dewa. Mitos ini merupakan refleksi dari kehidupan masyarakatnya, yakni pertanian, seperti asal-usul tanaman padi, irigasi, hama, dan lain-lain. Hal tersebut menandakan bahwa cerita ini terjadi di waktu yang telah lampau namun memiliki relevansinya dengan masa kini. Selain itu, terdapat pula bagian dari masyarakatnya yang meyakini kebenaran cerita tersebut, ditandai dengan adanya kepercayaan terhadap dewi padi—Dewi Sri sebagai asal-usul padi—dan Budug Basu sebagai asal-usul dari ikan-ikan di laut.
Terkait nama tokoh Budug Basu, beberapa sumber memuat keterangan bahwa Budug Basu adalah tokoh yang digambarkan sebagai ‘kontra’ dari Dewi Sri sebagai penyebab dari tanaman padi. Dalam Encyclopedia of Hinduism, disebutkan bahwa Budug Basu atau Udubasu adalah anjing legendaris dalam cerita rakyat Jawa Barat yang menghancurkan tanaman padi yang telah diberikan kepada manusia. Tokoh Budug Basu bisa dibandingkan dengan tokoh Udug Basur dalam mitologi India yang disebut sebagai tokoh yang di waktu lampau menghancurkan pulau Jawa[vi].
Keterangan lain yang menyebutkan Budug Basu sebagai hama tanaman padi juga terdapat dalam tulisan Kalsum tentang Wawacan Sulanjana[vii], sebuah versi cerita mitos padi dari daerah Jawa Barat. Kemudian dalam hasil penelitian Suyami tentang Serat Cariyos Dewi Sri[viii] dan tulisan Rusyana mengenai padi dalam khazanah sastra Sunda[ix]. Melihat kemiripan alur ceritanya, besar kemungkinan ketiga tulisan tersebut menggunakan versi cerita mitos padi dari daerah Sunda.
Selain itu, terdapat pula sumber yang menyebutkan Budug Basu dalam kaitannya dengan komunitas nelayan. Hasil penelitian Semedi[x] tentang hubungan kebijakan perikanan nasional dan aktivitas lokal pada komunitas nelayan Jawa dari era kolonial hingga pertengahan 1990-an di Desa Wonokerto (pesisir utara Jawa Tengah) memuat keterangan Budug Basu. Dalam uraiannya ihwal kepercayaan dan ritual pokok nelayan Wonokerto, terdapat kisah Budug Basu yang menyebutkan bahwa tokoh itu berwujud raksasa dengan tubuh penuh penyakit kulit dan bau busuk serta gemar mengganggu padi dan manusia. Setelah dibunuh oleh Batara Guru, potongan tubuhnya yang berhamburan di laut menjelma menjadi ikan-ikan. Oleh karena itu, setiap tahun para nelayan harus mengadakan persembahan ke laut (sesajen) agar Budug Basu tidak muncul dan mengganggu kehidupan mereka.
Mengikuti keterangan Danandjaja mengenai mitos-mitos di Indonesia[xi], cerita Budug Basu dapat dikelompokkan sebagai mitos mengenai asal-usul bahan pangan pokok suatu masyarakat. Dalam hal ini, pangan pokok yang disinggung adalah padi yang dikisahkan berasal dari jasad Dewi Sri. Dari sini kita mendapati satu motif pokok, yakni ‘tumbuhan yang berasal dari jasad seorang wanita yang telah meninggal’. Menurut Lombard, mitos dengan motif demikian terdapat di seluruh Nusantara, termasuk pulau-pulau yang tidak tersentuh pengaruh India (nama Sri sendiri berasal dari India)[xii].
Keberadaan mitos tersebut tidak lepas dari kultus pemujaan Dewi Sri. Ia dipercaya sebagai dewi kesuburan atau dewi padi bagi orang Jawa; tanaman padi dikisahkan berasal dari jasadnya. Cerita mengenai Dewi Sri atau mitos padi ini terdapat dalam banyak versi, tidak hanya terdapat di Jawa, namun juga di Bali dan Sulawesi[xiii]. Di Jawa sendiri terdapat banyak versi mitos padi, tetapi seperti yang ditegaskan Lombard, motif dasar dari seluruh cerita ini adalah padi yang tumbuh dari jasad atau kuburan seorang wanita. Maka dapat dikatakan kalau cerita Budug Basu merupakan salah satu versi cerita mitos padi yang berkembang di daerah Cirebon.
Dari keterangan di atas, hal menarik dari cerita ini adalah, kendati unsur dunia ‘pertanian’ terasa kental, ditunjukkan pula lewat kisah-kisah tentang asal-mula irigasi, ular sawah, hama tanaman padi, rasi bintang sebagai pedoman bertani, serta varietas tanaman khas pedesaan Jawa (bermacam jenis padi, aren, kelapa, gadung, pinang, jagung, dan sebagainya), namun cerita Budug Basu muncul bukan di tengah-tengah komunitas petani, melainkan nelayan.
Sebagai salah satu bentuk folklor, cerita Budug Basu disampaikan dari satu anggota ke anggota masyarakat lain secara lisan. Bentuk dari sarana transmisi itu adalah pertunjukan wayang purwa yang dipimpin seorang dalang. Dengan demikian pewaris aktif[xiv] folklor tersebut adalah dalang. Pertunjukan wayang itu disertai ruwatan, sebuah upacara yang bertujuan untuk menangkal marabahaya. Lakon Budug Basu sendiri hanya dipentaskan dalam upacara Nadran, ritual pokok masyarakat nelayan.
Selain ditransmisikan secara lisan, cerita Budug Basu juga secara eksklusif ditransmisikan lewat tulisan. Seperti telah kita ketahui, tradisi menulis tumbuh di masyarakat Cirebon, khususnya di lingkungan keraton dan bangsawan. Para penulis maupun penyalin naskah tentu tidak hanya menulis atau menyalin suatu teks tapi juga membacanya. Dengan tidak terbatas pada semata sang penyalin sebagai pembaca, cerita ini tentu saja hidup di kalangan tertentu dalam masyarakatnya yang memiliki kemampuan serta akses membaca karya tulis itu. Melalui naskah kuno, mitos tidak hanya hidup secara lisan, tapi juga dalam tulisan. Melalui naskah kuno pula khazanah folklor didokumentasikan.
Konteks Sosial Cerita Budug Basu
Kemunculan cerita Budug Basu tidak bisa dilepaskan dari konteks serta sarananya, yakni upacara Nadran dan pertunjukan wayang. Upacara Nadran dilaksanakan di pemukiman-pemukiman nelayan di seluruh Cirebon. Diketahui bahwa upacara ini dilaksanakan mulai dari daerah utara (barat) Cirebon seperti daerah Suranenggala, Gunung Jati, Mundu, Astanajapura, hingga bagian timur seperti Gebang dan Losari[xv]. Upacara ini tidak hanya terdapat di daerah Cirebon saja, tapi juga di sepanjang pesisir utara Pulau Jawa dari bagian barat hingga tengahnya. Beberapa berita media melaporkan kegiatan upacara Nadran yang disebut juga ‘pesta laut’ atau ‘sedekah laut’ seperti terdapat di Karawang[xvi], Subang[xvii], Indramayu[xviii], Tegal[xix], Pemalang[xx], serta Pekalongan[xxi]. Sungguh menarik bahwa dalam upacara Nadran di daerah-daerah luar Cirebon itu, sama pula dipentaskan wayang lakon Budug Basu. Tak jarang pula dalang yang pentas memang berasal (diundang) dari Cirebon. Dengan melihat informasi tersebut, tidak berlebihan kiranya jika mengambil kesimpulan bahwa Nadran adalah ritual komunitas nelayan Pulau Jawa, setidaknya di daerah pesisir utara.
Secara umum, kita dapat melihat bahwa masyarakat Cirebon terdiri dari kaum tani, nelayan, serta pedagang. Keberadaan nelayan setidaknya sudah tercatat sejak awal-mula pertumbuhan Cirebon, di samping peran daerah tersebut sebagai pelabuhan yang tentu terkait dengan perdagangan. Meski dalam Babad Cirebon[xxii] tidak ada keterangan tentang muasal komunitas petani, namun dalam perkembangan sejarah, kita ketahui Cirebon berkembang menjadi salah satu daerah produsen padi[xxiii]. Pada konteks sosial masyarakat Cirebon yang terutama terdiri dari komunitas petani dan nelayan inilah, folklor cerita Budug Basu perlu kita tempatkan. Setidaknya, cerita yang diketahui muncul dalam komunitas nelayan ini secara jelas mengonfirmasi keberadaan dua komunitas tersebut, seperti disimbolkan oleh Dewi Sri, sang dewi padi, dan Budug Basu, si raja ikan.
Dari penuturan Babad, dikatakan bahwa Cirebon berasal-mula sebagai “pedukuhan nelayan kecil” yang dipimpin oleh seorang juru labuhan (syahbandar) dan kemudian menjadi desa yang diperintah oleh kuwu[xxiv]. Keterangan tersebut mengatakan bahwa Cirebon saat itu merupakan daerah tempat berlabuhnya kapal-kapal, pelabuhan dari kerajaan Galuh. Jika kita lihat konteks historis di masa tumbuhnya Cirebon, daerah ini merupakan salah satu pelabuhan di Pulau Jawa yang terhubung dengan jaringan perdagangan internasional, selain dalam lalu lintas dagang antarpulau di Nusantara[xxv].
Keberadaan Cirebon sebagai pedukuhan nelayan menandakan terdapatnya komunitas-komunitas yang kegiatan produksi sosialnya bertumpu pada hasil-hasil laut. Komunitas-komunitas ini termasuk dalam formasi sosial kerajaan Galuh yang pusat kekuasaannya berada jauh di selatan. Sebagai sebuah daerah yang tunduk pada pusat, Cirebon—yang disebut pula Caruban (asal kata Carub, Caruban atau Kebon Pesisir)[xxvi] dikepalai oleh juru pelabuhan. Sebagai pemimpin daerah, juru pelabuhan itu berarti termasuk dalam perangkat administratur negara dengan otoritas terhadap aktivitas pelabuhan serta pengiriman upeti ke pusat pemerintahan. Upeti dari daerah yang tunduk biasanya merupakan hasil produksi yang spesifik khas dari masyarakatnya. Dari Cirebon, dua macam upeti yang dikirim ke Galuh, yakni garam dan terasi (bulu bekti uyah kalawan terasi)[xxvii]. Ini berarti, selain aktivitas menangkap ikan serta menjadi pelabuhan (baca: perdagangan), terdapat pula aktivitas produksi garam dan terasi. Semua aktivitas produksi ini pada hakikatnya bertumpu pada lautan.
Dalam babad dikisahkan juga bahwa pendiri Cirebon, yakni Walangsungsang, selain beraktivitas penghidupan di laut, ia juga mengurus kebun yang ditanami palawija. Kendati demikian, bukan berarti budidaya padi terdapat di daerah tersebut. Tidak ada keterangan sama sekali dalam babad tentang usaha budidaya padi berbasis sawah. Meskipun demikian, saat ini, Cirebon adalah salah satu produsen beras utama di Jawa Barat; rumah bagi banyak komunitas petani.
Dalam konteks ini, kita juga perlu melihat bahwa masyarakat Cirebon terdiri atas komunitas- komunitas petani. Dari aspek kultural, seperti contoh upacara Nadran sebagai ritual pokok dalam siklus-hidup komuniti nelayan, komunitas petani memiliki ritual sejenis yang dilaksanakan seiring dengan siklus kerja pertanian. Dalam usaha budidaya padi, petani sepenuhnya tunduk pada hukum alam dari pertumbuhan tanaman padi. Pada dasarnya, budidaya padi ini bertujuan untuk menghasilkan padi dengan kualitas (juga kuantitas) yang baik, ditopang dengan praktik-praktik atas kondisi material pertumbuhan padi, seperti tanah, pengairan, penangkal hama, juga pemupukan, untuk memastikan pertumbuhannya berjalan lancar, baik, dan tanpa gangguan. Oleh karena itu, usaha tersebut berjalan bertahap sejak masa persiapan hingga pascapanen.
Dalam tahapan-tahapan itulah, dilakukan ritual-ritual untuk memastikan kelancaran usaha sang petani yang ditujukan kepada pada kekuatan supranatural dan arwah-arwah leluhur. Setidaknya terdapat tiga upacara penting bagi komunitas petani Cirebon. Pertama, upacara Sedekah Bumi yang dilaksanakan menjelang datangnya musim penghujan yang menandai waktu buat petani untuk mengolah tanah. Dalam upacara yang berlangsung sejak pagi hari ini, warga desa mengumpulkan makanan, terutama nasi yang dibuat tumpeng (dalam istilah lain, ‘hasil bumi’), yang mereka olah sendiri untuk dibawa ke lokasi upacara dan disimpan di hadapan panggung wayang. Kemudian dilaksanakan pementasan wayang purwa dengan lakon Bumiloka yang ditujukan untuk memanggil hujan. Setelah pentas wayang usai, sebagian makanan yang dikumpulkan itu menjadi jatah para perangkat desa dan sebagian lagi dibawa pulang para pembawanya untuk disantap bersama keluarga.
Kedua, upacara Barikan yang ditujukan untuk mengusir kekuatan supranatural yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman padi, yang dimanifestasikan dalam aneka hama tanaman padi. Ritual ini disertai pertunjukan wayang purwa dengan lakon Tulak Tanggul. Ketika masa panen padi tiba, warga desa menyelenggarakan upacara Mapag Sri sebagai wujud syukur mereka atas panen yang dihasilkan, disimbolkan melalui penghormatan terhadap Dewi Sri, sang dewi padi. Dalam upacara ini dipentaskan lakon Sri-Pandawa yang mengisahkan kemenangan kerajaan Astina serta Dewi Sri dalam mengalahkan kerajaan siluman yang berupaya mengganggu usaha budidaya padi sawah rakyat petani Astina.
Ketiga, upacara Nadran. Ada dua kegiatan pokok dalam upacara Nadran, yakni melarung sesajen ke tengah laut, dan pertunjukan wayang Budug Basu yang juga merupakan ruwatan nelayan. Warga nelayan yang merayakan upacara ini juga umumnya mengadakan makan-makan bersama keluarga, baik dilakukan di atas perahu di tengah laut (usai prosesi melarung sesajen) atau di rumah-rumah mereka. Pelaksanaan upacara ini diorganisasikan oleh warga nelayan sendiri. Di tingkat desa, pelaksananya adalah pengurus koperasi tempat pelelangan ikan yang dibantu warga. Sementara di tingkat pemukiman yang terbagi dalam blok-blok, dilakukan oleh warga sendiri. Tidak ada jadwal seragam di tiap komunitas nelayan Cirebon untuk melaksanakan Nadran. Meskipun demikian, setiap desa biasanya memiliki jadwal tetap, contohnya desa Mertasinga pada bulan Maret-April atau desa Gunung Jati pada bulan Desember. Secara aktual, upacara Nadran dimasukkan dalam agenda pariwisata daerah oleh pemerintah Kabupaten Cirebon[xxviii], seperti yang telah dilaksanakan di dua desa tersebut.
Upacara ini dimulai sejak pagi hari, diawali dengan melarung sesajen ke tengah laut. Sesajen itu ada banyak sekali macamnya, tetapi yang paling utama dari semua itu adalah kepala kerbau. Meskipun kini orang-orang tidak secara khusus mengurbankan kerbau untuk sebuah upacara Nadran, kedudukan utama dari sajen kerbau itu mengindikasikan bahwa Nadran merupakan suatu bentuk upacara tertua dan masih dilakukan di Jawa sampai sekarang. Seorang pakar epigrafi, Damais, mengemukakan bahwa bahasa Jawa maesan yang berarti ‘batu kuburan’ berasal dari kata maesa atau kerbau yang kemungkinan karena batu tersebut menggantikan tonggak kurban penambatan kerbau yang umumnya disembelih waktu pemakaman pada zaman pra-Islam[xxix]. Upacara pengurbanan kerbau sendiri terdapat di seluruh Asia Tenggara, bahkan sampai Cina Selatan[xxx]. Kepala kerbau beserta aneka macam sesajen untuk melarung ditempatkan di dalam replika sebuah perahu. Usai melarung, dimulailah pentas wayang lakon Budug Basu yang biasanya berakhir sampai sore hari. Pada praktiknya, seringkali lakon Budug Basu tidak menampilkan cerita secara utuh seperti yang tersaji dalam naskah kuno. Dalam membawakan lakon Budug Basu, para dalang di antaranya berpedoman pada kitab-kitab pedalangan yang memuat lakon-lakon pewayangan. Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa cerita yang dimuat di kitab pedalangan dalam bentuk lakon dan cerita yang dimuat dalam naskah-naskah kuno yang kami temukan berbeda bentuknya. Di kitab pedalangan yang berjudul Pustaka Raja[xxxi] yang memuat banyak lakon pewayangan, cerita ditulis dalam bentuk garis besar atau pokok-pokok cerita saja, yang disusun berdasarkan pembagian babak (jejer) secara berkesinambungan (satu alur cerita). Karena yang dimuat hanya pokok-pokok ceritanya saja, maka kisahnya tidak terperinci. Bentuk ini sepertinya disesuaikan dengan pengguna teksnya, yakni dalang, yang berpedoman pada pokok-pokok cerita tersebut sehingga ia bisa mengembangkan cerita sesuai dengan eksplorasinya di atas panggung.
Dengan demikian, tidak jarang cerita Budug Basu dibawakan secara singkat untuk segera melangsungkan acara ruwatan yang ditunggu-tunggu oleh warga. Di akhir ruwatan, setelah dalang menyampaikan doa-doa dan mantra, warga akan berebut air kembang yang mereka anggap dapat mendatangkan berkah. Usai riuh-rendah ini, berakhirlah ritual Nadran.
Daftar Pustaka
Abdulgani, Fuad. Cerita Budug Basu Mitos di Komuniti Nelayan Cirebon (skripsi). Jatinangor: Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Padjadjaran (tidak diterbitkan), 2012.
Breman, Jan. Penguasaan Tanah dan Tenaga Kerja; Jawa di Masa Kolonial. Jakarta: LP3ES, 1986.
Danandjadja, James. Folklor Indonesia; Ilmu gossip, dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2007.
Ikram, Achdiati. Filologia Nusantara. Jakarta: Pustaka Jaya, 1997.
Kalsum. Kearifan Lokal Dalam Wawacan Sulanjana: Tradisi Menghormati Padi Pada Masyarakat Sunda di Jawa Barat, Indonesia dalam Sosiohumanika 3 (1), hal. 79–94, 2010.
Kurnia, Atep. “C.M. Pleyte dan Wacana Sunda” Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 23 Januari 2010. http://cabiklunik.blogspot.com/2011/01/cm-pleyte-dan-wacana-sunda.html.
Lombard, Denys. Nusa Jawa Silang Budaya jilid III. Jakarta: Gramedia, 2005.
Pelras, Christian. Manusia Bugis. Jakarta: Nalar bekerja sama dengan Forum Jakarta-Paris, EFEO, 2006.
Reid, Anthony. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 1: Tanah di Bawah Angin. Jakarta: YOI, 2011.
Ricklefs, M. C. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: UGM Press, 2007.
Ridwan, Sinta. Serat Satriya Budug Basu Mitos Masyarakat Pesisir Cirebon: Kajian Filologis (tesis). Jatinangor: Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran (tidak diterbitkan), 2011.
Rusyana, Yus. Pare di Dalam Sastra Sunda (makalah Seminar Sastra Nusantara Mengenai Makanan Rakyat). Sumber: http://www.sunda.org/SundaClippings/TextAfterDBloadComplete/img024.doc.txt, 1991.
Semedi, Pujo. Close To The Stone, Far From The Throne. Yogyakarta: Benang Merah, 2006.
Singh, N.K. Encyclopaedia of Hinduism. Anmol Publications PVT, ltd., 2000.
Sulendraningrat, P.S. Babad Cirebon. (tanpa tahun & penerbit)
Sunardjo, Unang. Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan Kerajaan Cerbon 1479—1809. Bandung: Tarsito, 1983.
Suyami. Serat Cariyos Dewi Sri dalam Perbandingan. Yogyakarta: Kepel Press, 2001.
Tjandrasasmita, Uka. Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: KPG, 2009.
Wiardi, Didi. Bertahan Untuk Tidak Gugur, Religi (Adat) Cigugur (hal. 161—217) dalam A. Budi Susanto, Sisi Senyap Politik Bising. Yogyakarta: Kanisius, 2007.
[i] Achdiati Ikram, Filologia Nusantara (Jakarta: Balai Pustaka), 1997: 10—22.
[ii] Keterangan/catatan tambahan mengenai asal-usul naskah atau teks dalam naskah.
[iii] Ketika penelitian ini dilakukan, naskah SSBB masih berada di Yogyakarta dan utuh tersimpan di Museum Sanabudaya.
[iv] Mengenai riwayat hidup ringkas dan ketertarikannya pada budaya Sunda lihat tulisan Atep Kurnia berjudul C.M. Pleyte dan Wacana Sunda (2010). http://cabiklunik.blogspot.com/2011/01/cm-pleyte-dan-wacana-sunda.html
[v] Bascom dalam James Danandjaja, Folklor Indonesia (Jakarta: Grafiti) 2007: 50.
[vi] N.K. Singh, Encyclopaedia of Hinduism (Anmol Publications PVT. LTD), 2000: 1424.
[vii] Kalsum, Kearifan Lokal Dalam Wawacan Sulanjana: Tradisi Menghormati Padi Pada Masyarakat Sunda di Jawa Barat, Indonesia dalam Sosiohumanika 3 (1), 2010: 79-94.
[viii] Suyami, Serat Cariyos Dewi Sri dalam Perbandingan (Yogyakarta: Kepel Press), 2001.
[ix] Yus Rusyana, Pare di Dalam Sastra Sunda (makalah Seminar Sastra Nusantara Mengenai Makanan Rakyat), 1991, http://www.sunda.org/SundaClippings/TextAfterDBloadComplete/img024.doc.txt
[x] Pujo Semedi, Close To the Stone, Far From the Throne (Yogyakarta: Benang Merah), 2003: 52-54.
[xi] Danandjaja, 2007: 52.
[xii] Denys Lombard, Nusa Jawa SIlang Budaya jilid III, (Jakarta: Gramedia), 2005: 82.
[xiii] Cerita dari Bali lihat Suyami, 2001: 430-433; dari Sulawesi Selatan lihat Christian Pelras, Bugis (Jakarta: Nalar), 2005: 107–8.
[xiv] Mengikuti klasifikasi von Sydow dalam Danadjaja, 2007: 28; pewaris aktif adalah bagian dari masyarakat yang aktif menyebarkan suatu bentuk folklor. Sedangkan pewaris pasif yakni anggota masyarakat yang cenderung hanya menjadi penikmat suatu bentuk folklor tanpa berpartisipasi untuk menyebarkannya.
[xv] Tentang Nadran dan deskripsi pertunjukan wayang Budug Basu, lihat Fuad Abdulgani, Cerita Budug Basu: Mitos di Komuniti Nelayan Cirebon (skripsi jurusan Antropologi Universitas Padjadjaran, tidak diterbitkan), 2012.
[xvi] www.karawanginfo.com (berita 15 Desember 2008, Pesan Budaya Dari Pesta Laut Ciparege 2008).
[xvii] www.tatarsubang.co.cc (berita 7 September 2009, Nadran).
[xviii] www.portalcirebon.blogspot.com (berita 23 Oktober 2009, Tradisi Nadran Pada Nelayan Indramayu).
[xix] www.suaramerdeka.com (berita 3 Maret 2004, Puluhan Juta Rupiah Untuk Sedekah Laut).
[xx] www.radartegal.com (berita 29 September 2009, Budug Basu-Dewi Pohaci dalam Sedekah Laut).
[xxi] Semedi, 2006: 49–55.
[xxii] P.S. Sulendraningrat, Babad Cirebon (tanpa tahun).
[xxiii] Sebagai contoh kajian masyarakat petani di Cirebon, lihat kajian Jan Breman yang menyoroti daerah Cirebon Timur dalam masa pemerintah jajahan, Penguasaan Tanah dan Tenaga Kerja; Jawa di Masa Kolonial, (Jakarta: LP3ES), 1986.
[xxiv] Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara (Jakarta: KPG), 2009: 159.
[xxv] Abad ke-14 sampai ke-16, untuk lebih rinci dan mendalam atas ‘perdagangan jalur maritim’ atau zaman perdagangan itu lihat Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450—1680. Jilid 1: Tanah di Bawah Angin (Jakarta: YOI), 2011. Sementara untuk lalu lintas dagang antarpulau di Nusantara lihat M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (Yogyakarta: Gajah Mada University Press), 2007.
[xxvi] Tjandrasasmita, 2009: 161.
[xxvii] Tjandrasasmita, 2009: 161.
[xxviii] Ekonomi Kreatif Cirebon Mengarah ke Pariwisata (berita 13 Juli 2012),
http://www.lingkarjabar.net/2012/07/ekonomi-kreatif-cirebon-mengarah-ke.html (diakses 4 Maret 2013).
[xxix] Pendapat Louis-Charles Damais ini dikemukakan oleh Lombard, 2005: 82.
[xxx] Lombard, 2005: 82.
[xxxi] Kitab yang sudah dalam bentuk fotokopi ini ditunjukkan oleh dalang Sudarso di Kapetakan, Cirebon.
*Sinta Ridwan adalah mahasiswi Filologi program doktor Universitas Padjadjaran (angkatan 2012).
**Fuad Abdulgani adalah lulusan Antropologi program sarjana Universitas Padjadjaran (2012).