POSITIVISME—sepenggal kata ini di hadapan kaum cendekiawan berbudaya, nyaris sepadan dengan kata ‘komunisme’ di mata antek-antek Orba. Kata ‘positivisme’ kerapkali dihadirkan sebagai cercaan, sebagai penghinaan terhadap hakikat multi-dimensional manusia, sebagai perlambang tentang semangat untuk mereduksi keragaman pemaknaan pada sistem verifikasi yang dingin. Semangat positivis Lingkaran Wina yang hendak menuntut bukti empiris dari setiap pernyataan ilmiah dianggap telah meringkas dan meringkus kemanusiaan. Khususnya dalam kajian-kajian kebudayaan kritis, positivisme adalah sesuatu yang membikin mual para budayawan. Namun, rasa mual para budayawan ini membikin saya mual. Seandainya saja mereka tahu dari semangat dan konteks seperti apakah positivisme itu dilahirkan. Seandainya saja mereka tahu apa yang mereka bicarakan.
Untuk memahami positivisme yang sesungguhnya, kita perlu membayangkan Wina di awal abad ke-20. Wina adalah kota para aristokrat, seniman dan intelektual: mulai dari Franz Ferdinand, Gustav Mahler sampai Sigmund Freud. Kehidupan kebudayaan tumbuh-kembang dengan amat subur di dalamnya. Gustav dan Alma, istrinya, kerapkali berkunjung ke kediaman keluarga Wittgenstein untuk bercakap-cakap tentang kebudayaan. Dalam latar kultural yang kaya inilah kita mesti menempatkan kelahiran Lingkaran Wina. Kita akan memotret kemunculan puncak positivisme modern ini dari lensa Otto Neurath, seorang Austro-Marxis yang terlibat dalam Lingkaran Wina sejak mula.
Neurath adalah seorang Marxis yang tak biasa. Ia tak cocok dengan Soviet, karena terlalu banyak campur-tangan politik di segala bidang kehidupan. Tetapi ia juga tak cocok dengan Kaustky dan gengnya di SPD, karena Neurath cenderung lebih bersimpati pada teknokratisme yang agak anti-demokrasi. Singkatnya, Neurath adalah seorang Marxis yang ‘apatis’ terhadap politik, tetapi sekaligus juga seorang Marxis yang teknokratis ibarat Stalin. Kalau ada satu hal yang ia pegang teguh sampai akhir hayatnya, itu adalah sains—atau lebih tepatnya, Marxisme sebagai sains. Kendati begitu, tidak tepat juga menggolongkannya sebagai seorang Marxolog yang kontemplatif. Ia terlibat dalam berbagai proyek-proyek sosial-politik dalam rangka mewujudkan model masyarakat yang diatur berdasarkan asas-asas sosialisme ilmiah. Apatismenya terhadap politik lebih tepat dibaca sebagai penolakan untuk memelintir sains atas nama politik. Keunikan Neurath ini lebih mudah dijelaskan apabila kita melihat apa yang ia kerjakan. Karya Nancy Cartwright, Jordi Cat, Lola Fleck, dan Thomas Uebel berjudul Otto Neurath: Philosophy Between Science and Politics, akan menjadi pegangan saya di sini.
Mulanya, Neurath adalah seorang ekonom dengan fokus penelitian tentang ekonomi primitif dan ekonomi perang. Pada saat perang dunia pertama meletus, ia mendirikan dan memimpin museum ekonomi perang. Selepas Perang Dunia I, Jerman terhempas ke dalam kekacauan sosial-politik. Pada tahun 1919, diproklamasikanlah Republik Soviet Bavaria di Jerman. Di sinilah Neurath mencoba mengimplementasikan konsepsinya tentang masyarakat sosialis-ilmiah yang ia cita-citakan. Ia mengepalai Pusat Administrasi Ekonomi (Zentralwirtschaftsamt), semacam Bappenas yang kita miliki sekarang. Ia mempraktikkan gagasannya tentang sosialisasi, yakni kolektivisasi sarana produksi. Konsep ‘sosialisasi’ ini tidak dapat dilepaskan dari studinya tentang ekonomi perang selama PD I. Bagi Neurath, dalam peperangan, ekonomi kapitalis akan runtuh secara temporer menjadi ekonomi barter. Dalam perang dengan skala raksasa seperti perang dunia, tersimpan potensi bagi peralihan dari sistem ekonomi kapitalis ke sistem ekonomi in natura atau sistem perekonomian yang berbasis pada pertukaran barang-barang konsumsi secara langsung. Dengan kemajuan sains, kalkulasi yang akurat atas jumlah barang-barang tersebut dan kebutuhan masyarakat dapat dilakukan sehingga tugas badan perencanaan adalah memastikan agar sejumlah barang tersebut terdistribusikan dalam masyarakat. Untuk itu, pemilikan kolektif atas sarana-sarana produksi diperlukan. Pemilikan kolektif inilah yang akan menjadi basis bagi perwujudan suatu ekonomi yang terencana secara sosialis dan ilmiah.
Neurath menjalankan program ‘sosialisasi’-nya dengan membentuk dewan-dewan pekerja. Ia juga sudah membuat rancangan Pusat Kalkulasi In Natura (Naturalrechnungszentrale), yang bertugas menghitung jumlah barang yang beredar di Republik Soviet Bavaria dalam proporsinya dengan kebutuhan hidup rakyat. Risau akan penerapan sosialisme seperti yang telah terjadi di Soviet dua tahun sebelumnya, para pemodal melarikan uangnya ke luar negeri. Neurath menjawab gertakan para pemodal ini dengan menasionalisasi semua bank yang ada di Bavaria. Geram karena modal dan asetnya dibekukan, para pemodal itu meminta pertolongan ke organ paramiliter anti-komunis terbesar masa itu, Freikorps (‘Korps Orang-orang Bebas’)—semacam Pemuda Pancasila-nya Eropa. Gerombolan preman bersenpi ini terbukti efektif dalam menumpas berbagai gejolak revolusioner di Eropa. Di Berlin, beberapa waktu sebelumnya, free men ini berhasil menghabisi Liga Spartakus yang dipimpin oleh Rosa Luxemburg dan Karl Liebknecht. Menghadapi serbuan lumpenproletariat pasca-bayar dari segala penjuru Eropa ini, pemerintahan Soviet Bavaria menurunkan Tentara Merah yang baru saja dibentuk. Peperangan jalananpun tak terhindarkan. Situasi ini barangkali dapat digambarkan lewat puisi penyair Lekra, Rivai Apin, tentang masa-masa agresi Belanda, ‘Dari Dunia Belum Sudah:’
Tapi malam itu menghentam, sepatu lars pada dinding kegelapan yang tebal.
Dan ketika mereka telah pergi terdengar ratap perempuan, bininya
atau ibunya.
Padaku tak usah lagi diceritakan, bahwa ada yang dibawa
Aku hanya bisa menekankan kepala pada papan meja,
Buncah oleh itu kata yang belum punya bumi tapi telah mengejar pula
ke dalam dunia yang belum sudah.
Republik Soviet Bavaria tumbang enam hari setelah berdiri. 500 orang Kiri mati, 300 terluka dan tak terhitung yang dieksekusi tanpa catatan resmi.
Atas pembelaan Otto Bauer, Neurath berhasil dideportasi ke Wina dalam persidangan yang diadakan sesudah jatuhnya Republik Soviet Bavaria. Dengan antusias Neurath menerima hukuman deportasi itu. Pasalnya, Wina pada masa pasca-perang itu dikuasai oleh kamerad-kameradnya. Uji-coba sosialisme di Austria lebih tahan lama ketimbang di Jerman. Periode yang bertahan antara 1919-1934 ini dikenal sebagai era ‘Wina Merah’ (Red Vienna), sebelum akhirnya tumbang oleh naiknya fasisme. Pada masa itu, para intelektual Austro-Marxis menduduki jabatan penting di pemerintahan. Neurath segera diserahi tanggung jawab sebagai Sekjen Institut Penelitian Ekonomi Sosial (Forschunginstitut für Gemeinwirtschaft). Ia juga bertugas sebagai pengelola proyek pembangunan perumahan rakyat. Ia berkawan dengan Walter Gropius, arsitek Modernis terkemuka, dan bahkan sempat memberikan ceramah di Dessau Bauhaus, tempat bertemunya arsitek maupun seniman modern seperti Vassily Kandinsky dan Paul Klee. Visi Neurath tentang arsitektur adalah penghancuran ‘Wina yang gothik’ (yang bangunannya penuh dengan ornamen khas aristokrat) dan pembangunan ulangnya ke dalam suatu bentukan arsitektural yang rasional, tak berbelit-belit dan mencerminkan semangat kerakyatan. Untuk itu ia membangun sebuah proyek monumental: Karl Marx Hof (Rumah Karl Marx). Ini adalah sebuah kompleks perumahan untuk buruh dengan fasilitas lengkap yang dikelola melalui koperasi buruh. Selain itu, ia juga mendirikan Museum Ekonomi dan Masyarakat serta, bersama Olga istrinya, memperkenalkan model statistik visual (ISOTYPE) dengan gambar-gambar unyu yang hingga kini banyak kita jumpai dalam brosur atau buklet untuk anak-anak.
Dalam latar ‘zaman bergerak’ inilah Lingkaran Wina berdiri. Dalam Manifesto Lingkaran Wina yang lebih banyak ditulis oleh Neurath sendiri, tertera tanda tangan dukungan dari beragam ilmuwan Eropa mulai dari fisikawan seperti Albert Einstein sampai filsuf seperti Bertrand Russell. Manifesto tersebut mencanangkan suatu program positivis sebagai pandangan-dunia ilmiah dan mengutip nama Karl Marx sebagai salah seorang pelopornya. Semua proposisi yang diklaim ilmiah mesti dapat diverifikasi berdasarkan pengalaman yang teruji secara kolektif. Tanpa lolos uji verifikasi tersebut, proposisi apapun layak dianggap ‘tidak bermakna.’ Konteks dari penekanan pada verifikasi empiris dan keilmiahan ini, setidaknya dari sudut pandang Neurath, adalah untuk menghalau kekuatan obskurantis seperti fasisme yang pada waktu itu sedang naik daun di Eropa. Proposisi bahwa ‘Ras Arya adalah ras paling unggul yang ditakdirkan memimpin Eropa’ adalah ungkapan yang tak punya makna sebab tak teruji secara empiris. Term-term seperti ‘takdir,’ ‘suara hati,’ ‘jiwa bangsa,’ ‘kemanusiaan universal,’ dst. adalah ungkapan-ungkapan metafisis yang tak punya landasan empiris dan karenanya tidak layak digunakan untuk mengurus persoalan masyarakat. Ungkapan-ungkapan itu sama tak bermaknanya seperti ‘pqqrtyxglmsp’ atau ‘bla-bla-bla.’
Program besar yang lain dari Lingkaran Wina adalah Sains Terpadu (Unity of Science). Neurath jugalah yang membangunnya. Program ini mempromosikan fisikalisme sebagai cara pandang ilmiah yang melawan cara pandang metafisika yang penuh takhayul. Fisikalisme Lingkaran Wina adalah pandangan bahwa seluruh konsep dan proposisi ilmu-ilmu dapat diparafrase ke dalam konsep dan proposisi ilmu alam, khususnya ilmu fisika. Fasisme dan kapitalisme adalah manifestasi dari pola-pikir metafisika, sementara sosialisme adalah perwujudan dari fisikalisme. Cartwright et.al. merangkum pernyataan-pernyataan Neurath dalam soal ini:
‘Perjuangan politik tercermin dalam sains. “Dua front berhadap-muka satu sama lain: di satu sisi, ada front borjuis yang demi alasan sosiologis menjadi setengah ilmiah dan setengah tak ilmiah dalam sikapnya; di sisi lain, ada front proletariat yang sepenuhnya ilmiah.” Front borjuis “dipenuhi” oleh metafisika dan teologi; gereja siap “mendukung pertarungan melawan kelas pekerja!” “Borjuasi melawan proletariat” sama dengan “metafisika melawan sains.” Neurath yakin bahwa berjuang demi kepentingan proletariat adalah sekaligus perjuangan melawan metafisika dan perjuangan demi pendekatan ilmiah’ (Cartwright et.al. 2008: 76).
Dengan bersenjatakan fisikalisme, Neurath hendak menelanjangi ungkapan-ungkapan kosong para intelektual kardus binaan kaum fasis dan kapitalis. Dalam konsepsi fisikalisme itulah tercermin hierarki bahasa ilmu yang jika hendak diradikalkan mencerminkan hierarki domain kenyataan: kenyataan fisik mengondisikan kenyataan mental. Dengan demikian, fisikalisme itu dalam arti tertentu merupakan kelanjutan dari tradisi materialisme historis Marx sendiri. Inilah yang diperjuangkan Neurath lewat Konferensi Internasional Sains Terpadu yang diselenggarakannya di berbagai belahan Eropa, mulai dari Moskow sampai Cambridge, Massachusetts. Bahkan ia masih mengorganisir kampanye Sains Terpadu ini ketika Nazi telah meluaskan pengaruhnya. Ia baru benar-benar meninggalkan Eropa daratan selepas Konferensi Sains Terpadu di Den Haag pada tanggal 14 Mei 1940, yakni sehari sesudah Nazi membom Rotterdam.
Sekarang kita tahu bahwa kritik sehari-hari atas positivisme modern mengelirukan duduk soalnya, bahwa rasa mual para budayawan di hadapan positivisme hanyalah perasaan mereka sendiri saja. Lingkaran Wina tidak hendak mereduksi kepuspa-ragaman manusia ke dalam ‘bangunan yang kukuh dan padu,’ yang ‘meringkas dan meringkus’ makna ke dalam data. Sebaliknya, Lingkaran Wina dengan Sains Terpadunya adalah front intelektual anti-fasis yang merupakan bagian dari taktik popular front melawan fasisme. Positivisme yang diusungnya, sebaiknya dilihat sebagai peringatan kontemporer agar para budayawan masa kini tidak asal njeplak mengikuti semilir perasaannya saja, sebagaimana para budayawan fasis zaman dahulu. Akhirnya, sumbangsih Lingkaran Wina adalah kesadaran bahwa semua jawaban atas persoalan yang menyangkut rakyat banyak, mesti dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, dan tidak dijustifikasi atas dasar kata hati semata.
Apabila kita melepaskan diri dari cara baca klise para budayawan terhadap positivisme modern, tentu kita tetap dapat mengritiknya. Kritik semacam itu antara lain dirumuskan oleh Roy Bhaskar dan pernah saya uraikan sekilas dalam artikel ‘Marxisme dan Keniscayaan Kausal’ beberapa waktu lalu. Utamanya, positivisme membuat kausalitas dan hukum ilmiah menjadi tak terpikirkan. Kausalitas dalam kerangka positivis hanya dapat dipikirkan sebagai suksesi peristiwa yang ajeg. Akibatnya, hubungan kausal diciutkan menjadi hubungan korelasi semata. Walau positivisme mesti dikritik, tetapi ia tak layak dihujat seperti yang dilakukan para budayawan masa kini, seperti juga layaknya para budayawan Orba menghujat komunisme. Positivisme bukanlah musuh kebudayaan. Pada masa ketika kebudayaan kian tercerabut dari akar materialnya, ketika makna mengalami inflasi demikian rupa hingga mengaburkan fakta, ketika intuisi estetis yang serba paradoksal begitu pekat seperti kabut dan menutupi keperluan rasional untuk pengorganisasian persoalan rakyat banyak, di saat-saat seperti itulah positivisme layak dipanggil kembali dari kuburnya.***
20 September 2013