Militer dalam sejarah Indonesia menjadi prominent karena terlibat hampir pada setiap agenda-agenda perubahaan politik. Argumentasi yang menonjol dikarenakan karakter militer Indonesia dipandang sebagai warrior (tentara penakluk). Pandangan ini kemudian diinternalisir melalui doktrin SISHANRATA (total war) dimana melahirkan konsepsi tentara pejuang dan tentara rakyat. Argumentasi di atas diperkuat oleh realitas kesejarahan perjuangan bangsa dan negara bahwa militer di negara-negara berkembang khususnya Indonesia berbeda dengan negara-negara lainnya.
Setelah gerakan reformasi ’98 mengelora sebagai skema demokratisasi, keberadaan militer sebagai pendukung utama kekuasaan Orde Baru menjadi santer dibahas. Gerakan demokrasi mengusung wacana ’back to barrac!’ Demokrasi liberal mensyarakatkan penghilangan keterlibatan langsung militer dalam panggung politik, baik legislatif maupun eksekutif. Penggerusan tersebut juga merambah ranah yang disebut bisnis-bisnis militer yang selama ini menjadi sumber pendanaan institusi militer karena keterbatasan budget operasional. Deretan agenda ini kemudian dikenal dengan sebutan security sector reform oleh kalangan masyarakat sipil atau lembaga swadaya masyarakat. Seiring mind set liberalisasi politik kalangan masyarakat sipil pengusung SSR juga menghadirkan epistemologi dan axiologi politik dan militer yang liberal untuk diterapkan di Indonesia.
Jauh sebelum demokrasi dipopulerkan di Yunani, ’politia’ atau politik sudah meletakan role of engagement secara tegas tentang otoritas kekuasaan dalam masyarakat. ’Politik’ berasal dari bahasa Yunani mempunyai makna berkaitan dengan keteraturan, keindahan, dan kesopanan bagi warga kota. Aristoteles memaknai politik sebagai seni tertinggi untuk mewujudkan kebaikan bersama (common and highest good). Sementara negara ditempatkan sebagai lembaga yang kedudukannya berada di atas rakyatnya. Negara memegang peranan mutlak dalam menentukan apa yang baik dan seharusnya bagi rakyatnya. Aristoteles menempatkan kekuasaan yang besar pada negara merujuk pada individu akan menjadi liar dan tak terkendali bila negara tidak memiliki kekuasaan yang besar. Lebih lanjut Aritoteles menguraikan bahwa individu memiliki kecenderungan yang keras untuk bertindak atas dasar kepentingannya sendiri karena itu, agar keadaan masyarakat tidak menjadi kacau, harus ada lembaga yang kuat untuk mengarahkan individu-individu dalam masyarakat dalam penegakan moral.
Militer dalam konsep politik Yunani kuno ditempatkan dalam ranah oicos yang diasosiasikan sebagai suatu yang ’tidak mulia atau kotor’ dan tidak memiliki otoritas apapun. Sementara Senat adalah ruang pertarungan gagasan dan otoritas yang menempati ranah polis. Tugas militer tak lain hanya berperang untuk kejayaan bangsanya dan persoalan keputusan politik bukanlah urusan militer melainkan sepenuhnya di tangan Senat. Peran militer dalam politik sangat dipengaruhi oleh konflik kepentingan dan ketegangan kelas yang sedang bertarung memperebutkan kekuasaan.
The prominent military dalam sejarah Indonesia sering dibahasakan sebagai bentuk pretorianisme dimana intervensi politik tidak berdiri tanpa dominasi terhadap aset-aset ekonomi. Secara implisit terjadi pengakuan terhadap praktek pretorianisme selama masa pembangunan ekonomi berlangsung dan mengakhiri pertentangan ideologis pada tahun 1965. Di awal kemunculan kekuasaan Orde Baru, kekuasaan pretorian tampil dalam ekspresi populis yang didukung oleh kelompok menengah, gerakan massa, dan aksi-aksi mahasiswa. Karakter pretorian populis segera berubah menjadi oligarkis setelah terjadinya konsolidasi kekuasaan yang solid yang didukung penuh oleh perwira-perwira pro pembangunanisme yang beraliansi dengan dunia Barat.
Amos Perlmutter dalam The Military and Politics and Modern Times memformulasikan dua bentuk kontrol terhadap militer. Subjective Military Control diterapkan oleh negara-negara totalitarian dalam relasi kekuasaan politik (partai) terhadap institusi militer. Kontrol terhadap militer dibangun berdasarkan penempatan komisaris-komisaris politik partai untuk menjalankan civilazation of military. Sementara Objective Military Control hadir sebagai jawaban untuk menarik militer dari kepentingan politik yang populer dengan istilah militerization of military. Pandangan ini berawal dari revolusi industri di Eropa, dimana terjadi perebutan pengaruh terhadap militer oleh kalangan Borjuasi terhadap kaum aristokrat (feodal) yang mendominasi alat-alat kekerasan.
Dalam skema ideologi, Indonesia selama ini mengaplikasikan bangunan struktur yang integralistik dimana hubungan antara basis struktur dan suprastruktur hampir tidak memiliki pembatas. Pola hubungan ini kemudian memberi pembenaran pada militer untuk berperan atas nama negara dan kepentingan umum secara bersamaan. Pergeseran struktur dan nilai sebagai konsekuensi perubahan dengan sendirinya mengalami benturan keras, bahwa kepentingan publik dengan negara yang mengakibatkan subordinasi kepentingan. Dalam konsep negara integralistik sulit membedakan militer yang merupakan bagian dari negara dengan militer yang dikuasai negara.
Bila merujuk pada tren Revolution Military Affair (RMA) untuk membaca hubungan militer dalam supra struktur ideologi maka terjadi penggabungan elemen ilmu kemiliteran, kemajuan teknologi dengan seni manajemen yang efektif dan efesien. Kecendrungan RMA meneguhkan posisi militer untuk tidak beranjak dari ranah supra struktur dengan peningkatan kapasitas kemiliteran sebagai konsekuensi dari dibebastugaskan dari tanggung jawab sosial seperti berproduksi dan berpolitik.
Willy Aditya