SETIAP kali akan ada aksi unjuk rasa, pemerintah, dan juga ‘publik’ pada tingkatan tertentu, kerap mengimbau demonstran agar tidak bertindak anarkis. Namun, pertanyaannya, tidakkah pengabaian hak-hak sipil yang disuarakan dalam tuntutan itu merupakan sebuah bentuk anarkisme yang paling barbar?
Anarki dalam bahasan ini mengikuti ‘makna kedua,’ yang mengacu pada pengertian umum yang diterima masyarakat, yakni keadaan kacau-balau. Dan bukan dalam ‘makna pertama,’ yang menjelaskan perihal tidak adanya pemerintahan, undang-undang, dan peraturan.
Menjelang Hari Buruh Sedunia 1 Mei, misalnya, melalui media, pejabat pemerintah, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, serta kepolisian ramai-ramai meminta agar unjuk rasa buruh berlangsung tertib. Tidak rusuh. ‘Saya kira semua sepakat unjuk rasa buruh itu tertib. Tidak merusak. Saya senang. Itulah demokrasi. Boleh ada ekspresi, ada sesuatu yang dikritikkan pada pemerintah, pada yang lain, termasuk pikiran seperti apa, tapi tertib,’ kata SBY, saat bertemu dengan para pemimpin serikat buruh dan pekerja di Istana Negara, 29 April 2013, seperti dilansir beberapa media.
Dalam susunan kalimat yang berbeda, imbauan serupa kerap dilontarkan untuk menyambut aksi unjuk rasa lainnya, entah itu terkait dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) atau rencana kudeta. Seolah, dalam demokrasi, unjuk rasa adalah bagian dari pesta. Harus meriah dan membikin semua orang senang serta tenang.
Ironisnya, mungkin ‘publik’ tampak turut menyatakan pendapat serupa. Tentu yang dimaksud publik di sini merujuk pada representasi masyarakat, satu, dua, atau ratusan orang dan lebih. Dalam beberapa wawancara acak di stasiun televisi, sejumlah orang berharap aksi unjuk rasa berlangsung rapi, tidak merusak fasilitas publik, dan memacetkan jalanan.
Pandangan semacam ini sebetulnya tidak salah. Bahkan bermakna positif dalam semangat mendorong budaya nir-kekerasan. Perbedaan pendapat ataupun protes tak harus diselesaikan dengan bentrokan. Kita mafhum, dan sama-sama muak, dengan unjuk rasa yang berujung pada kekerasan. Namun dalam konstelasi konflik vertikal, kekerasan itu bisa disebut sebagai akumulasi titik jenuh atas pengabaian dan pembiaran negara terkait dengan tuntutan yang diajukan. Sekaligus, hal itu menunjukkan kegagalan pemerintah melakukan fungsi mediasi mengakomodasi kepentingan warga negaranya.
Pada dasarnya, massa ingin didengar, dalam pengertian suaranya benar-benar dianggap hadir dan diperhatikan untuk merumuskan kebijakan. Anehnya, alih-alih merumuskan prosedur operasi standar merespons ketidakpuasan massa, pemerintah lebih senang mengeluhkan unjuk rasa yang ricuh. Jelas, keluhan ini adalah bentuk penggeseran fokus untuk mengaburkan persoalan. Perhatian publik menjadi terbelah antara tuntuan yang disuarakan dan cara menyuarakan tuntutan itu. Dengan demikian, imbauan agar unjuk rasa tidak anarkistis pun bermasalah, terutama ketika anasir kekuasaan memandang sambil lalu terhadap tuntutan yang dilayangkan, mendengarkannya tak lebih sebagai ‘suara-suara rutin,’ yang tidak perlu disertai usaha perbaikan nyata.
Kurang tertib apa, salah satunya, Aksi Kamisan, yang digelar para korban tragedi kemanusiaan, untuk menyebut beberapa kejadian memilukan, dari peristiwa 1965, Talangsari, Tanjungpriok, 27 Juli 1966, penculikan orang di masa Orde Baru, Trisakti, Mei 1998, Semanggi I, Semanggi II, sampai pembunuhan Munir?
Seruan soal aksi unjuk rasa yang tertib merupakan bagian dari konsepsi peradaban modern yang mapan. Mereka (penguasa) yang (merasa) beradab cenderung menolak (atau takut terhadap) kerusuhan (sebab, sasaran dan alasan terjadinya kerusuhan itu adalah mereka. Atau dengan kata lain, mereka sebenarnya tak ingin disalahkan atau mendapatkan masalah, dan bertanggung jawab atasnya). Yang rusuh, tak tertib, dan merusak itulah yang selalu coba mereka pupus dan sembunyikan. Tapi ternyata selalu ada yang barbar dalam sebuah usaha yang beradab. Boris Kagarlitsky, teoretisi Marxis Rusia, dalam New Realism and New Barbarism (1999), mengingatkan kita akan batas antara yang barbar dan yang beradab itu. Dia menulis, ‘Dua pihak yang beradab dapat melakukan dialog. Mereka yang barbar, bagaimanapun juga, tak bisa mempertanyakan—atau bahkan secara serius membahas—prinsip-prinsip peradaban. Yang bisa mereka lakukan hanya mereproduksi bentuk-bentuk peradaban itu.’
Nah, dialog itu tidak eksklusif dilakukan dalam ruangan berpenyejuk udara, dengan kursi empuk dan camilan tahu goreng ataupun rempeyek kacang. Melainkan juga bisa dilakukan di bawah terik matahari, di tengah lapangan, di antara lautan massa. Anehnya, selama ini berkembang dikotomi antara dialog dan aksi. Seolah yang pertama adalah kegiatan otak, sementara yang kedua melulu aktivitas fisik. Pemerintah, misalnya, selalu menyebut dirinya siap melakukan serta selalu menganjurkan pendekatan dialogis. Namun hal itu dilakukan dengan memandang sebelah mata, jika tak lagi bisa disebut membungkam, aksi massa. Apa negara hanya mau berdialog dengan orang-orang berjas, yang membawa segepok uang terbungkus koran, lalu membahas apel Malang dan apel Washington?
Aksi unjuk rasa, bagaimanapun juga, adalah sebuah ‘tawaran yang lain’ untuk berdialog membahas ‘prinsip-prinsip peradaban’ faktual. Langkah ini cenderung menjadi pilihan terakhir setelah negara tak kunjung menanggapi persoalan yang diajukan massa. Aksi Kamisan, contohnya, bukan merupakan ‘aksi ujuk-ujuk’ yang muncul begitu saja tanpa ada upaya lain terlebih dulu. Dimulai pada 2007, aksi ini muncul setelah pemerintah tak juga menunjukkan iktikad baik untuk menyelesaikan pengusutan kasus pelanggaran hak asasi manusia, baik di masa silam maupun masa kini. Seruan di media dan rapat-rapat tim pencari fakta, yang beradab itu, menguap begitu saja. Pemerintah bergeming.
Abainya negara terhadap tawaran yang lain untuk berdialog ini merupakan sebuah pengingkaran terhadap yang beradab, sekaligus secara tak kasat mata, tapi sebenarnya sangat vulgar, menunjukkan seberapa barbarnya mereka. Menghadapi aksi santun setiap Kamis di depan Istana Negara tadi, bagaimana sikap pemerintah? Nihil. Apa pandangan ‘publik’ terhadap pengabaian pemerintah itu? Sama nihilnya.
Mengingat dengan cara-cara yang beradab pemerintah cenderung budek, tak mengherankan di tingkatan massa sampai muncul anggapan bahwa unjuk rasa harus berlangsung ‘sekeras’ mungkin agar bisa didengar. Anarkisme massa ‘hanyalah’ respons atas kedegilan negara. Sehingga, dari sudut pandang ini, imbauan agar unjuk rasa tidak berlangsung rusuh tak lain sekadar kampanye semu anti-kekerasan. Sebab, akar kekerasannya justru bercokol di tubuh politik negara. Terjebak dengan kampanye itu, perspektif publik seperti tanggal dari realitas dan melayang dalam dunia angan nan beradab versi pemerintah. Dunia yang nyaman, tenteram di luar, tapi busuk di dalam.
Tentu tulisan ini tak hendak menyerukan aksi massa yang anarkistis. Melainkan semata ingin menyampaikan bahwa, ‘sebelum’ mempersoalkan anarkisme massa, ada barbarisme negara yang perlu dituntaskan. Jika sungguh ingin memutus spiral anarkisme, pemerintah harus terlebih dulu menghilangkan watak primitifnya ‘yang cuma mereproduksi peradaban,’ dan mulai belajar untuk lebih progresif dalam menyikapi unjuk rasa.***
Eka S. Saputra, buruh media, kini mukim di Tangerang Selatan.