‘Anak-anak dan pemuda-pemuda kita sukar dapat belajar dengan tentram, karena dikejar-kejar oleh ujian-ujian yang sangat keras dalam tuntutan-tuntutannya.
Mereka belajar tidak untuk perkembangan hidup kejiwaannya; sebaliknya, mereka belajar untuk dapat nilai-nilai yang tinggi dalam school raportnya atau untuk dapat ijazah.’
– Ki Hadjar Dewantara.
KETIDAKBERESAN penyelenggaraan Ujian Nasional tahun ini, seolah menjadi puncak masalah dari banyak ditimbulkan kegiatan yang seolah menjadi ‘proyek’ Kementerian Pendidikan Nasional ini. Mulai dari banyaknya kecurangan, tingkat ketidaklulusan yang masih tinggi, serta kacaunya distribusi soal yang sekarang menyebabkan tidak serentaknya pelaksanaan Ujian Nasional (UN) di seluruh Indonesia. Bisa dibayangkan bagaimana mentalitas peserta didik yang sudah siap untuk ujian, namun ternyata harus ditunda. Layaknya seorang olahragawan yang pikiran dan fisiknya sudah disiapkan untuk suatu pertandingan, tetapi pertandingan tersebut harus diundur mendadak. Tentu saja hal seperti ini sangat menganggu persiapan yang sudah dilakukan. Saya tidak mengerti, apakah Menteri Pendidikan sudah memikirkan hal ini?
Negara ini menjadikan Ujian Nasional sebagai ujung tombak utama lulus atau tidaknya seorang peserta didik. Walau katanya juga ditentukan oleh Ujian Akhir Sekolah (UAS), tetapi dalam pelaksanaan di lapangan, UAS hanya dijadikan ujian formalitas belaka. Melalui UN, nilai dijadikan ‘Tuhan’ yang bisa menentukan hasil akhir. Bagaimana bisa kelayakan seseorang untuk lulus hanya di tentukan oleh sebuah ‘nilai?’ Bertambah miris bila kita tarik lagi ke belakang dalam skala yang lebih luas, dimana memang seluruh sistem pendidikan dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi mengikuti pola seperti ini.
Nilai, yang sering diwujudkan dalam angka atau huruf menjadi ukuran ‘kepintaran’ seorang anak. Tentunya anda masih merasakan bagaimana bangganya anda jika mendapatkan nilai bagus, atau bagaimana anda kesal ketika seorang teman anda mendapat nilai sama bagusnya dengan anda tetapi hasil dari menyontek. Semua berlomba-lomba mendapatkan nilai yang bagus, tidak peduli bagaimana caranya. Anak-anak yang tidak bisa mendapatkan nilai yang tinggi, dicap ‘bodoh’ dan ‘malas.’ Belum lagi tuntutan orang tua yang begitu tinggi, yang tak jarang mengiming-imingi hadiah jika nilai sang anak bisa mengalahkan nilai teman-temannya.
Pada akhirnya, sekolah dan perguruan tinggi dijadikan ajang mencari nilai tinggi, mencari ijazah atau rapor yang bisa ‘dijual,’ atau menurut istilah Ki Hadjar Dewantara, ini penyakit yang dinamakan diploma jacht. Dalam prosesnya, ini berlangsung terus menerus dan lama-kelamaan melekat menjadi pola pikir umum di dalam masyarakat. Dan tepat pada titik inilah kebutuhan industri berperan.
Tidak bisa kita pungkiri, keran investasi dalam dan luar negeri yang dibuka lebar-lebar oleh pemerintah sejak Suharto berkuasa, memiliki dampak langsung akan kebutuhan tenaga kerja yang besar. Semakin besar calon tenaga kerja yang tersedia semakin bagus, karena nilai tawar pekerja semakin rendah, karena itu harganya akan semakin murah. Dan untuk industri, ‘nilai’ inilah yang menjadi persyaratan utama. Kerja sama dengan pemerintah kemudian melahirkan sistem pendidikan yang disesuaikan dengan pasar dan ini terwujud dalam kurikulum dan dipertahankan selama bertahun-tahun. Akibatnya, para lulusan yang dihasilkan sistem seolah melihat dengan kaca mata kuda, hanya ke satu sisi, yaitu bekerja untuk industri atau menjadi pegawai negeri.
Yang sangat mengerikan, pola pemikiran seperti ini adalah peninggalan kolonial Belanda. Bedanya, di zaman Hindia Belanda, orang Indonesia yang bekerja di perusahaan atau menjadi pegawai negeri ambtenaar memiliki pengaruh sosial di masyarakat, sekarang mereka tidak lebih adalah pesuruh. Seperti kata Pramoedya Ananta Toer, saat diwawancara André Vltchek:
‘Pada masa penjajahan, mereka yang bekerja untuk Belanda dihormati dan dihargai oleh bangsa Indonesia. Sekarang kondisinya berbeda. Mereka yang bekerja di perusahaan asing hanyalah pesuruh saja, dan semua orang tahu itu. …………. Ketika saya masih anak-anak, cita-cita saya hanyalah menyelesaikan sekolah, belajar bahasa Belanda, dan selanjutnya bekerja sebagai pegawai negeri (ambtenaar).’
Mentalitas sisa kolonial seperti ini juga diungkapkan Ki Hadjar Dewantara. Saat VOC berkuasa tanah air kita hanya dijadikan objek perdagangan. Di zaman VOC itu ada instruksi yang mengatakan bahwa rakyat hanya seperlunya diberikan pelajaran membaca, menulis, dan berhitung, dan itu hanya dilakukan untuk menambah keuntungan perusahaan-perusahaan VOC. Saat masa beralih ke Hindia Belanda, pemerintah hanya mementingkan pendidikan calon-calon pegawai negeri dengan menyelenggarakan kleinambtenaar examen dan menurut Ki Hadjar Dewantara, sangat digemari anak-anak bumiputera saat itu, dimana pendidikan tinggi hanya didominasi orang-orang Eropa atau orang bumiputera keturunan ningrat.
Apakah Anda sudah melihat relevansi cerita kedua tokoh besar Indonesia itu dengan keadaan yang sedang kita alami saat ini? Indonesia menjadi negara konsumtif yang hampir tidak bisa berproduksi. Pram pernah bilang: tak ada karakter, tak ada produksi. Pendidikan nasional yang harusnya bisa menghasilkan sumber daya manusia yang berkarakter nasional dan bekerja keras untuk pembentukan kebudayaan nasional praktis telah gagal, kalau kita belum berani katakan gagal total. Ki Hadjar Dewantara menggagas bahwa pendidikan nasional harus didirikan dari hidup kita dan perikehidupan kita sendiri, dan di dalamnya ada cara Nationaal (nasional), cara Natuurlij (cara kodrat alam), atau cara Menschelijk (cara kemanusiaan) yang kesemuanya harus menjadi satu kesatuan. Perkembangan pendidikan juga perlu disesuaikan dengan zaman, namun tidak mengubah ‘kepribadian kita,’ kepribadian nasional. Mirisnya, kepribadian nasional ini yang harusnya bisa dibentuk dalam wadah ‘nation and character building’ bung Karno, dengan sengaja dihilangkan Orde Baru dan hingga sekarang tidak pernah dibangkitkan kembali. Padahal pendidikan berkualitas berbasis kepribadian nasional adalah garda terdepan untuk memberantas kemiskinan.
Ya, pendidikan adalah senjata ampuh dalam perlawanan manusia terhadap kemiskinan itu. Setiap manusia berhak mendapatkan pendidikan yang setara dengan kualitas dan kesempatan yang sama antara si kaya dan si miskin. Mereka berhak mengembangkan dirinya semaksimal mungkin demi sebesar-besarnya kemakmuran bangsa. Namun, sekali lagi, untuk mewujudkan hal ini kita, sebagai bangsa, terlebih dahulu harus merubah pola pikir yang dengan berbagai macam cara dan dengan sengaja telah dibentuk sama dengan gaya pemikiran zaman kolonial yang menghamba pada keuntungan pasar, tanpa menghiraukan nilai-nilai kemanusiaan. Indonesia sejak dahulu adalah negara yang anti kolonialisme, imperialisme, dan kapitalisme. Sukarno, Hatta, Syahrir berulang-ulang menegaskan ini dalam tulisan dan pidato-pidato mereka. Tujuan untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan sosial harus bisa dijewantahkan dalam sebuah sistem pendidikan terstruktur, disiplin, dan sesuai dengan cita-cita nasional. Pendidikan Nasional Indonesia bukan pendidikan yang hanya jadi penyedia buruh para kaum industri. Pendidikan Nasional Indonesia adalah pendidikan yang menghasilkan sumber-sumber daya manusia dengan karakter nasional, pola pikir nasional, mau berjuang dalam usaha-usaha menyusun kembali kebudayaan nasional yang dihancurkan secara membabi buta oleh rejim busuk Orde Baru hingga sekarang. Pemerintah saat ini sudah gagal memberikan pendidikan nasional berkualitas terjangkau pada rakyat. Padahal, kegagalan sistem pendidikan nasional adalah awal kehancuran sebuah bangsa.***
Michael Teguh Adiputra Siahaan, mahasiswa Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro