Secara retorik, alasan utama di balik seluruh kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang intervensionis, adalah untuk mempromosikan demokrasi. Atas nama demokrasi, pemerintahan negeri Paman Sam, merasa berhak melakukan intervensi politik ke negara lain yang dipandang mengabaikan atau menciderai nilai-nilai dasar demokrasi. Penggulingan presiden Salvador Allende di Chile, Sandinista di Nikaragua, Soekarno di Indonesia, Jean Beltrand Aristide di Haiti, atau Saddam Husain di Irak, adalah sederet contoh kecil dari dampak kebijakan “Promosi Demokrasi.”
Tapi, apakah kebijakan ini sungguh-sungguh hendak membangun dan memperkuat rejim demokrasi? William I. Robinson, sosiolog dari Universitas California, Santa Barbara, ketika diwawancarai Jonah Gindin, mengenai intervensi pemerintah AS terhadap proses politik di Venezuela, menyatakan, demokrasi yang dipromosikan AS, bukanlah demokrasi, melainkan imperialisme. “Promosi Demokrasi” di mata Robinson, bertujuan untuk mengontrol, membatasi, dan menundukkan meluasnya gerakan demokrasi rakyat, kekuatan sosial atau politik yang bermaksud menantang kuasa neoliberal, apalagi hingga mengubah tatanan yang sudah mapan.
“If democracy means the power of the people, mass participation in the vital decisions of society, and democratic distribution of material and cultural resources, then democracy is a profound threat to global capitalist interests and must be mercilessly opposed and suppressed by US and transnational elites,” ujar Robinson (The United States, Venezuela, and “democracy promotion”: William I Robinson interviewed, 4/8/2005)
Jika amatan Robinson ini benar, patut ditanyakan, seperti apakah demokrasi Amerika itu. Ada dua dasar pertanyaannya: pertama, dunia dengan postur ekonomi-politik yang timpang, dimana Amerika berada dipuncak piramidanya, telah dipatok sebagai tanah suci demokrasi. Amerika seperti menjadi kiblat bagi negara-negara yang menjalani masa transisi dari kediktatoran menuju demokrasi. Kedua, kebijakan luar negeri sebenarnya merupakan refleksi dari kepentingan dalam negeri dari negara bersangkutan.
Demokrasi Elitis
William R. Nylen dalam bukunya “Participatory Democracy versus Elitist Democracy: Lessons from Brazil” (2003), menyatakan, demokrasi AS telah menyimpang dari pengertian demokrasi sebagai kekuasaan dari, oleh, dan untuk rakyat. Demokrasi Amerika telah menjadi kendaraan bagi elite untuk mengamankan dan meluaskan kepentingannya, sembari mengasingkan kepentingan mayoritas rakyat Amerika. Untuk menjelaskan simpulannya ini, Nylen meminjam Norberto Bobbio, seorang ilmuwan politik asal Italia, yang menyatakan demokrasi adalah sebuah proses ‘menjadi,’ senantiasa bertransformasi, dan menjadikannya sesuatu yang alamiah. “Democracy is dynamic, despotism is static and always essentially the same,” tulis Bobbio. Dinamis karena demokrasi pertama-tama dan terutama, adalah “a conflictual process of inclussionary adaptation both reflecting and spurring on changes in the overall balance of social and political power.” Sebaliknya, demikian Nylen, demokrasi AS kini telah menjadi stagnan dan dalam proses pembusukan, karena apa yang disebut proses inclussionary adaptation itu secara esensial telah berhenti dan bertransformasi menjadi mechanism of exclusion.
Masih menurut Nylen, berhentinya proses inclussionary adaptation ini disebabkan oleh dua hal: pertama, demokrasi AS yang bertumpu pada pilar utamanya: demokrasi perwakilan (representative democracy) dan perdagangan bebas kapitalisme (free enterprise capitalism), telah menjadi ajang kaolisi dan bagi-bagi kekuasaan (sharing of power) di antara para politisi dan pengusaha. Dalam keadaan sedemikian, proses pemilu tak ubahnya seperti tingkah korporasi yang mengiklankan produk-produk mereka.
Menguatnya kekuasaan oligarki ini, terutama semenjak suksesnya para pentolan partai Republik pada dekade 1980an dalam menghancurkan peran negara sebagai lembaga yang berhak mengoreksi kegagalan pasar. Tak ada lagi kekuatan di luarnya yang sanggup mencegah kuasa oligarki ini. Tidak pula partai Demokrat, yang secara tradisional dianggap lebih berpihak pada kelompok miskin. Menurut Nylen, partai ini juga tak bisa menghindarkan dirinya dari ketergantungan pada bisnis besar. Kata Nylen, “Democrats have responded with a strategy perhaps best charaterized as ‘If you can’t beat ’em join ’em.”
Bersama-sama dengan partai Republik, para pentolan partai Demokrat ini juga telah bersekutu dengan kalangan korporat membentuk oligarki. Melalui penguasaannya atas sumberdaya-sumberdaya politik, ekonomi, dan media massa, kelompok ini telah memanfaatkan dan menjadikan demokrasi sebagai kendaraan untuk melayani kepentingan-kepentingan sempitnya.
Rakyat Yang Terilusi
Hal kedua yang menyebabkan demokrasi Amerika menjadi stagnan, karena sikap politik rakyatnya yang apatis. Demokrasi dalam makna yang sesungguhnya, sebagai sebuah kekuasaan rakyat, sebenarnya adalah sebuah proses yang dialektis. Ia adalah hasil perjuangan tanpa henti antara rakyat sebagai sumber kekuasaan dan pemerintah yang menjalankan kekuasaan sehari-hari. Dalam makna ini, tak ada yang disebut pelimpahan kekuasaan dari rakyat kepada pemerintah. Yang ada adalah pendelegasian kekuasaan dari rakyat sebagai pemegang mandat kekuasaan kepada pemerintah.
Tetapi, ketika kekuasaan itu terlembaga dalam wujud negara, ia justru makin menjauh, tersaing, bahkan melawan pemegang mandat. Di sini negara bersama seperangkat aparatusnya menjadi rumit, kaku, angker, tertutup dan kasar. Dalam analisis Karl Marx, di masa kapitalisme, negara yang terasing dari rakyat miskin ini menjadi alat dari kelas borjuasi untuk melayani dan mengamankan kepentingannya. Dalam konteks Amerika, ia menjadi adalah alat oligarki untuk melayani, mengamankan, dan meluaskan kepentingannya.
Dalam sejarah Amerika, menurut Nylen, keberpihakan pemerintah Amerika terhadap kepentingan mayoritas rakyat terjadi, hanya setelah ada desakan dan perlawanan politik dari rakyat. Sebagai contoh, Konstitusi Amerika 1788 yang tengah disusun oleh para pendiri bangsa yang sebagian besar adalah tuan tanah kaya raya dan berpendidikan, sangat dipengaruhi oleh pemberontakan petani di Massachusetts Barat (1786-1787), yang menentang pajak tinggi dan ancaman penutupan lahan pertaniannya yang diberlakukan oleh pemerintahan negara bagian. Demikian juga dengan pengundangan hak-hak sipil (Civil Right legislation) pada akhir 1950an dan awal 1960an, adalah hasil dari perjuangan kelompok akar rumput seperti Student Non-Violent Coordinating Committee, Southern Council of Baptist Church dan individu seperti Rosa Parks dan Martin Luther King Jr. Penarikan diri tentara Amerika dari perang Vietnam, juga hanya setelah ada demonstrasi besar-besaran di dalam negeri Amerika sendiri yang menentang perang tersebut.
Tetapi, kini kesadaran sejarah seperti ini seakan hilang dari ingatan kolektif rakyat Amerika. Di tengah-tengah booming ekonomi, produk-produk yang membanjiri pasar dengan harga terjangkau, rakyat Amerika merasa apa yang terjadi saat ini sudah merupakan sesuatu yang wajar. Wajar dalam pengertian yang negatif, karena sebenarnya ketidakpercayaan rakyat bahwa proses politik demokrasi dan para politisi akan bekerja untuk kepentingannya meningkat tajam, dari 30 persen pada 1966 menjadi 75 persen pada 1992. Hal itu diiringi oleh merosotnya level partisipasi dalam organisasi masyarakat sipil. Kondisi apatis ini oleh Robert Putnam disebut sebagai “civic disengagement.” Inilah kata Putnam, seorang Neo-Tocqquevillains,
“the greatest threat to American Liberty comes from the disengaged, not the engaged,” (Robert D. Putnam, “Bowling Alone: America’s Declining Social Capital,” The Journal of Democracy, 6, January 1995)
Dalam catatan Nylen, ada dua hal yang menyebabkan rakyat Amerika menjadi apatis. Pertama, rakyat Amerika kini merasakan betapa negara telah menjadi begitu kuatnya. Suaranya kalah kencang dibandingkan dengan suara birokrasi kekuasaan.
Kedua, tenggelamnya suara rakyat itu beriringan dengan booming ekonomi Amerika paska perang dingin. Apatisme dan pasifitas itu meningkat tajam ketika pada 2001, pertumbuhan ekonomi Amerika mencapai rekor tertinggi dalam satu dekade terakhir. Walaupun tingkat upah cenderung stagnan ataupun menurun secara relatif, tapi di saat bersamaan harga barang pun begitu terjangkau. Maka, rakyat yang kalah suara itu, yang tengah berenang dalam lautan kenikmatan (swimming in toys), mengalami ilusi. Ilusi inilah yang melahirkan apatisme atau civic disenggament, yang tak peduli bahwa “promosi demokrasi” yang dilakukan oleh pemerintahnya, sesungguhnya adalah imperialisme.
Coen Husain Pontoh