RUBASLOV, seorang Bolshevik tua, dijebloskan ke penjara. Tuduhan yang ditimpakan pada dirinya cukup gawat: menyingkirkan pemerintah dari tanah air revolusi. Pengadilan Moskow memutuskan—tanpa ragu: Rubaslov dihukum mati. Getir muram kehidupan Rubaslov bisa dibaca dalam novel Darkness At Noon [edisi Indonesia: Gerharna Tengah Hari], karya Arthur Koestler. Karya ini memang dibuat untuk menumpahkan kekecewaan terhadap Sosialisme. Atau mungkin, lebih khususnya: kemuakan pada Stalinisme.
Koestler, kita tahu, mantan anggota partai Partai Komunis Jerman. Dalam The God that Failed—semacam ‘pengakuan dosa’ orang-orang yang pernah menjadi komunis seperti: Andre Gide, Richard Wright, Ignazio Silone, Stephen Spendel, dan Louis Fischer—Koestler merinci sejumput riwayat dirinya.
Seperti pemuda kebanyakan saat itu, Koestler juga terpesona pada Marxisme. Marx dan Lenin muncul sebagai ‘juru selamat’ di Eropa. Krisis, kemiskinan, kesengsaraan kelas pekerja sampai meletusnya Perang Dunia I, membuat Sosialisme dianggap sebagai satu-satunya jalan ke surga. Sebab itu, Koestler ingin menjadi bagian dari murid-murid sang ‘juru selamat’ itu: untuk ambil bagian sebagai sang pembebas. Ia menulis sepucuk surat pada petinggi Partai: melamar menjadi anggota. Surat berbalas. Ketika bertemu salah seorang pimpinan Partai—didorong semangatnya yang membuncah—Koestler segera meminta kartu anggota. Permintaannya diluluskan. Ia bungah.
Tapi, impian pemuda seringkali Platonis, dan dipungkas dengan kekecewaan. Pun, Koestler. Berada dalam Partai, tak seperti dalam benaknya, idealismenya dan angannya. Kekecewaan menumpuk. Mungkin ia lupa, Partai bukan shirotol mustaqim—jalan lurus. Kenyataannya akan banyak kelokan di sana sini. Partai bukan sebilah pedang yang harus selalu ditebaskan; ada saat kompromi, diam, atau mengambil jarak. Epilognya, Koestler undur dan melepaskan jubah kepartaiannya.
Koestler, bagaimanapun mengingatkan pada anak-anak muda di Indonesia [walaupun situasinya beda], yang berbondong-bondong bergabung dengan Partai Kiri pada tahun 1998. Saat itu, menjadi kiri semacam panggilan suci laiknya Ksatria Templar. Tapi, setelah Partai Kiri itu runtuh dalam Pemilu, satu persatu mulai undur diri.
Kata ‘kapok’ mungkin tepat dipakai. Orang kapok ‘pada sesuatu’ tentu ada alasannya. Pun, Koestler dan yang lain. Mari kita longok.
Kisah Yakub dalam al Kitab perlu diudar. Selama tujuh tahun Yakub menjadi tukang gembala kambing milik Laban. Ia bekerja dengan tekun. Berusaha menarik perhatian majikan. Dengan harapan bisa mempersunting si jelita Rahel—putri kedua sang tuan. Ternyata bukan mimpi: Yakub bisa memperistri Rahel. Mempelai perempuan dibawa ke tenda Yakub. Baru keesokan paginya Yakub sadar, perempuan yang tidur bersamanya ternyata si jelek Lea—tanpa sepengetahuannya [karena matanya ditutup], Laban telah menukar Rahel dengan Lea.
Di titik itu, Koestler merasa senasib dengan Yakub: mendapatkan Lea—birokratisme partai, konspirasi, organisasi yang mekanik, pemujaan terhadap elit partai, dan segala yang buruk lainnya. Tak seperti Yakub yang memilih bekerja tujuh tahun lagi untuk mendapatkan cinta sejatinya [dan dapat], Koestler memilih saat itu juga hengkang dari padang gembala Partai.
Untuk pergi, dalih yang dipilih Koestler masuk akal. Siapa yang mau hidup dalam Partai yang menurutnya sentralis dan mekanik? Siapa yang rela kehilangan kebebasan? Tapi, apakah yang masuk akal selalu tepat?
George Orwell dalam esainya, Arthur Koestler, akan membantu kita menemukan titik simpul. Tulis Orwell kira-kira begini: Bagi Koestler, revolusi [sosialis] tak lain proses menapaki jalan yang berujung pada kekorupan. Bila Anda mau ambil bagian dalam revolusi, siap-siap bernasib seperti si Rubashov [ia bisa diganti dengan Trotsky atau korban-korban Stalin yang lain]. Dalam revolusi tak hanya kekuasaan saja yang korup, tapi cara untuk merengkuh kekuasaan juga korup [menghalalkan segala cara—bahasa yang sering kita dengar]. Kesimpulan Orwell: Bagi Koestler, mengubah masyarakat dengan cara kekerasan—perlu diberi garis tebal—hanya akan melahirkan Stalin, dan Stalin akan melahirkan orang-orang yang mirip dengan dirinya.
Dengan kalimat yang tajam, Orwell menuliskan: ‘…barangkali tujuan Sosialisme bukanlah membuat dunia ini sempurna, tapi membuat dunia lebih baik. Semua revolusi adalah kegagalan, tapi semua itu bukanlah kegagalan yang sama.’ Inilah, menurut Orwell, yang tak dipahami oleh Koestler; ia terlalu hedonis sehingga mengharapkan Surga di Dunia, dan kapok setelah tak mendapatkannya.
Ada kata yang telah menjadi momok: Stalinisme.
Stalin dianggap pembuyar impian indah tentang Partai Kiri dan Sosialisme. Gulag, Pengadilan Moskow, totaliterisme, sampai pembunuhan orang-orang komunis di Cina oleh Chiang Khai Sek, semua ditimpakan pada Stalin. Pada masa itu, mungkin, kematian bayi yang baru lahir di Uni Soviet, atau buah yang jatuh sebelum masak, akan dianggap sebagai ulah Stalin. Hingga kini, rasa pahit itu terus dikulum-kulum.
Orang-orang yang membenci Kiri, para humanis gadungan, dan bahkan, orang-orang kiri sendiri, menyiapkan tanda peringatan: Awas! Partai Kiri penghancur kemanusian terbesar di abad ini [persis pengumuman di pagar orang kaya: Awas! Ada anjing galak]. Konon—agar hantu komunis semakin membuat jirih—James Nihan dalam The Marxist Empire memberikan angka yang menakjubkan: 105 juta orang terbunuh, menjadi korban komunisme [mungkin, orang yang mati tertabrak sepeda ontel akan dimasukkan dalam korban komunisme agar jumlahnya semakin membuncit]. Dan, madah itu akan terus diulang-ulang: Ingat Stalin! Ingat Pol Pot! Ingat Mao!
Setiap kali nama Stalin disebut, sering kali kita merasa lebih menderita daripada orang-orang Rusia sendiri. Pun, saat nama Pol Pot atau Mao diumumkan, jiwa kita tergetar membaca korban-korban yang berjatuhan; kepedihan kita seolah-olah bisa mengungguli muram durja orang-orang Kambojo atau Cina. Dan, setelah itu, dengan sukarela kita masuk perangkap: Itulah Sosialisme. Itulah Stalinisme. Akibat semua itu, berjajar di kafé-kafe orang-orang yang mengaku kiri tapi anti Partai Kiri; mau Sosialisme tapi emoh dengan Partainya—entah, apakah kita salah satu di antaranya?
Kalaupun benar semua bala itu gara-gara Stalin, selarik pertanyaan bisa diajukan: Lantas, apakah kita mesti mlipir: menjauhi Partai Kiri? Atau, menunggu munculnya Sosialisme tanpa ada Partai Kiri yang bergerak?
Memang ada yang perlu diperbaiki. Kritik terhadap Partai Kiri tak harus ditampik. Tak perlu pula terbawa slogan Orba: kritik harus membangun. Sekotor apapun kritik, ia merupakan humus: penyubur.
Albert Camus dalam suatu wawancara, yang kemudian diterbikan dengan judul Socialism of the Gallow, memberikan semacam diagnosa—mungkin berguna bagi kita. Camus menulis: golongan Kiri sedang terpenjara dalam kata-kata, terperangkap dalam berbagai istilah, memberikan jawaban yang itu-itu saja alias klise. Oleh sebab itu, menurut Camus, gerakan Kiri membutuhkan kritik, introspeksi, tahu diri, dan berlatih bernalar secara lurus. Baginya, Sosialisme tanpa kebebasan = Sosialisme tiang gantungan.
Tak perlu malu mengakui kekurangan. Toh sebagai buktinya, Sosialisme bisa memperbaiki diri. Silakan sedikit menoleh ke Venezuela, Bolivia, atau mungkin Cuba. Di tempat-tempat itu, Sosialisme bisa dicintai. Sosialisme dan Partai Kiri bisa berkembang sesuai kehendak orang banyak—walaupun tentu saja, negara-negara dari Utara berusaha menutupi ‘kebaikan’ itu.
Sekarang, tugas kita: membuat orang tak kapok menjadi bagian Partai Kiri. Kalaupun kapok, cukup ‘kapok lombok‘—kapok-kapok merindu.***
Lereng Merapi. 29.11. 2012