MAAF Pak Jendral, Natal masih lama, tapi aku ingat kisah ini:
Pada malam Natal yang semenjana, seorang petugas sensus menapaki jalanan kota Ningi yang sunyi. Lonceng gereja berkeloneng. Lagu Malam Kudus merambati udara. Langit bertebar bintang. Pas untuk mengenang kelahiran sang Juru Selamat.
Petugas sensus itu merenungi pekerjaannya yang kering: menghitung jumlah orang dari tahun ke tahun. Tak pernah ada yang ajaib. Kalaupun ada yang beda, tentu tentang angka-angka manusia yang dihitungnya. Tapi, anehnya bukan angka naik. Setiap tahun berganti, derek itu kian anjlok. Sudah dilakoninya kerja itu selama 15 tahun. Tapi keanehan itu tak pernah terurai. Dalam catatannya, tahun 1974 penduduk kota Ningi 688.771 orang. Ketika ia melakukan sensus empat tahun kemudian, jumlah itu menyusut menjadi 329.271 orang. Tak pernah terpecahkan kemana hilangnya 359.500 orang selama empat tahun itu.
Petugas sensus itu mengenang, ia pernah mengunjungi satu keluarga. Ketika pertama kali memasuki rumah itu, jumlah penghuni ada tujuh orang. Ia kembali beberapa tahun kemudian, jumlah penghuninya tinggal satu orang. Itulah yang membuatnya berat otak.
Kisah itu digambarkan Seno Gumira Ajidarma dalam cerpennya Misteri Kota Ningi (atawa The Invisible Cristmas).
Kota Ningi merupakan alegori Timor Leste. Kita tentu tahu, kota itu mengalami luka puluhan tahun. Sejak tentara Indonesia menerobos, menduduki, dan menyatukannya menjadi bagian Indonesia, kota Ningi tak pernah bahagia. Matahari tak pernah berbinar. Sendu. Air mata menganak sungai. Deras. Darah tak pernah garing. Rembes.
Kisah Seno memang fiksi. Mungkin Pak Jendral bisa bilang: ah, itu hanya rekaan. Kalau begitu, sekarang silakan baca kisah sebenarnya dalam Chega!. Di dalam Chega!, Pak Jendral, namamu disebut duabelas kali. Tak banyak memang. Tapi setiap namamu disebut, pertanda nyawa yang hilang. Tapi engkau tak perlu seperti ABG yang koprol dan guling-guling, Pak Jendral. Kisahmu masih jauh. Kini nikmati yang ini dulu:
Seperti laporan yang tertulis dalam Chega!, sejak tentara Indonesia menelusup—Tim Susi, Tim Tuti dan Tim Umi—pembantaian itu telah dimulai. Claudio Viera, seorang Partisan yang terlibat dalam operasi rahasia Tim Umi, menuturkan tentang pembunuhan terhadap dua orang warga di Gunung Taroman. Warga tak dikenal itu dibunuh dengan parang. Mayatnya dilempar begitu saja di pinggir jalan. Nasib tak kalah mengenaskan juga menimpa Bau Mau. Ia menolak memberikan busur dan panah. Dianggap membangkang, ia ditangkap. Rumahnya dibakar dan ternaknya dicolong. Cerita setelahnya jelas sudah: Bau Mau dibunuh dan mayatnya dibuang di daerah Aipasrah.
Tak perlu jengah kalau di kota Ningi nyawa bisa melayang karena kejadian yang bisa jadi konyol. Tanggal 7 Desember 1975, seorang pasukan terjun payung tentara Indonesia tewas. Parasutnya tersangkut di atap bangunan milik etnis Tionghoa. Itu salahnya sendiri. Tapi teman-temannya tak terima. Pemilik rumah yang dijadikan tumbal. Tsam Yi Tin ditembak mati di halaman rumahnya.
Di kota Ningi, tentara Indonesia sudah terbiasa membunuh dan menyamarkannya. Ada banyak istilah yang dipakai: ‘pergi mandi,’ ‘pergi ke Jakarta,’ ‘pergi berburu,’ atau ‘pergi beroperasi.’ Di antara istilah-istilah itu, ‘pergi sekolah’ yang paling laku dipakai. Semua kata itu digunakan untuk menghaluskan nasib orang-orang yang diculik dan tak pernah kembali. Orde Baru dan tentaranya memang jago dalam hal itu. Kita tentu ingat, ‘ditangkap’ bisa menjadi ‘diamankan’ dalam kosa kata Orba. Eufimisme memang topeng yang pas untuk membalut kebengisan.
Delapan orang Hansip dipanggil ke Koramil di Parlemento pada 14 Mei 1979. Mereka dituduh berhubungan dengan komandan Falintil. Kemudian tujuh di antaranya hilang. Kepada keluarga disampaikan bahwa mereka sedang ‘pergi sekolah.’ Tiga anggota Resistensi di sektor Utara juga mengalami nasib serupa. Mereka dipanggil ke rumah Dandim. Pada hari berikutnya, seorang kapten pergi ke rumah keluarga Antonio Sarmeto—salah satu yang dipanggil—untuk mengembalikan arloji dan cincin perkawinan. Kepada keluarga korban, Kapten itu mengabarkan kalau Antonio ‘sedang bersekolah.’
Sekarang kita bisa menjawab kebingungan sang petugas sensus dalam cerpen Misteri Kota Ningi. Orang-orang itu hilang satu persatu, bergerombol dan juga berombongan. Ada yang jelas kuburannya, ada yang tak berbatu nisan, ada pula yang dicemplungkan ke laut.
Baiklah. Baiklah. Baiklah. Sekarang waktumu, Pak Jendral.
Riwayat kota Ningi akan membawa pada sosok Jendral Berbiji Satu. Ia salah satu jagal.
Dalam novel Gabriel Garcia Marquez, Tumbangnya Seorang Diktator, ada pula jendral yang menjadi sosok sentral. Jendral itu mengalami hernia. Bijinya membesar sebesar anak gajah. Karena itu, ia selalu berjalan pelan akibat beban terlalu berat yang menggandul di selangkangannya. Ketika bersetubuh dengan seorang perempuan, ia bergerak secepat pasukan khusus melumpuhkan lawan agar cacatnya tak terkuak. Berbeda dengan Jendral Berbiji Satu yang masih lincah jalannya. Tegap dan pasti. Jendral dalam novel Marquez mirip kerbau.
Sangat gampang mengenali potret Jendral Berbiji Satu. Anak-anak gembalapun akan tahu. Di dadanya yang bidang tersemat empat bintang warisan masa lalu. Yang baru darinya, di tengah masing-masing bintang ada wajah: Herman Hendrawan, Suyat, Bimo Petrus dan Wiji Thukul. Itu salah satu prestasi terbesarnya yang tercatat dalam Kitab Keabadian: menghilangkan orang.
Setelah perang usai, Jendral Berbiji Satu kelimpungan. Ia pergi mengembara, menyepi di padang gurun, memulihkan raga membasuh jiwa. Tapi ia ogah jadi pertapa yang bijak bestari. Sebagai jendral, ia hanya punya satu ketrampilan: memerintah. Lama menyepi ia hilang rasa. Satu malam ia mendengar bisikan, ‘tanah air memanggilmu pulang.’ Medan tempur telah berubah, siasat berganti. Ia pulang dengan menunggang Garuda Bersayap Durja. Tapi ia punya tompel di dahinya yang sulit dihilangkan: semacam kutukan dari Dewa Zeus. Setiap keluarga korban datang kepadanya, tompel itu semakin membesar. Di tompel itu melekat tulisan: Menolak Lupa.
Tapi ia cerdik. Jendral itu menemukan cara untuk menambal tompelnya. Ia belajar dari para koki yang menemukan cara untuk memoles bolu biasa menjadi Rainbow Cake. Kue bolu produk reformasi ini memikat, menipu mata dan lidah, memaksa rasa tunduk pada pada bentuk. Dan rupanya jurus ini ampuh. Reformasi yang diurus para koleganya ternyata lebih buruk dari yang dikira. Pemirsanya lantas menasbihkannya sebagai calon pembebas. Bahwa ia jagal itu cerita usang.
Hasilnya… Banyak yang terkecoh dengan jurus Rainbow Cake sang Jendral, termasuk orang-orang kiri. Setelah berpuluh-puluh tahun, orang-orang kiri hanya mengenal kue pancong yang dinikmati dengan kopi jagung. Kini mereka terbuai dengan Rainbow Cake. Sementara yang tak mengabdi, mengurangi volume kegarangannya untuk menyerang sang jendral. Seloroh yang paling ganjil pun muncul: musuh kita neoliberalisme bukan Jendral Berbiji Satu. Ada juga khotbah moral agar masa lalu sang jendral dimaafkan saja; bukankah seseorang bisa berubah? Baginya, jendral itu sudah menjadi seorang nasionalis: Santo dari Hambalang.
Tapi orang-orang kota Ningi tentu tak akan lupa ketika Jendral Berbiji Satu menggiring penduduk dari pegunungan dan menembaki mereka satu persatu. Pun, mereka tak akan lupa tentang pasukan ala Ninja yang berkeliaran pada malam hari. Ninja-ninja itu menciduk orang yang dicurigai dari rumah mereka untuk dihabisi. Mayatnya ditinggal di tempat-tempat umum. ‘Ini peringatan pada siapa saja yang berani berontak.’ Lantas siapa juga yang bisa melupakan keberadaan milisi-milisi sipil buatan Jendral Berbiji Satu? Yang bertugas mematrikan ideologi fasis dan nyambi sebagai penggebuk? Semua itu bukan kisah yang ditulis di atas pasir pantai, yang akan hilang ketika ombak menjilatinya.
Mungkin, tompel di dahi Jendral Berbiji Satu pelan-pelan bisa meleyap dengan semakin banyaknya orang-orang kiri yang membasuhnya. Tapi, kisah tentang biji satu tak akan bisa dilepaskan dari dirimu, Pak Jendral. Kisah itu akan akan mengikutimu sampai Yamadipati menjemputmu.
Biji satu: kado istimewa orang-orang kota Ningi untuk Pak Jendral.***
Lereng Merapi, 18 Oktober 2012