Ada tiga orang kiri dalam tiga novel.
‘SEBAIKNYA kau pulang dan membuka bukumu, Sandip Babu. Kau keliru dengan ucap-ucapanmu. Itulah sulitnya kalau cuma tahu menghapal saja.’
Kata-kata itu meluncur dari bibir Bimala. Perempuan itu menghardik Sandip Babu, tokoh kiri dalam novel Rabindranath Tagore, The Home and the Word. Sebelumnya, Bimala menyindir Sandip dengan kata-kata yang landep: ‘…para penceramah profesional memiliki sebuah buku penuh dengan ungkapan-ungkapan yang siap kutip, yang bisa disesuaikan dengan masalah yang akan dibahas. Kau juga punya buku itu?’
Tak seluruhnya Tagore benar: orang-orang Kiri merupakan penghapal. Tagore memang menjengkelkan melukiskan Sandip dalam novelnya: sehitam-sehitamnya. Georg Lukacs pun mengecam novel Tagore ini sebagai: ‘Igaun borjuis kecil yang sangat kumuh.’ Tapi, tak seluruhnya Tagore salah.
Tak perlu lari ke India 100 tahun lalu. Di Indonesia juga bisa didapatkan orang-orang Kiri semacam Sandip di pinggir-pinggir jalan. Tak banyak memang, tapi ada. Mereka ini begitu gaduh kalau ada gerakan yang dianggapnya bid’ah, menyimpang dari ajaran Marx dan Lenin yang dihapalnya. Sebagaimana FPI (Front Pembela Islam) yang merasa paling murni, tingkah FPL (Front Pembela Lenin) tak jauh bedanya: siap mementung siapa saja yang keluar dari kesejatian Marxisme. Memang tak perlu risau: jumlahnya tak banyak. Tak perlu juga menggelar aksi Indonesia tanpa FPL.
Sandip Babu tak sendirian. Ada tipikal lain: Chocko.
Chocko tak lain tokoh Kiri dalam novel Arundhati Roy, The God of Small Things. Ia intelektual Marxis lulusan Oxford. Sebagai lulusan Barat, ia mendapatkan limpahan ilmu yang tak terbatas. Apalagi ia kuliah di Inggris, tempat Marx menghabiskan hari-hari menuliskan karya babonnya: Das Kapital. Di lingkaran intelektual, ia begitu gigih berteori melawan penghisapan kapitalisme. Kata-katanya selalu memukau, membuat lawan bicaranya kehabisan argumentasi untuk membantah. Dengan posisi seperti itu, ia disegani dan dihormati oleh kaum buruh. Sepertinya ia tokoh ideal. Tapi, Arundhati Roy membuka topeng Chocko: di balik semua itu, sembari mengajari prinsip kesetaraan buruh perempuan di pabrik, Chocko meniduri mereka satu persatu.
Hmm… Di Indonesia tentu tak ada sosok seperti Chocko. Kalaupun pernah mendengar selentingan aktivis Kiri seperti Chocko, tentu itu hanya gosip, atau kisah yang dihembuskan intel untuk merusak wajah Kiri. Orang-orang Kiri di Indonesia begitu menghargai kaum perempuan. Menempatkan perempuan sebagai Pradnya Paramita. Sehingga akan sulit berlaku bandit seperti Chocko.
Sandip Babu dan Chocko merupakan orang-orang Kiri dalam fiksi India. Ada juga di Indonesia. Is, namanya. Is tokoh Kiri dalam cerita panjang Pramoedya Ananta Toer, Dia Yang Menyerah—yang terhimpun dalam Cerita dari Blora. Dulunya ia perempuan biasa-biasa saja. Semuanya berubah ketika ia tinggal di asrama Pesindo. Kehidupan asrama telah membentuknya menjadi perempuan yang lain. Mukanya menjadi merah membara. Dari mulutnya selalu mendendangkan lagu Internationale. Jadilah ia pemudi revolusioner.
Kata-kata yang meluncur dari Is khas aktivis kiri di Indonesia: Kapitalisme harus hancur, burjuisme sudah tercekik, menghancurkan budak-budak imperialisme Amerika, dalam negara Merah hak laki-laki dan perempuan sama, sisa feodal, dan sederet kata-kata lain yang akan muncrat bila kita bertemu aktivis kiri di café-café atau mimbar demonstrasi.
Dan, ini yang sering kita dapatkan. Ketika ditanya oleh adiknya kenapa seorang kiai dibunuh oleh pasukan Merah, Is menjawab dengan getas: ‘Dia hanya penyebar candu.’ Agama adalah candu. Itulah kata-kata Marx yang paling banyak dikutip aktivis Kiri di Indonesia—tidak hanya zaman Is, tapi juga sampai sekarang; paling banyak Kiri anyaran yang baru puber Marxisme dan baru belajar menjadi liberal.
Tapi kisah yang ditulis Pramoedya hanya fiksi. Mungkin kisah itu diramu Pram ketika masih belum bersimpati terhadap golongan Kiri. Baik Pram, Tagore maupun Arundhati Roy mungkin sedang berusaha menciptakan efek dramatis dalam sebuah karya sastra. Jadi, yang merasa orang Kiri tak perlu gusar atau telinga memerah.
Sekarang beralih ke tokoh nyata: Roestam Effendi.
Namanya memang jarang disebut. Ia kalah populer dari tokoh-tokoh seperti Alimin, Muso atau Tan Malaka. Mungkin karena tak seheroik mereka bertiga, nama Roestam tak banyak didengungkan. Tak ada kaos bergambar dirinya dipakai aktivis Kiri di Indonesia.
Harry A. Poeze menyebut Roestam sebagai pengikut Stalin. Sebutan ini sudah menakutkan. Jarang ada pengikut Stalin disukai. Tapi ia punya sejarah sendiri: anggota pertama di Majelis Rendah Belanda yang mewakili kalangan komunis. Umurnya waktu itu baru 30 tahun. Sebagai Kiri ia telah menunjukkan: perjuangan tak melulu di jalanan, tapi juga di ruang Parlemen.
Di ruang Parlemen itulah Roestam berbicara kepada musuh-musuhnya. Ia menjadi mulut bagi enam puluh juta rakyat Indonesia yang dijajah Belanda. Inilah keberhasilan front antara golongan ‘putih’ dan ‘sawo matang’ dalam menghadapi musuh bersama. Taktik ini memang khas Stalinis, tapi terbukti jitu.
Dalam koran milik Communistische Partij van Nederland (CPH), Roestam menulis artikel berjudul Kenapa Orang Indonesia Duduk di Majelis Belanda? Tulisan ini bernada polemik. Membantah argumen kaum sosial demokrat maupun ultra kiri. Sosial demokrat menilai masuknya Roestam hanya trik dari CPH untuk mendulang suara. Sedangkan ultra kiri menilai keberadaan di Parlemen Belanda yang dikuasai kaum borjuis akan sia-sia. Terhadap serangan-serangan tersebut ia berpendirian: masuknya orang Indonesia ke dalam Parlemen Belanda merupakan dasar bagi kerjasama antara kelas-kelas yang terhisap di Indonesia dengan saudaranya di negeri Belanda. Roestam memang berdiri digarisnya itu.
Dalam persidangan di Parlemen, Roestam tampil membicarakan persoalan-persoalan yang dihadapi rakyat di Tanah Airnya. Ia mengritik berbagai macam undang-undang darurat yang diterapkan Pemerintah. Ketika terjadi pemberontakan di atas kapal De Zeven Provincien dan perlawanan kaum tani yang semakin meluas, yang kemudian ditindas dengan cara-cara kekerasan, ia mengajukan gugatan. Saat pimpinan PNI (Pendidikan Nasional Indonesia) ditahan, ia memberikan kecaman keras, dan menuntut mereka dibebaskan.
Taktik masuk Parlemen borjuis tak akan disenangi oleh para Marxis hapalan seperti Sandip Babu. Jalan yang ditempuh Roestam tak dianjurkan oleh Marx maupun Lenin. Bagi mereka lebih baik khusyuk mengorganisir kaum buruh sampai kemudian siap melakukan revolusi. Parlemen hanyalah warung kopi; tempat borjuasi bertemu dan membagi-bagikan kue-kue. Bukankah perjuangan sosialisme lewat parlemen tak pernah berhasil? Hanya Rusia 1917 yang pas bagi Marxis hapalan.
Bagi orang-orang Kiri semacam Is, langkah Roestam ini dianggap lembek. Lebih laki kalau angkat senjata menggempur kekuasaan penjajah yang menindas. Tak perlu berkompromi dengan kekuasaan borjuasi—apalagi penjajah. Dengan angkat senjata perjuangan menuju sosialisme akan lebih keren dan cakep. Sandip dan Is sebetulnya setipe, hanya beda baju.
Tapi Roestam tahu, perjuangan bukan masalah mana yang paling revolusioner atau tidak, tapi masalah ketepatan menentukan metode dalam situasi yang selalu bergerak. Semuanya tak bisa dijawab hanya dengan menghapal dan berlagak revolusioner.
Lantas bagaimana dengan Chocko? Ia tetap pada pendiriannya: Sosialisme di tangan kiri dan perempuan ditangan kanan.***
Lereng Merapi. 06.09.2012